Kisah Julaibib

Kisah Julaibib (1)
Ilustrasi.


Rasulullah menggotong jasad Julaibib dengan kedua tangan beliau yang mulSUDAH selayaknya kita mengenal orang-orang pilihan yang memiliki berbagai keutamaan. Sebab, mengenang mereka akan dapat menghidupkan hati. Kita semua memerlukan sosok teladan dan contoh.

Muslim meriwayatkan dari Abu Barzah, bahwasanya Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alahi Wasallam berada dalam satu peperangan. Kemudian Allah menakdirkan beliau mendapatkan harta fai’. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

Para sahabat menjawab, “Ya, yaitu fulan, fulan, dan fulan.”

Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

Sahabat menjawab, “Ya, fulan, fulan, dan fulan.”

Untuk ketiga kalinya, beliau bertanya, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Ya, fulan, fulan, dan fulan,” kata para sahabat.

Beliau bersabda, “Tapi aku kehilangan Julaibib, carilah dia!”

Para sahabat pun mencarinya di tengah-tengah para korban yang terbunuh. Akhirnya, mereka berhasil menemukannya berada di dekat tujuh mayat. Ketujuh mayat ini ia bunuh sebelum akhirnya musuh berhasil membunuhnya.

Tak lama kemudian, Nabi datang. Beliau berhenti sejenak, lalu bersabda, “Ia telah membunuh tujuh orang sebelum akhirnya mereka membunuhnya. Orang ini termasuk golonganku dan aku termasuk bagian darinya, orang ini termasuk golonganku dan aku termasuk bagian darinya.”

Kemudian beliau menggotong jasadnya dengan kedua tangan beliau yang mulia. Hanya kedua tangan beliau yang mengangkatnya, tidak ada yang lain.

Setelah itu, beliau menggalikan kuburnya dan meletakkannya di sana, tanpa terlebih dahulu dimandikan.

Sabda Nabi tentang diri Julaibib, “Orang ini termasuk golonganku dan aku termasuk bagian darinya,” mengandung makna yang menegaskan betapa keduanya memiliki kesamaan langkah dalam hal ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena Julaibib mati syahid, beliau tidak memandikan dan tidak menshalatkannya. Begitulah Islam mengangkat derajat Julaibib, dan menghinakan orang-orang semacam Abu Jahal dan Abu Lahab.

Hadits di atas berisi anjuran untuk mengenal orang-orang shalih, menanyakan keadaan mereka, menampakkan keutamaan mereka, dan mengenali nilai mereka, meski orang shalih tersebut tidak terkenal. Anjuran ini lebih ditekankan lagi bagi orang yang menjadi pemimpin (dalam firman-Nya), “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).*/Sa’id Abdul ‘Azhim, dikisahkan dalam bukunya Bertakwa Tapi Tak Dikenal.ia, saat Julaibib meninggal dalam peperangan.
Rasulullah yang mencarikan istri untuk Julaibib.
DARI Abu Barzah Al-Aslami, ia menceritakan bahwasanya Julaibib adalah seorang sahabat Anshar. Dulu, bila ada sahabat Nabi yang mempunyai putri perawan (belum menikah), ia tidak akan menikahkannya sampai mereka menanyakan kepada Nabi, apakah beliau memerlukan putrinya tersebut atau tidak?
Suatu hari, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam mengatakan kepada salah seorang sahabat Anshar, “Wahai fulan, aku lamar putrimu!”
Ia menjawab, “Silakan wahai Rasulullah, dengan senang hati!”
“Tapi aku melamarnya bukan untuk diriku sendiri!” lanjut Nabi.
Sahabat itu bertanya, “Kalau begitu untuk siapa?”
“Untuk Julaibib,” demikian jawab Nabi.
“Kalau begitu, wahai Rasulullah, izinkan aku meminta persetujuan ibunya!” pinta sahabat tersebut.
Akhirnya orang itu mendatangi istrinya. Ia berkata, “Rasulullah melamar anakmu!”
Tentu saja si istri setuju. “O, silakan, senang mendapat menantu Rasulullah.”
Sang suami melanjutkan, “Tapi beliau bukan melamar untuk dirinya sendiri!”
“Lantas, untuk siapa?”
“Untuk Julaibib,” jawab sang suami.
Istrinya berkata, “Untuk Julaibib? Demi Allah, aku tidak akan menikahkannya dengan Julaibib!”
Ketika sahabat Anshar itu hendak menghadap lagi kepada Rasulullah, putrinya keluar dari kamarnya menemui kedua orang tuanya. Ia bertanya, “Siapa yang melamarku kepada ayah dan ibu?”
“Rasulullah.” jawab keduanya.
Ia berkata, “Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah? Bawalah saya kepada beliau. Sungguh beliau tidak akan menyia-nyiakan diriku!”
Akhirnya, sahabat Anshar tersebut membawa putrinya kepada Nabi. Ia berkata, “Terserah engkau wahai Rasulullah, ia menjadi hak Anda!”
Beliau pun menikahkannya dengan Julaibib.
Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah berkata kepada Tsabit, “Tahukah kamu, apa doa Rasulullah untuk wanita itu?”
Ia berkata, “Apa gerangan doa Nabi untuknya?”
Beliau mengucapkan doa, “Ya Allah, limpahkanlah kepadanya kebaikan demi kebaikan, dan jangan jadikan kehidupannya kesusahan demi kesusahan.” (Diriwayatkan Imam Ahmad).
Tsabit menuturkan, “Akhirnya Rasulullah menikahkan wanita itu dengan Julaibib. Sejak itu tidak ada perawan Anshar yang lebih dermawan berinfak melebihinya.”
Ibnu Sa’d berkata, “Aku mendengar ada seseorang bercerita, bahwasanya Julaibib berasal dari Bani Tsa’labah, yaitu suku yang menjadi sekutu kaum Anshar. Sedangkan wanita yang dinikahkan Nabi dengannya berasal dari Bani Harits bin Khazraj.”
Sekarang, mungkin ada yang bertanya, apa warna kulit Julaibib? Siapa nama ayahnya? Berapa umurnya? Semua pertanyaan ini tidak disebutkan jawabannya untuk kita, sebab tidak ada manfaatnya. Tinggallah Julaibib sebagai figur manusia shalih dan bertakwa yang sejarahnya mematahkan siapa saja yang memburu ketenaran palsu yang tidak ada manfaat dan faedah di dalamnya.
Lebih dari itu, hendaknya kita berusaha betul untuk menggapai makna-makna ukhuwah (persaudaraan) yang didasari keimanan. Karena persaudaraan seperti ini tidak terbatas pada diri orang-orang hebat tadi. Kita juga harus berusaha meraih keshalihan orang-orang yang tidak terkenal tersebut, yang hanya bisa kita kenali sifat keshalihan dan ketakwaannya.
Jika manusia bangga ketika bertemu dengan bintang terkenal, berbincang dan menyalaminya, maka hendaklah kita bersikap lain. Hendaknya kita lebih bersemangat dalam hal ketakwaan kepada Allah dan mendekati orang-orang bertakwa.*/Sa’id Abdul ‘Azhim, dikisahkan dalam bukunya Bertakwa Tapi Tak Dikenal.

No comments: