Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 18

pejuang12
Di Aceh, para ulama menyerukan agar rakyat bersama-sama bahu-membahu menghadang tentara Belanda yang hendak menjajah kembali. Rakyat Aceh bukan saja siaga mempertahankan Tanah Rencong, tetapi juga mengambil inisiatif untuk memerangi Belanda di perbatasan selatan, yakni di Medan yang kala itu dikenal sebagai front Sumatera Timur (Medan Area). Ribuan laskar Aceh mengalir dari pesisir Barat dan Timur serta dari dataran tinggi Gayo lewat Kutacane ke Medan Area guna berjuang mati-matian menghadang Belanda yang hendak menembus Aceh lewat Medan.

Berkarung-karung beras dikirim dari Aceh menuju kantong pertahanan republik di front Sumatera Timur. Ribuan lembu dan kerbau, ribuan karung emping dari beras dan melinjo, dan seluruh logistik yang ada mengalir deras dari Serambi Mekkah ke Medan Area. Demikian pula aneka senjata, mortar, dan amunisi.

Dari berbagai keterangan, bantuan logistik dari Aceh ternyata mengalir juga untuk front Tapanuli dan Sumatera Barat. Pertempuran di Medan Area berlangsung dengan amat dahsyat. Ribuan perempuan, anak-anak kecil, dan orangtua mengungsi ke Aceh. Di Aceh, mereka disantuni dengan amat baik dan dianggap sebagai sanak-saudara oleh rakyat Aceh.

Sikap nasionalisme dan pengorbanan rakyat Aceh sangat tinggi. Walau dalam keadaan yang pas-pasan, saat pemerintah pusat menganjurkan rakyat agar membeli obligasi yang dikeluarkan guna mengisi kas pemerintah yang nyaris ludes akibat perang, berbondong-bondong rakyat Aceh—baik yang miskin maupun yang kaya—membelinya. Dengan penuh keikhlasan, rakyat Aceh menjual sawah, kebun, binatang peliharaan, aneka perhiasan emas dan perak, untuk ditukar dengan obligasi itu. Sejarah mencatat, rakyat Aceh sampai saat ini tidak pernah menerima pembayaran obligasi ini atau pun menagihnya dari pemerintah Jakarta.

Ketika pusat pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh dan Bung Karno-Bung Hatta ditawan Belanda, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan dunia internasional terputus. Suara RRI Yogyakarta yang selama ini menyiarkan gegap-gempita perjuangan mempertahankan kemerdekaan ke dunia dibungkam Belanda. Di saat yang genting ini, peran penting RRI Yogyakarta dengan cepat diambil-alih oleh RRI Kutaraja (Banda Aceh). Dari Kutaraja inilah kaum republik melawan propaganda Belanda yang disiarkan lewat corong stasiun radio di Medan dan Jakarta.

Lewat dua corong radio yang dikuasainya, Belanda dengan amat gencar melancarkan perang urat syaraf dan propaganda ke seluruh dunia bahwa apa yang dinamakan sebagai Republik Indonesia sebenarnya tidak pernah terbentuk, dan apa yang dinamakan perlawanan rakyat dan tentara Indonesia hanyalah perlawanan gerombolan pengacau bersenjata yang sama sekali tidak terorganisir. Para pemimpin pergerakan Indonesia amat gusar dengan propaganda Belanda ini. Namun mereka juga paham bahwa republik hanya punya satu buah pemancar radio di Kutaraja. Jelas ini tidak seimbang melawan propaganda Belanda.

Untuk itu maka para pemimpin pergerakan rakyat Aceh berinisiatif untuk membangun satu lagi pemancar radio dengan jangkauan sinyal yang jauh lebih kuat. Akhirnya setelah berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka dengan mempergunakan speedboat, sebuah pemancar radio berkekuatan satu kilowatt berhasil diselundupkan ke Aceh dari Malaya. Pemancar ini diserahkan di bawah pengawasan Tentara Divisi X pimpinan Kolonel Husin Yusuf.

Awalnya pemancar baru ini ditempatkan di Krueng Simpo, lebih kurang 20 kilometer dari Bireun arah ke Takengon, Aceh Tengah, namun atas perintah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Muhamad Daud Beureueh, pemancar itu dipindahkan ke Cot Goh, tidak jauh dari Banda Aceh. Namun karena Belanda yang agaknya terusik dengan siaran radio ini sering membombardir wilayah sekitarnya, maka pemancar ini pun dipindahkan lagi ke tempat yang dinilai lebih aman yang disebut Rimba Raya, sekitar 62 kilometer dari Bireun ke arah Takengon.

Inilah Radio Rimba Raya dengan signal calling 19,15 dan 16 meter. Mengudara tiap hari pukul 17.00 wib hingga subuh dengan mempergunakan bahasa Indonesia, Inggris, Cina, Belanda, Arab, dan Urdu.

Selain itu, dibentuk pula PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang awalnya berkedudukan di daerah pegunungan Bukittinggi, Sumatera Barat, tetapi karena keamanannya dianggap kurang kondusif maka dipindahkan ke Banda Aceh. Staf Angkatan Laut dan Udara juga bermarkas di tempat yang sama.

Yang tidak diketahui khalayak luas, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI, Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, seluruhnya ditanggung oleh rakyat Aceh. Bahkan misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim  dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh. Semua itu dilakukan rakyat Aceh dengan ikhlas karena tahu bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan termasuk amalan jihad fisabililah yang sangat tinggi nilai pahalanya.




seulawah1
Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh.

Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama Seulawah yang berarti “Gunung Emas”.

Latar belakang pembelian dua pesawat ini sungguh-sungguh mengharukan. Pada bulan Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau.” Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat.

Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram. Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko.

Setelah memakan waktu sekitar tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948. Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas. Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana keberadaannya hingga kini.[1]

Bulan November 1948, Bung Hatta berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan. Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah selesai dirawat.

Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan, maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di Ranggon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah air melewati rute Ranggon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian Airways.

Saat Yogyakarta dikembalikan kepada republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Dari Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang, alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya.

Bahkan rakyat Aceh kala itu menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat. Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai panglima yang sholih dan taat agama, sebab itu dari Aceh dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau.[2]  (Rizki Ridyasmara)

Artikel ini bekerjasama dengan :Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah

[1] Sejarah Perjuangan Indonesia Airways.

[2] Surat Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada dr. Mahyudin, Kepala Rumah Sakit Umum Kutaraja, tertanggal 22 September 1949.

No comments: