Tragedi Aleppo: Antara Bashar al Assad dan Hulaghu Khan

Saat Hulaghu Khan dan bala tentaranya sampai di Aleppo, 2 Shafar, 658 Hijriah kondisi kota begitu mencekam. Hulaghu mengerahkan tentaranya untuk mengepung Aleppo Tragedi Aleppo: Antara Bashar al Assad dan Hulaghu Khan [1]
nbcnews.com
ilustrasi: Serangan bom di Aleppo

APA yang terjadi di Aleppo belum lama ini sebenarnya merupakan musibah bagi umat Islam. Pasalnya, ketika Kota Aleppo dibom oleh tentara Bashar al-Assad dan sekutunya, media Barat yang getol mengangkat isu HAM ternyata bungkam jika pelanggaran HAM mendera kaum Muslim.
Pemimpin Muslim sendiri kebanyakan berpangku tangan atas tragedi ini, bahkan media mainstream dalam negeri pun seakan jengah melansir berita riilnya, padahal korban yang berjatuhan kebanyakan warga sipil.
Tragedi Aleppo yang memakan banyak korban dewasa ini, mengingatkan kita pada peristiwa tragis kejatuhan Aleppo di tangan Mongolia.
Saat Hulaghu Khan dan bala tentaranya sampai di Aleppo, 2 Shafar, 658 Hijriah (al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/253), kondisi kota begitu mencekam. Hulaghu mengerahkan tentaranya untuk mengepung Aleppo. Ketika itu, Tauransyah, Paman al-Nâshir Yusuf diamanahi memegang kendali kepemimpinan Aleppo. Sedangkan al-Nâshir sendiri, menjauh dari Aleppo.
Syahdan, alat berat manjaniq (mangonel atau manganon, senjata untuk melempar batu besar, di zaman sekarang barangkali serupa tank) pun dipasang di sekeliling Aleppo. Mulailah tentara Mongolia membombardir benteng Aleppo (dalam Qishhatu al-Tatar min al-Bidâyah ilâ `Ain Jâlût, 187).
Di saat bersamaan, Miyafarqin (sekarang bernama Silvan, di wilayah Turki) di bawah komando al-Kamil Muhammad al-Ayyubi bisa diruntuhkan, hal ini semakin menciutkan nyali penduduk Aleppo.
Semakin beringaslah serbuan tentara Tatar ketika mendengar keruntuhan Miyafarqin. Pengepungan Kota Aleppo berlangsung selama tujuh hari penuh (al-Bidayah, 13/253). Di saat genting itu, Hulaghu memberi tawaran kepada penduduk Aleppo, bagi yang mau membukakan pintu gerbang, maka akan dijamin keamanannya. Masyarakat pun bingung. Ada yang tak setuju(seperti Turansyah dan pengikutnya yang ingin tetap melawan), tapi kebanyakan masyarakat setuju kemudian membukakan pintu gerbang.
Janji pun diingkari (memang demikian karakter mereka sepanjang sejarah). Hulaghu menitahkan pada prajuritnya agar semua penduduk dibunuh, kecuali orang Nashrani. Terjadilah tragedi memilikukan dalam sejarah.
Para bapak, ibu, dan anak-anak disembelih dengan sangat sadis. Sampai akhirnya, Tauransyah pun yang berlindung di dalam Benteng Aleppo bersama prajuritnya, bisa ditaklukkan dalam jangka empat Minggu. Semua dimusnahkan, kecuali Turansyah, karena alasan politik tertentu yang sedang dijalankan Hulaghu. Inilah akhir tragis penduduk Aleppo pada tahun 658 H, di tangan Mongolia.
Bila kita mengamati kondisi Aleppo saat ini, dengan kondisi Aleppo saat ditaklukkan Hulaghu Khan, ada beberapa kesamaan.
Pertama, pada waktu itu Aleppo mengalami krisis kepemimpinan. Saat itu Aleppo dipimpin oleh Emir keturunan Shalahuddin al-Ayyubi bernama al-Nâshir Yusuf.
Tidak seperti kakeknya yang dikenal pemberani dan peduli terhadap urusan umat, dia justru menjadi duri dalam daging umat. Perangainya begitu rendah dan hina, karena lebih mementingkan nafsu pribadi dibanding urusan umat.
Aleppo Dibombardir, Persatuan Ulama Serukan Galang Bantuan
Dalam sejarah, ia tercatat sebagai orang yang bersekongkol dengan Raja Luwis IX untuk memberi bantuan memerangi Mesir dengan imbalan Baitul Maqdis. Dia pula yang memudahkan langkah tentara Mongolia menginvasi Baghdad; memberi ucapan selamat kepada Hulaghu saat mendapatkan kemenangan gemilang; bahkan enggan membantu al-Kâmil Muhammad al-Ayyûbi selaku Emir Miyafarqin walau sekadar bantuan makanan.
Ironisnya, saat Aleppo dibombardir oleh tentara Mongolia, dirinya justru berada di Damaskus yang berjarak sekitar 300 kilo meter dari Aleppo.
Di waktu lain, al-Nâshir Yusuf pernah mengutus anaknya yang bernama al-`Azîz memimpin pasukan Muslim Aleppo untuk bergabung dengan pasukan Tatar menyerang Miyafarqin, bahkan memberikan hadiah kepada Hulaghu (Syamsuddin Adz-Dzahabi, dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A`lâm, 48/28).
Bayangkan, demi kepentingan pribadi, saudara sesama Muslim pun bisa dikorbankan. Pemimpin beginilah yang kala itu menguasai Aleppo. Persis seperti pemimpin Suriah sekarang, demi kepentingan pribadi dan golongan, akhirnya rakyat menjadi korban.
Kedua, secara umum umat Islam pada waktu itu kondisi umat terpecah belah. Ketiga, banyak terjadi perselisihan dan persengketaan. Keempat, perebutan kekuasaan di internal umat begitu menggejala, perang saudara pun tak dapat dihindarkan.
Kejadian ini persis dengan kondisi umat Islam sekarang yang kebanyakan terpecah belah, berebut kekuasaan, bermusuhan, bahkan tak jarang terjadi perang saudara antara sesama negara Muslim.*

Tragedi Aleppo: Antara Bashar al Assad dan Hulaghu Khan
Ilustrasi Pasukan Mongol saat menyerang Aleppo

Kelima, ketika itu umat Islam terbiasa hidup berfoya-foya dan terlalu cinta kepada dunia, sehingga kesadaran kepada agamanya sangat kurang.
Untuk mengatasi masalah ini –sebagaimana gambaran sejarah- ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, menyiapkan pemimpin yang shalih, kuat, pemberani, adil, amanah, dan bermartabat.
Dalam sejarah kita bisa melihat bahwa kedikdayaan Mongolia –tentunya setelah izin Allah- bisa ditaklukkan oleh seorang pemimpin yang memiliki karakter tersebut, yaitu: Saifuddin Quthus (Mahmud bin Mamdud). Pasukan Mongoliaia luluh lantak dalam pertempuran `Ainun Jalut yang dipimpin olehnya (Muhammad Shallabi, dalam al-Sulthan Saifuddin al-Quths wa Ma`rakatu `Ain Jalut, 137).
Kedua, memperkuat persatuan dan kesatuan serta peduli dengan urusan umat. Tidak boleh tidak, jika umat Islam tidak mau mengalami apa yang dialami saudara di Aleppo, maka harus mengokohkan persatuan, semua kepentingan pribadi harus lebur untuk kemaslahatan umat, serta siap sedia dalam memberi bantuan kepada mereka. Ini karena, Al-Qur`an mengingatkan:
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,”(QS. Ali Imran[3]: 103). Kemudian, yang tak kalah penting, sesama Muslim `kan diibaratkan seperti satu bangunan, dan anggota tubuh sebagaimana yang disabdakan nabi, maka setiap kali ada saudara Muslim kesusahan, harus sigap membantu.
Ketiga, tidak memperebutkan kekuasaan. Jauh-jauh hari Nabi Muhammad sudah mengingatkan:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian akan berambisi (merebut) kekuasaan, dan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Di dunia saja penyesalan juga terjadi ketika perebutan kekuasaan terjadi, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah besar. Di sepanjang sejarah, di antara faktor yang bisa memporak-porandakan barisan umat ialah ketika terjadi perebutan kekuasaan.
Keempat, meningkatkan ketaatan pada Allah dan RasulNya serta menghindarkan diri dari persengketaan dan perselisahan di antara umat Islam.
Dalam al-Qur`an, ketidaktaatan, persengketaan dan perselisihan, berakibat fatal bagi hilangnya kekuatan kaum Muslimin. Allah berfirman:
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ ٤٦
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.” (QS. Al-Anfal[8]: 46).
Salah satu kunci sukses Saifuddin Quthus dalam pertempuran `Ainun Jalut ialah karena ketaatannya kepada Allah dan Rasulnya begitu kuat, dan mampu membuat umat Islam bersatu dan mencegah terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam.
Kelima, tidak berfoya-foya serta tidak silau dengan kehidupan dunia.
Dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa penyebab hancurnya kaum sebelum Muhammad, karena perbuatan tersebut. Allah berfirman:
وَإِذَآ أَرَدۡنَآ أَن نُّهۡلِكَ قَرۡيَةً أَمَرۡنَا مُتۡرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيۡهَا ٱلۡقَوۡلُ فَدَمَّرۡنَٰهَا تَدۡمِيرٗا ١٦
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra[17]: 16).
Sebagai kesimpulan, setelah membaca pelajaran berharga dari sejarah, kejadian yang dialami penduduk Aleppo sangat mungkin berulang. Karenanya, jika tidak mau mengalami nasib seperti mereka, maka harus, disiapkan pemimpin yang kompeten; mengokohkan persatuan dan kesatuan umat serta peduli terhadap saudara yang kesusahan; tidak berebut kekuasaan; taat pada Allah dan RasulNya serta menghindari perselisihan dan pertikaian; kemudian terakhir hindarkan diri dari gaya hidup foya-foya dan jangan silau dengan dunia.  
Wallahu a`lam bi al-Shawab
Mahmud Budi Setiawan
Penulis alumni Al Azhar Mesir, peminat masalah sejarah

No comments: