Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 23



Mantan pasukan Inong Balee Gerakan Aceh Merdeka (GAM)  dari berbagai daerah di Aceh mengusung bendera berlambang bulan sabit setibanya di Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Senin (1/4)

Habibie hanya bertahan sebentar, lalu digantikan Abdurrahman Wahid. Namun karena ulahnya sendiri yang banyak melanggar konstitusi negara—antara lain membuka hubungan dagang dengan Zionis-Israel, padahal konstitusi negara jelas-jelas menyatakan Indonesia anti segala bentuk penjajahan—maka Abdurrahman Wahid pun terjungkal.
Megawati naik menjadi presiden. Dua tahun kepemimpinan Megawati, dalam Pemilu Presiden 2004, rakyat lebih memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Megawati pun balik kandang. Apa makna pergantian kepemimpinan di Jakarta terhadap nasib rakyat Aceh?
Secara jujur harus diakui bahwa pergantian kepemimpinan itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap kehidupan dan rasa bathin rakyat Aceh. Sejak Suharto jatuh Mei 1998 dan diikuti dengan terbukanya ruang publik, maka rakyat Aceh menuntut tiga hal: tarik pasukan DOM (Daerah Operasi Militer) non-organik dari Aceh karena telah menyebabkan terjadinya 1.7272 kasus pelanggaran HAM sangat berat, adili para pelanggar HAM yang telah menyengsarakan rakyat Aceh, dan beri ganti rugi kepada korban dan keluarga korban yang hartanya dijarah, dibakar, perempuannya diperkosa dan dilecehkan, maupun korban yang hilang nyawanya.
Tapi sikap Jakarta ternyata masih keras kepala. Pasukan non-organik bukannya ditarik tapi malah ditambah.
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati sama saja dengan kelakuan rezim Orde Baru Suharto terhadap rakyat Aceh. Mungkin sekarang hal ini sudah dilupakan kebanyakan rakyat Indonesia, karena bangsa ini memang memiliki memori yang pendek.
Ada sejumlah pihak yang menyebut berbagai operasi militer Jakarta terhadap rakyat Aceh (karena bukan hanya GAM yang dibunuh dan disiksa, makanya disebut rakyat Aceh secara keseluruhan) merupakan sebuah genosida, pembasmian satu etnis yang disengaja. Cara-cara teror, siksaan, dan pembunuhan terhadap rakyat Aceh pun nyaris sama dengan apa yang dialami oleh Muslim Bosnia yang dibasmi oleh pasukan salib Serbia. Suatu hari, harus diadakan penelitian terhadap kejahatan perang Jakarta terhadap rakyat Aceh dengan jujur dan adil, agar kebenaran dapat tegak.
Ketika penulis mengunjungi Banda Aceh di pertengahan tahun 2001, penulis sempat bertemu dengan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Banda Aceh dan diperlihatkan foto-foto rakyat Aceh yang menjadi korban ABRI semasa DOM. Sulit rasanya memaparkan semua yang penulis lihat karena kekejian dan kebiadaban yang dilakukan terhadap rakyat Aceh sungguh-sungguh di luar logika seorang manusia, bahkan binatang pun rasanya tidak akan sanggup berbuat demikian.
Ada yang ditangkap di tengah jalan lalu disiksa agar mengaku sebagai GAM, setelah itu ditembak kepalanya dan mayatnya dimasukkan ke dalam tong besi. Tong besi yang ada mayatnya tersebut lalu dicor dengan adukan semen dan dibuang ke sungai.
Ada pula yang disiksa dan dibunuh di depan anak-anaknya yang masih kecil, lalu mayatnya diseret dan dibuang ke dalam selokan. Cara-cara terror yang “kreatif” seperti ini menunjukkan betapa rendahnya rasa pri kemanusiaan dan moral yang dimiliki sang pelaku. Belum lagi perempuan-perempuan Aceh yang diperkosa beramai-ramai lalu dibunuh atau dilepas di tengah jalan. Bagi yang tidak tahan, maka mereka menjadi gila. Banyak orang-orang gila atau stress di Banda Aceh dan sekitarnya karena menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat.
Dalam kunjungan tahun 2001 itu, selain mengelilingi Banda Aceh, penulis juga menyisir kota-kota di pesisir pantai timur Aceh hingga Bireun, lalu belok kanan merambah pegunungan hingga sampai di Takengon (Aceh Tengah) yang masuk dalam wilayah dataran tinggi Gayo.
Sepanjang perjalanan, sama sekali tidak ada kesan bahwa daerah ini adalah daerah kaya raya. Rumah-rumah penduduk sepanjang jalan banyak yang sudah mau rubuh. Ladang-ladang mengering ditinggal kabur pemiliknya karena ketakutan akan konflik yang berkepanjangan. Bahkan di Banda Aceh, yang merupakan Ibukota Provinsi, para pengemis berkeliaran di sana-sini, anak-anak jalanan nan kumal bermain di mana-mana, warganya banyak yang mengojek atau membuka warung seadanya. Mau cari mal atau supermarket? Itu hanya mimpi. Hotel yang paling bagus pun hanya Hotel Kuala Tripa yang di Jakarta hanya dianggap hotel kelas bawah.
Inilah potret daerah penyumbang APBN terbesar dari seluruh daerah di Indonesia. Seluruh kekayaan alam Aceh dirampok Jakarta untuk menggemukkan para pejabatnya, sedang rakyat Aceh sendiri dibiarkan dalam kemelaratan, kepapaan, dan ketakutan yang amat mencekam.
Yang membuat saya bergidik, di Serambi Mekkah ini telah pula ada sejumlah pelacur yang berkeliaran di malam hari. Para perempuan muda Aceh pun terlihat tidak lagi konservatif dalam berbusana, tidak kalah dengan yang di Jakarta. Rambut memang ditutupi kerudung, tapi pakaian yang dikenakan sangat ketat. Pergaulan sesama mereka pun tidak ada bedanya dengan pergaulan anak Jakarta.
Sungguh, rezim Orde Baru sangat berhasil dalam melemahkan dan merusak identitas Muslim Aceh. Orde Baru sudah sedemikian gemilang menghancurkan karakter Islam yang berabad-abad lamanya tertanam dalam diri rakyat Aceh. Jika Belanda menyerang rakyat Aceh hanya dengan bedil dan meriam, maka Orde Baru memerangi rakyat Aceh selain dengan bedil dan meriam, juga dengan pengrusakkan budaya, pemikiran, akidah, dan sebagainya.
Suharto, Golkar, petinggi TNI/Polri saat itu, semuanya harus bertanggungjawab.
Tahun demi tahun berjalan dengan teramat lambat di Aceh, tiap hari ada saja orang Aceh yang mati atau disiksa. Orang di luar Aceh hanya mendengar Aceh bila ada bentrokkan antara TNI/Polri dengan GAM, atau ada penemuan ladang ganja. Karakteristik Aceh yang sesungguhnya mulia dirusak sedemikian rupa hingga nama Aceh menjadi identik dengan gerombolan pengacau dan ladang ganja.
Inilah karya rezim Orde Baru. Kalau saja tidak terjadi bencana gempa besar yang disusul dengan hantaman gelombang tsunami pada Ahad pagi, 26 Desember 2004, maka bangsa Indonesia sudah melupakan bagaimana nasib rakyat Aceh saat itu.
Malam Sebelum Tsunami
Salah satu yang menyebabkan hancurnya tatanan sosial dan bathin rakyat Aceh adalah kelakuan aparat yang didatangkan dari luar Aceh, yang sama sekali tidak menghormati jatidiri wilayah Serambi Mekkah ini. Walau KTP mereka banyak yang mencantumkan Islam, namun sikap kesehariannya sungguh bertolak-belakang dengan Islam itu sendiri.
Malam sebelum terjadinya tsunami, sebuah episode di pantai Syiah Kuala, Banda Aceh, dekat dengan makam Syiah Kuala, ulama yang sangat disegani rakyat Aceh bisa dijadikan contoh yang baik untuk menggambarkan kelakuan aparat keamanan negara selama berada di Aceh.
Pada hari Sabtu, 25 Desember 2004, sebuah tenda besar dipasang di dekat pos polisi yang berdekatan lokasinya dengan komplek pemakaman Syiah Kuala. Kursi-kursi pun dideretkan. Pesta Natal dan menyambut tahun baru diselenggarakan oleh Brimob. Organ tunggal dipanggil, lengkap dengan penyanyinya. Hingga jauh malam, pesta berlangsung meriah.
“Jika pada hari biasa yang berjaga di situ paling ada tujuh orang polisi, namun pada hari Sabtu, petugas yang ada di situ amat banyak,” ujar Abdul Syukur (bukan nama sebenarnya), warga sekitar makam yang selamat. Menurut Abdul Syukur yang diamini warga sekitar, para petugas kepolisian itu mabuk-mabukkan dan berjoget. Suara hingar-bingar ditingkahi suara tertawa genit perempuan nakal terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Semua dilakukan tanpa mengindahkan kesakralan makam ulama besar Syiah Kuala yang berada tak jauh dari lokasi pesta.
tsunami-satelit-1

Seorang guru ngaji (al-Walid) yang biasa bermalam di komplek makam merasa terketuk nuraninya untuk mengingatkan aparat kepolisian itu agar tidak melakukan kemaksiatan di dekat makam seorang ulama. Setelah mengucap Basmallah, orangtua berjubah putih itu menghampiri orang-orang yang tengah berpesta. Tutur katanya yang begitu sopan dan lembut tidak dihiraukan. Orangtua itu malah dihardik dengan kasar dan ditodong senjata api laras panjang.
Dengan hati hancur al-Walid berbalik menuju makam Syiah Kuala. Di depan makam, al-Walid berdoa sembari mengucurkan airmata. Hatinya hancur. Ia tidak punya daya upaya dan kekuatan untuk menghentikan pesta maksiat itu. Dengan penuh perasaan, orangtua itu bahkan sempat mengumandangkan adzan tiga kali di depan makam. Suaranya kalah keras dengan dentuman musik dangdut yang mengiringi pesta maksiat para aparat itu.
Setelah melantunkan adzan tiga kali, dengan hati hancur orangtua itu pergi meninggalkan makam. Al-Walid terus berjalan menjauhi makam dan hilang ditelan kegelapan malam. Pesta terus berlangsung tak kenal tempat dan waktu. Menurut beberapa warga sekitar makam, dalam pesta itu beberapa orang terlihat melepaskan pakaiannya.
Adzan Subuh yang bergema dari Masjid al-Waqib tak jauh dari makam, tak mampu menghentikan pesta maksiat yang masih meriah. Saat matahari terbit di ufuk timur, pesta masih terus berlangsung. Botol-botol minuman keras berserakan di atas pasir pantai.
Tak lama kemudian tanah berguncang hebat dalam hitungan beberapa menit. Gempa besar telah terjadi. Orang-orang yang berpesta keluar dari tenda. Ada yang menjerit, ada yang tertawa-tawa, ada pula yang masih asyik berjoget sendiri. Para penduduk sekitar juga berhamburan keluar rumah memenuhi jalan dan lapangan. (Bagi yang ingin membaca kisah-kisah yang tidak pernah dimuat dalam media masa, silakan baca Serial Keajaiban Tsunami Aceh) | (Rizki Ridyasmara)

No comments: