Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 21

tragedi-simpang-kka-aceh-utara
 Suharto sangat paham bahwa kekayaan alam di Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan.

Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya.

Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.[1]

Kondisi ini diperkeruh oleh pertambahan penduduk sebesar 50% pada periode 1974-1987. Di sekitar tiga kecamatan ZIL, pertumbuhan penduduk bahkan mencapai 300% dalam periode sama. Pada 1992 hampir 25% penduduk provinsi Aceh bermukim di sekitar ZIL. Mereka meninggalkan ladang-ladang dan kebun yang tidak lagi produktif, mencari lokasi yang memungkinkan mereka untuk sekadar bertahan hidup.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”.

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”

Operasi militer pertama Republik Indonesia atas Aceh dilakukan atas instruksi Bung Karno di tahun 1953. Empat tahun operasi militer berlangsung namun rakyat Aceh tak juga berhasil ditundukkan. Merasa tak bisa menang, akhirnya pada 1957 Bung Karno mengembalikan status provinsi kepada Aceh. Dua tahun kemudian, pada 1959, Aceh diberi status Daerah Istimewa yang berhak mengatur sendiri urusan agama, hukum adapt, dan pendidikannya.

Ini memuaskan sebagian ulama PUSA. Daud Baureueh dan pengikutnya bertahan hingga 1962. Mereka sudah tidak lagi percaya kepada Bung Karno.


aceh-2
Di masa rezim Orde Baru, Suharto membawa ideologi pembangunan dan “stabilitas politik”. Dengan kacamata kuda yang “sentralistik-Jawaisme”, Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”.

Status “istimewa” Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adapt, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.

Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki “penyelewengan” ini.

Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.

Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?”

Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!

Seperti yang telah diucapkan seorang petani di ladang cabai yang telah kering di daerah Padangtji, dekat Sigli, di tahun 2001. Kepada eramuslim.com, petani tua yang telah kehilangan anak isterinya akibat ditembak mati orang tak dikenal di hutan, mengeluh, “Kemerdekaan ini bagi kami terasa begitu pahit…”

Bagi siapa pun yang mengenal sejarah panjang Aceh Darussalam, maka kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Republik Indonesia sebenarnya merupakan sebuah pengorbanan tersendiri. Tanpa bergabung, rakyat Aceh berabad-abad lalu telah punya konstitusi, telah punya badan seperti MPR/DPR, telah makmur dan sejahtera hidupnya, telah maju ilmu pengetahuannya. Kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan RI adalah suatu pengorbanan.

Konspirasi Kubu Sekular-Salib

Pemerintahan Pusat era Orde Lama dan khususnya Orde Baru nyata-nyata sangat Jawasentris. Semua kekayaan alam Nusantara, bukan hanya Aceh, disedot ke Pulau Jawa. Pembangunan fisik di Pulau Jawa berjalan dengan sangat cepat, sedang di daerah di luar Jawa, nyaris tidak ada pembangunan, malah yang ada kian hari kian banyak orang miskin. Kalau pun ada pembangunan, maka itu kebanyakan berpusat di wilayah-wilayah tertentu yang ada tambangnya dan sebagainya.

Contoh paling baik memang ada di Aceh dan Irian Barat. Di Zona Industri Lhokseumauwe maupun di kawasan pertambangan Freeport misalnya, listrik menerangi hampir setiap jengkal tanahnya. Fasilitas kesehatan dan toko serba ada juga didirikan. Jangan tanya soal hiburan, semuanya lengkap, dari yang semacam bioskop hingga “hiburan” yang lebih menjurus pada kemaksiatan.

Telah banyak literatur yang mengulas tentang masa-masa awal Orde Baru hingga di tahun 1980-an. Brad Sampson, seorang mahasiswa yang meraih PhD dari Northwestern University AS melakukan penelitian tentang Indonesia di masa-masa ini. (Rizki Ridyasmara)

No comments: