Bantahan untuk Munʿim Sirry Umat Kristiani Kaum Beriman? Sesat atau Bagaimana

Tafsiran Munʿim Sirry “sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah” misalnya diterima, tentu saja berlawanan dengan akidah dan juga akal sehat. Umat Kristiani Kaum Beriman? (1)
ilustrasi

BELUM lama ini, penulis liberal yang kini menjadi dosen di University of Notre Dame, AS, menulis di sebuah media online berjudul “Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir”
“Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir?”, tanya Munʿim Sirry dalam sebuah artikelnya beberapa waktu lalu. Setelah sebelumnya Munʿim mengutip ungkapan Paus Fransiskus, lalu beliau mengajukan pertanyaan kedua: “Bagaimana reaksi mereka [kaum Muslim] setelah tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman?”.
Diakhir artikelnya, “Kini saatnya umat Muslim juga melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani”, simpul Munʿim.
Tanpa mengurangi hormat dan takzim kepada Munʿim, tulisan ini bermaksud mendiskusikan artikelnya, “Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir”.Artikel ini terkesan “genit” dan menciptakan suasana “genit” kepada pembaca (penerima maupun penolak). Namun sebenarnya, jika dibaca secara jeli dan kritis, tampaklah kerancuan dan distorsi yang dilakukan Munʿim.
Setelah mukaddimah, Munʿim mengawali artikelnya dengan pertanyaan: “siapa orang kafir?”. Lalu, dengan mengutip pendapat Cak Nur (Nurcholish Madjid) Allahuyarham dengan “PD” Munʿim mengatakan: “Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir di antara Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Ini untuk menunjukkan bahwa Ahlul Kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir. Menurut Cak Nur, kata “di antara Ahlul Kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh Ahlul Kitab.”
Ada dua kekeliruan dalam kutipan ini: Pertama, dari sisi logika. Adalah logika yang keliru kala Munʿim – berdasarkan pemahaman ayat tersebut – mengatakan Ahlul Kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir, sementara katanya, dengan mengutip Cak NurAllahuyarham, “di antara Ahlul Kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh Ahlul Kitab”. Ibarat anda mengatakan semua susu kambing manis berdasarkan pendapat orang lain, tetapi orang yang anda kutip mengatakan sebagian saja susu kambing manis. Adakah ini logika yang benar? Tidak! Sebagian susu kambing manis dan sebagiannya lagi tidak. Artinya, mengikuti alur logika Cuk Nur Allahuyarhamyang dikutip Munʿim, sebagian Ahlul Kitab ada yang kafir dan sebagiannya ada yang beriman.
Kedua, permasalahan ini lebih serius, yakni distorsi alias tahrif atas nama Cak Nur. Bagi Cak Nur – perlu dicatat bahwa ia tidak menyamaratakan non-Muslim berdasarkan pada Q., 3: 113– Ahlul Kitab (tentu Kristen masuk di dalamnya) bukan Muslim, tetapi berdasarkan pada terminologi al-Qurʾan, kata Cak Nur, adalah kafir. “Ahl al-kitâb tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi Al-Quran, mereka disebut “kâfir”, yakni, “yang menentang” atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad Saw. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam”, begitu kata Cak Nur. (Lihat, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, ed. Budhy Munawar Rahman (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), I: 90, artikel tentang: “Ahl al-Kitab: Yahudi dan Nasrani”)
Jadi, kembali kepada pertanyaan Munʿim di awal tadi: “Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir?”Merujuk kepada penjelasan Cak Nur di atas, memang “dalam terminologi Al-Quran, mereka disebut “kâfir”…”Akan tetapi, adab dan muamalah kita dalam berdiskusi perlu cara yang ahsan kecuali kepada mereka yang zalim (Q. S. al-ʿAnkabut: 46). “Allah berpesan kepada kaum beriman untuk tidak melibatkan diri dalam perbantahan tidak sehat dengan kaum Ahli Kitab kecuali, dengan sendirinya, jika mereka berindak agresif”, begitu kata Cak Nur dalam menangkap pesan Q. S. al-ʿAnkabut ayat 46. (Lihat, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 190).
Di sini saya tidak bermaksud ikut mendalam akan kesilapan Munʿim terhadap Cak Nur Allahuyarham. Namun: pertama, kita sangat menyayangkan, kenapa Cak Nur menjadi “korban”?; kedua, bagaimana pandangan al-Qurʾan dan perbedaannya dengan tafsiran Munʿim: adakah umat Kristiani itu kaum beriman atau bukan? Tentu berdasarkan pada tafsiran kita sebagai Muslim. Kemudian, adakah penyebutan kafir merupakan “produk sejarah” seperti yang didakwa Munʿim ataukah ia merupakan ketentuan Ilahiyyah yang menjadikannya berkembang bersama sejarah?
Sebelum membahas dua pertanyaan ini, ada baiknya kita mendiskusikan terlebih dahulu tafsir surah al-Kafirun ala Munʿim.
Munʿim mencoba mengotak-atik surah al-Kafirun yang kata “” (panjang dengan alif), dibaca pendek (menjadi alif) sebagai bentuk penegasan (taukid). Berikut penjelasan Munʿim:“Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir. (2) sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah. (3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah. (4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah. (5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah. (6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Saya skeptik dengan tafsiran Munʿim layaknya skeptiknya Munʿim “dengan historitas asbab al-nuzul”.
Alasannya: Pertama, salah satu tokoh yang dirujuk Munʿim adalah Gerd R. Puin, orientalis asal Jerman yang mengkaji manuskrip al-Qurʾan yang ditemukan di Sanʿa yang berasal dari kurun pertama Hijriyah. Kajian Puin banyak menemukan alif yang hilang pada naskah tersebut. Seperti beliau akui, kajian ini jadikan sandaran.
Menurut Mustafa al-Aʿzami,terdapat lusinan manuskrip al-Qurʾan kurun pertama yang tersedia di pelbagai perpustakaan seluruh dunia. Sementara K. ʿAwwad mencatat, terdapat 26 manuskrip al-Qurʾan yang berasal dari kurun pertama Hijriyah. Karenanya, jika tafsiran beliau disandarkan pada hasil kajian Puin, tentu tidak bisa gegabah mengingat naskah tersebut perlu dibandingkan dengan naskah manuskrip yang lain; dan tidak kalah pentingnya juga pertimbangan berdasarkan hasil kajian para ulama Muslim, ilmu Kalam, korelasi dengan ayat-ayat yang laindan akal sehat. Jika tidak, maka:
Kedua, ruang studi al-Qurʾan telah disempitkan hanya pada temuan filologi(dengan motif “toleransi”). Hanya berdasarkan pada hasil kajian filologi manuskrip al-Qurʾan dan motif toleransi, lalu kita mengabaikan aspek akidah (dalam hal ini Kalam), hubungan antar ayat dan hasil kajian para ulama Muslim. Cerdik-pandai dan alim ulama kita tidaklah melakukan demikian dan mereka tidak mendikotomikan antara subjektif dan objektif pada ilmu pengetahuan. Karena temuan “baru”, temuan lama diabaikan. Mirip seperti istri Aladdin dalam hikayah 1001 malam yang membuang lampu lama hanya karena terpikat dengan keindahan lampu baru. “Putih dikejar, hitam tak dapat”.
Ketiga, dari aspek akidah dan hubungan antar ayat. Jika tafsiran Munʿim “sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah” misalnya diterima, tentu saja berlawanan dengan akidah dan juga akal sehat. Umat Nasrani misalnya menganggap Tuhan itu tiga (Q. S. al-Nisaʾ: 171), Isa al-Masih sebagai Allah (Q. S. al-Maʾidah: 17), al-Masih putra Maryam sebagai Allah (Q. S. al-Maʾidah: 72), tentu ini berlawanan dengan akidah kita bahwa Tuhan itu Satu (Q. S. al-Ikhlas: 1) dan tidak beranak maupun diperanakkan(Q. S. al-Ikhlas: 3).* ()
rong>Edi Kurniawan
Penulis adalah Alumni Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civisation (CASIS) – Universitas Teknologi Malaysia Kuala Lumpur

No comments: