Ibn Rusyd dan Kemajuan Eropa

Ibn Rusyd dan Kemajuan Eropa
ILUSTRASI
Bahwa Ibnu Rusyd tetap mengamalkan Syari‘at Islam dan tidak tergolong liberal dibenarkan oleh Ibnu Taimiyyah
KAUM santri mengenalnya sebagai ahli fiqih. Cendekiawan Arab modern mengaguminya sebagai ahli filsafat. Sejarawan Eropa mengenangnya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat, penghubung antara Islam dan Kristendom. Dialah Ibnu Rusyd alias Averroes, tokoh yang belakangan disebut-sebut sebagai perintis gerakan pencerahan di Barat, idola baru kaum liberal dewasa ini.

Beberapa abad terkubur dalam limbo sejarah, sosok Ibnu Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Adalah Ernest Renan yang pertama kali mengungkit semula ketokohan Ibnu Rusyd lewat karyanya: Averroès et l’Averroïsme.

Menurut intelektual Perancis berdarah Yahudi itu, Ibnu Rusyd adalah peletak batu pertama rasionalisme Eropa. Dengan fasih diceritakannya riwayat hidup Ibnu Rusyd serta nasib akhir warisan pemikirannya di dunia Islam dan di Eropa.

“Suatu hari, Ibnu Thufayl memanggilku dan berkata: ‘Hari ini aku mendengar Amirul Mu’minin (Abu Ya‘qub Yusuf, penguasa Kordoba waktu itu) mengeluh tentang sukarnya memahami Aristoteles maupun penerjemah-penerjemahnya. Ia berharap semoga ada seseorang yang mau menerangkan maksud buku-buku itu agar mudah dipahami oleh masyarakat luas. Nah, kulihat engkau punya kemampuan untuk melakukannya, maka kerjakanlah. Dengan ketinggian akalmu, ketajaman nurani dan ketekunanmu dalam mencari ilmu, aku yakin engkau dapat melaksanakan itu semua.’ Maka semenjak itu mulailah aku berkonsentrasi, dengan saran dan dorongan Ibnu Thufayl, menulis komentar atas karya-karya Aristoteles” (hlm. 17).

Namun roda nasib berputar mengubah posisinya. Setelah bertahun-tahun menikmati hubungan akrab dengan para penguasa dan memegang jabatan-jabatan penting di Andalusia, Ibnu Rusyd akhirnya hidup dalam pengasingan di Elisana alias Lucena, sebuah kota kecil dekat Kordoba yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi.

Dari sinilah kemudian timbul pelbagai fitnah dan purbasangka. Sampai-sampai ada yang menuduhnya keturunan Yahudi, lantaran salah seorang muridnya di situ adalah Musa ibn Maymun alias Maimonides, rabbi filsuf yang terkenal pula.

Dugaan ini ditepis oleh Renan dengan alasan jabatan Hakim Agung (Qadhi) mustahil diberikan kepada orang Yahudi. Mengingat ayah dan kakeknya yang juga bergelar Ibnu Rusyd pun pernah menjabat Qadhi, maka Ibnu Rusyd jelas asli keturunan Arab (hlm. 20).

Karya Renan itu segera diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan disambut meriah oleh sejumlah cendekiawan Arab yang sudah kehilangan jatidiri akibat penjajahan ratusan tahun oleh bangsa-bangsa Perancis, Inggris dan Italia.

Para cendekiawan yang terpukau oleh kehebatan tuan-tuan penjajahnya dan putus asa melihat keterpurukan nasib bangsanya. Kekalahan pahit dalam perang melawan Israel menambah panjang daftar kekecewaan mereka. Karya Renan menjadi obat penawar duka. Dengan membacanya mereka temukan pusaka yang hilang.

Murad Wahbah (1979) pun berseru: “Pemikiran Ibnu Rusyd telah memajukan peradaban Barat, padahal di dunia Islam justru ditolak. Barangkali itulah sebabnya di dunia Islam tidak terjadi ‘kelahiran kembali’ (Renaissance) dan ‘pencerahan’ (Aufklärung).”

Ia meratapi apa yang dibayangkannya sebagai ‘kematian’ akal Arab atau “la mort de la raison islamique”, bersama intelektual sekular-liberal lain termasuk Syibli Syumayyil, Farah Antun, Salamah Musa (dari kalangan Kristen) serta Mohammed Arkoun, Abid al-Jabiri dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Seruan inilah yang belum lama dikoarkan lagi oleh Luthfi Assyaukanie dalam artikelnya, “Ibn Rushd sebagai Model Peradaban Islam,” di harian Kompas (2/9/2006).

* * *

Hanya segelintir yang tahu kalau idolisasi Ibnu Rusyd yang riuh-rendah sekarang ini bersandar pada tiga mitos isapan jempol. Pertama, mitos bahwa bangsa-bangsa Eropa itu maju sains dan teknologinya lantaran menganut Averroisme atau mengikuti pemikiran Ibnu Rusyd.

Mereka yang mengerti sejarah intelektual Barat akan terkejut mendengar klaim begini. Pasalnya, revolusi sains di Eropa biasanya dikaitkan dengan teori Copernicus yang menyangkal geosentrisme atau hasil eksperimen Galileo yang menyanggah teori gerak Aristoteles. Yaitu pada abad ke-15 dan 16.

Kedua hal itu dimungkinkan oleh semakin kuatnya gelombang penolakan terhadap teori-teori fisika Aristoteles yang diusung oleh Ibnu Rusyd. Artinya, mereka maju justru dengan menolak Aristotelianisme dan Averroisme. Sebagaimana dinyatakan oleh Frederick Coplestone (1953):

“In the following (14th) century, criticism of Aristotle’s physical theories coupled with further original reflection and even experiment led to the putting forward of new explanations and hypotheses in physics” (Lihat: A History of Philosophy: Late Medieval and Renaissance Philosophy, 3:16).

Paradigma sains Aristotelian yang bersifat deduktif dan cenderung deterministik memang bertolak-belakang dengan semangat sains modern yang lebih mengedepankan metode induktif, eksperimental dan empiris.

Bahwa kesetiaan Ibnu Rusyd pada teori-teori Aristoteles justru dianggap menghambat kemajuan sains modern diakui oleh Renan sendiri: “L’aristotélisme arabe, personifié dans Averroes, etait un des grands obstacles que rencontraient ceux qui travaillaient alors si activement à fonder la culture moderne sur les ruines du moyen âge” (hlm. 383).

Kedua, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu mengajarkan dua macam kebenaran atau ‘kebenaran ganda’ (veritas duplex). Meski tak jelas siapa yang pertama kali melontarkannya, doktrin ini lebih tepat dinisbatkan kepada cendekiawan Barat yang menggelayuti Ibnu Rusyd di Abad Pertengahan seperti Siger dari Brabant, Boethius dari Dacia, Goswin dari Chapelle atau Giordano Bruno. Mereka inilah yang menyuburkan kesalahpahaman terhadap Ibnu Rusyd dengan mencatut namanya tatkala terjadi benturan antara filsafat dengan teologi, antara sains dan agama.

Hal itu lantaran dalam tradisi Kristen selalu terjadi ketegangan antara saintis dan agamawan. Otoritas Ibnu Rusyd dipakai untuk memukul dogmatisme Gereja. Ibnu Rusyd sendiri sebenarnya meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, meskipun cara manusia mencapai kebenaran yang satu itu bisa berbeda-beda sesuai dengan tingkatan akal masing-masing.

Ada metode rhetorik (khithābī) yang lebih umumnya dipakai masyarakat awam. Ada metode dialektik (jadalī) yang biasa digunakan oleh kaum terpelajar, teolog dan golongan sophist (yang suka memelintir dan mengelabui kebenaran). Dan ada metode demonstratif (burhānī) yang lebih cocok untuk para filsuf dan saintis. Begitu menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqāl fīmā bayn al-Hikmah wa s-Syarī‘ah min al-Ittishāl.

Ketiga, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu seorang ilmuwan sekular-liberal. Pencemaran nama baik Ibnu Rusyd bermula sebelum beliau diasingkan ke perkampungan Yahudi. Kedengkian lawan-lawannya telah mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon mereka temukan dalam tulisannya sebuah kalimat yang menyatakan ‘Venus adalah tuhan’. Mereka lalu menunjukkan itu kepada Amir al-Manshur seraya mendakwanya sebagai musyrik dan zindik. Ibnu Rusyd lantas dipecat dan diusir. Buku-bukunya dibakar. Apakah itu semua bukti kesekularan dan keliberalan beliau? Di sini kita mesti cermat dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Banyak penjahat yang hidup nyaman, dan banyak orang soleh yang hidup menderita.

Ibnu Rusyd adalah seorang alim yang taat, penegak dan pembela Syari‘at Islam, walaupun kesohor sebagai dokter dan filsuf. Ibnu Rusyd memang kerap memakai logika dalam mengupas dan menguraikan pelbagai masalah keilmuan. Akan tetapi, beliau bukanlah penganjur liberalisme atau free-thinking. Meski banyak mengkritik pandangan ulama Asy‘ariah (terutama Imam al-Juwayni dan Imam al-Ghazali), Ibnu Rusyd tidak pernah menunjukkan kebiadaban dan kejahilan.

Penting pula diketahui bahwa Averroisme bukanlah satu-satunya mazhab pemikiran dan bukan pula yang paling dominan di Eropa abad Pertengahan. Aliran-aliran lain yang ikut bersaing dan berebut pengaruh adalah Platonisme, Augustinisme, Avicennisme dan Alexandrisme.

Mereka yang menggugat dan menolak pemikiran Ibnu Rusyd cukup banyak, termasuk William Auvergne, Albertus Magnus, St. Bonaventura, Thomas Aquinas, Gilles dari Roma, William Ockham, Picco della Mirandola, dan Raimundus Lullus.

Yang disebut terakhir ini bahkan menulis buku khusus berjudul “Liber de reprobatione errorum Averrois”. Ditentang sedemikian rupa, tak mengherankan jika Averroisme akhirnya kalah dan tenggelam ditelan zaman sampai datangnya Renan.

“Latin Averroism in all its various forms, after blossoming for one last time in the Italian universities of the sixteenth century, declined without leaving significant traces, only to reappear in the guise of a historiographical cause célèbre in Ernest Renan’s renowned (and notorious) Averroès et l’Averroïsme,” demikian bunyi ikhtisar konferensi internasional tentang Renaissance Averroism and Its Aftermath yang diselenggarakan di Warburg Institute London pada 20-21 Juni 2008 lalu.

Sekarang jelaslah bahwa sejarah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Barat tidak sesederhana yang sering digembar-gemborkan, terutama soal kaitannya dengan Averroisme.

Tanpa bermaksud mengecilkan apalagi mengingkari kontribusi monumental Ibnu Rusyd dalam memberikan pencerahan atas tradisi intelektual Yunani kuno, ada faktor-faktor lain yang boleh jadi lebih signifikan mendorong kemajuan peradaban Barat.

Bahwa Ibnu Rusyd tetap mengamalkan Syari‘at Islam dan tidak tergolong liberal dibenarkan oleh Ibnu Taimiyyah: “Ibnu Rusyd dan semacamnya masih lebih dekat ke Islam daripada Ibnu Sina dan semisalnya, karena masih menjaga batas-batas agama ketimbang mereka yang mengabaikan kewajiban dan melanggar aturan agama” (Lihat: Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1:252).*

Syamsuddin Arif
Penulis dosen  UNIDA Gontor, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) Jakarta

No comments: