Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 17

baiturrahmanmosquebandaaceh
Setelah bertekuk-lutut kepada Sekutu, Jakarta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tepat di hari Jum’at bulan Ramadhan. Berita proklamasi ini, seperti daerah lainnya di Nusantara, baru diterima beberapa hari kemudian dengan cara-cara yang berbeda.

Di Aceh, menurut penuturan Sjamaun Gaharu, berita penting tersebut masuk ke Aceh lewat berbagai cara, antara lain didapat dari hasil monitoring yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kantor pos, penerangan, dan jawatan radio serta penerimaan radio gelap. Kepala Kantor Pos Kutaraja, lebih dikenal dengan sebutan Pak Ahmad Pos, merupakan orang pertama di Aceh yang mendengar hal ini. Ia lalu meneruskan kabar penting ini ke Teuku Nyak Arif, Teuku Ahmad Jeunib, dan Teuku Abdul Hamid. Ini terjadi pada tanggal 22 Agustus 1945.

Pada 23 Agustus 1945, di kantor Teuku Nyak Arif telah terkumpul 56 tokoh masyarakat Aceh. Teuku Nyak Arif memaparkan bahwa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya di Jakarta, 17 Agustus 1945. Seluruh ruangan hening ketika mendengar Indonesia telah merdeka.

Sesaat kemudian, Dr. Mahyuddin berbicara, “Siapa yang setuju menyokong kemerdekaan Indonesia, agar bersumpah setia dengan syarat al-Qur’an diletakkan di atas kepalanya sendiri oleh tangannya sendiri.” Pertemuan bubar dengan janji keesokan harinya bertemu lagi di tempat yang sama untuk mengangkat sumpah setia.

Esoknya, hanya 17 tokoh Aceh yang hadir.  Pukul 09.00 wib lebih sedikit, ketujuhbelas orang itu berdiri tegak di tengah ruangan, berbaris dua. Suasana hening. Sebuah al-Qur’an diletakkan berdampingan dengan bendera merah putih berukuran 2 x 3 meter yang dijahit semalam oleh isteri Teuku Nyak Arif.

Orang pertama yang berbaiat adalah Teuku Nyak Arif sendiri. Dengan suara lantang ia maju ke depan, mengambil al-Qur’an dengan tangan kanan dan diletakkan di atas kepalanya sendiri sembari berkata lantang, “Demi Allah, Wallah, Billah, saya bersumpah setia untuk membela kemerdekaan bangsa Indonesia, sampai titik darah saya yang terakhir!”  Ke-16 orang lainnya pun ikut berbaiat secara bergiliran. Setelah itu, mereka semua beranjak ke halaman kantor untuk mengibarkan merah putih.  Rombongan lantas berjalan ke kantor Shu-chokan di dekat pusara Sultan Iskandar Muda dan Sultan Aceh lainnya untuk menaikkan bendera merah putih. Setelah itu, Teuku Nyak Arif memerintahkan agar sang dwiwarna dinaikkan di seluruh kantor dan rumah.

Sebelum mereka kembali ke kantor, rombongan itu menyempatkan pergi ke Masjid Raya Baiturrahman untuk melakukan sujud syukur pada Allah atas rahmat dan berkat-Nya pada bangsa ini hingga bisa menggapai kemerdekaan. Setelah hari itu, rakyat Aceh dengan gegap-gempita menyambut kemerdekaan ini dengan melakukan sujud syukur kehadirat Allah SWT.

Dalam kacamata penyebaran salib, Portugis dan Belanda jelas mengalami kegagalan besar. Potugis tidak pernah mampu mendaratkan kaki ke tanah Aceh. Sedang Belanda, sejak mendarat di Aceh tahun 1873 hingga terusir dari Aceh 69 tahun kemudian, hanya berhasil membangun satu buah gereja kecil di Banda Aceh, itu pun di dalam kompleks markas pasukannya di tepi Krueng Aceh.

Dengan demikian, dalam peta penyebaran salib dunia, wilayah Aceh masih saja ditandai dengan spidol hitam yang sangat tebal. Aceh masih menjadi wilayah yang sangat gelap bagi upaya misi kristenisasi. Berpuluh tahun kemudian kelak terbukti, Aceh masih menjadi salah satu target utama penyebaran salib dunia.

TAK BISA DIKALAHKAN MAKA DILEMAHKAN

Berhasil memukul mundur armada salib Portugis yang begitu kuat dan tidak pernah takluk pada tentara kafir Belanda, bahkan Aceh tercatat sebagai daerah pertama di Nusantara yang pernah memukul mundur pasukan Belanda dan menewaskan empat petinggi militernya, tentu suatu prestasi membanggakan. Padahal Belanda telah menurunkan tentara terbaiknya. Tapi di medan pertempuran, tentara elit Belanda ini banyak yang mati konyol disabet rencong Aceh. Islam sungguh-sungguh telah menjadi satu-satunya faktor kekuatan Muslim Aceh, hingga seorang Snouck Hurgronje dalam berbagai tulisannya dengan sinis menyebut Mujahidin Aceh sebagai “gerombolan fanatik Islam”.

Menghadapi balatentara Jepang yang dengan ganas mampu melumat pasukan Sekutu di Pasifik dan Malaya, dengan cerdik rakyat Aceh melancarkan strategi rangkul dan pukul. Beberapa saat sebelum Jepang mendarat di pesisir Banda Aceh, para Mujahidin Aceh melakukan sabotase dan penyerangan besar-besaran terhadap berbagai kepentingan Belanda hingga Belanda banyak yang kabur meninggalkan kota dan markasnya. Tak heran ketika Dai Nippon mendarat di pantai Aceh, mereka bisa mendarat dengan aman dan nyaman karena tidak ada lagi perlawanan dari tentara Belanda.

Kemesraan rakyat Aceh dengan tentara pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Sikap Jepang yang begitu angkuh dan kejam, terutama tidak menghormati Islam sebagai identitas Aceh, membuat murka rakyat Aceh.

Di beberapa tempat timbul pemberontakan, seperti yang terjadi di Bayu (kawedanan Lhok Seumawe) yang dilancarkan oleh Teungku Abdul Djalil dan pengikutnya, lalu juga pecah pemberontakan di Pandraih yang masuk dalam Kawedanan Bireun yang dilakukan oleh rakyat, dan sebagainya. Seperti halnya Belanda, tentara Jepang juga tidak pernah aman memasuki hutan belukar dan daerah-daerah pegunungan Aceh karena sering dihadang rakyat setempat.

PUSA yang pada awalnya menyerukan rakyat Aceh agar mau bekerjasama dengan Jepang juga merasa sangat kecewa. Janji Jepang untuk menyingkirkan kaum feodal kaki tangan Belanda (uleebalang) ternyata tidak ditepati. Akhirnya PUSA mengancam akan menarik dukungan pada Jepang dan memilih untuk mengambil posisi konfrontasi.

Menghadapi tekanan PUSA tentu membuat petinggi Jepang di Aceh was-was. Jepang amat sadar, PUSA memiliki pengaruh dahsyat terhadap rakyat Aceh yang sangat menghormati para ulamanya. Akhirnya Jepang melunak. Atas inisiatif Kepala Kehakiman Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Aceh, Aoki Eigoro, Jepang akhirnya membentuk pengadilan yang bebas sama sekali dari intervensi uleebalang.


Di samping itu dibentuk pula Pengadilan Agama yang merupakan dasar Pengadilan Agama yang ada sekarang ini. Keputusan ini disambut rakyat Aceh dengan gembira. Sebab bagaimana pun juga, pembentukan pengadilan yang baru ini merupakan pencabutan kuku uleebalang yang sudah ratusan tahun mencengkeram leher rakyat Aceh.[1]

Di depan sudah disinggung betapa bahagianya rakyat Aceh menyambut proklamasi kemerdekaan RI. Proklamasi itu dilakukan dalam momentum yang amat baik dari kacamata orang Aceh: hari Jum’at bulan Ramadhan pula, ini dianggap oleh rakyat Aceh sebagai pertanda bahwa kemerdekaan rakyat Indonesia diberkahi oleh Allah SWT. Semangat keislaman membuat rakyat Aceh merasa satu bagian dengan saudara-saudaranya sesama Muslim di Jawa dan daerah lainnya. Euphoria pun bermunculan di tengah rakyat Aceh.

Ada yang mendesak agar pemimpin-pemimpin Aceh  memproklamasikan berdirinya kembali Kesultanan Aceh Darussalam atau secepatnya Aceh memberlakukan hukum Islam di seluruh wilayahnya. Berbagai tuntutan rakyat Aceh ini disikapi dengan arif oleh para ulama setempat. Para ulama meminta rakyat Aceh bersabar menunggu sikap baik dan perkembangan Jakarta.

Di sisi lain, Belanda ternyata membonceng tentara Sekutu yang hendak mengambil-alih wilayah penduduk Jepang. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Oktober 1945 para ulama di Jawa Timur mengumandangkan Resolusi Jihad yang akhirnya meletuskan perang besar yang dikenal sekarang sebagai Pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Lewat radio rakyat Aceh mendengar saudara-saudaranya di Surabaya juga mengumandangkan jihad, ini semakin memperteguh keyakinan mereka bahwa Aceh merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Pertempuran Surabaya segera saja disusul oleh jihad-jihad lain di Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya di seluruh Nusantara. Di Ambarawa, pasukan Inggris yang baru saja mabuk kemenangan Perang Dunia II berhasil dipukul mundur oleh laskar santri yang dipimpin para kiai dan ustadz. Takbir berkumandang memenuhi langit Indonesia.

Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah kemerdekaan juga bagi rakyat Aceh. Sebab itu, seruan jihad fisabilillah kembali dikumandangkan. Bagi Muslim Aceh, semua tentara kafir apakah itu bernama Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika, semuanya sama: musuh-musuh Allah hukumnya fardhu ‘ain diperangi hingga Islam tegak atau syahid. (Rizki Ridyasmara)

Artikel ini bekerjasama dengan :Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah

[1] M. Nur El Ibrahimy; ibid, hal.40.

No comments: