Transformasi Mustahiq ke Muzakki di Zaman Umar bin Abdul Aziz

Transformasi mustahiq menjadi muzakki di zaman Umar bin Abdul Aziz erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui jalur ekonomi strategis Transformasi Mustahiq ke Muzakki di Zaman Umar bin Abdul Aziz
Ilustrasi film tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz

POTENSI zakat menurut penelitian BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), Institut Pertanian Bogor(IPB) dan Islamic Development Bank (IDB) di Indonesia sungguh fenomenal. Bila dana zakat ini digalang secara maksimal, maka setiap tahunnya bisa mencapai 217 triliun, yakni rata-rata sekitar 3.4% gross domestic product (GDP).
Sayangnya, yang tergali masih kurang dari 10% (Tim Dewan Syari`ah LAZNAS AQL, Sukses Berzakat Bersama Laznas AQL, 7). Lantas bagaimana agar zakat bisa tergali secara maksimal sehingga mustahiq bisa naik kelas menjadi muzakki?
Sebagai pijakan -sebelum menjawab pertanyaan tersebut- perlu diingatkan bahwa zakat –sesuai dengan arti bahasa- memiliki arti suci dan berkembang. Zakat bisa mensucikan hati muzakki dan hartanya (QS. At-Taubah[9]: 103). Di sisi lain, kalau direnungkan melalui pengalaman sejarah umat Islam, dia seharusnya berefek pada “perkembangan” dari mustahiq ke muzakki. Mindset (cara berpikir) demikian sangat penting agar peran zakat lebih bisa dioptimalkan. Hal ini tentu sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari, Muslim). Orang yang “memberi” itu lebih baik dari yang “diberi”. Karena itu, selama ada kemampuan untuk meningkatkan diri jadi muzakki kenapa mesti bertahan menjadi mustahiq?
Umar bin Abdul ‘Aziz
Bila bercermin pada sejarah keemasan Daulah Umawiyah, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul `Aziz. Pada masa pemerintahan beliau –meski hanya sekitar dua tahun setengah- tapi mampu membuat hidup rakyatnya aman dan sejahtera.
Mengenai hal ini, Zaid bin Khathab misalnya menceritakan kemakmuran di masa Khalifah yang dikenal dengan keadilannya itu. Sedemikan makmurnya hingga menjelang kematian Khalifah Agung ini, ada orang yang kesusahan mencarai mustahiq zakat. Ia pun berkomentar, “(Berkat Allah melalui tangan)Umar bin Abdul Aziz banyak penduduk yang hidup berkecukupan.”(Abdullah bin Abdul Hakam, Sîrah `Umar bin `Abdil `Azîz, 110).
Kita mungkin akan bertanya-tanya bagaimana Umar bin Abdul Aziz mampu mensejahterakan rakyatnya sehingga muzakki menjadi dominan mengungguli mustahiq di seantero negeri?
Kondisi demikian sangat berkaitan erat dengan kebijakan strategisnya di sektor ekonomi yang poin-poinnya sebagai berikut.
Pertama, memiliki tujuan ekonomi jelas. Di antara tujuan pengembangan sektor ekonomi yang dicangankan beliau adalah: mengembalikan kembali sistem pembagian pemasukan(incom) dan kekayaan negara secara adil; mewujudkan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, untuk merealisasikan tujuan tersebut, di antara langkah-langkah yang dibuat oleh beliau ialah: menciptakan iklim perokonomian yang kondusif, mengikuti pola perekonomian baru serta konsen dalam mengembangkan petani dan dunia pertanian.
Ketiga, membuat kebijakan strategis untuk mengoptimalkan pendapatan negera melalui zakat, jizyah, kharaj (pajak), usyur (bagian sepersepuluh), khumus (bagian seperlima), dan fai (harta yang diperoleh tanpa melalui jalur peperangan).
Cara Umar Mengelola Zakat
Secara khusus, pada bidang zakat ada beberapa hal menarik yang bisa diungkap di sini mengenai pengelolaam zakat di masa beliau.
Pertama, bila para khalifah sebelumnya tidak begitu memperhatikan –bahkan terkesan lalai- terhadap urusan zakat, maka kondisi itu diubah oleh beliau. Zakat mendapatkan perhatian lebih, dan disalurkan kepada mustahiq-nya sesuai dengan teladan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Uniknya, jika mustahiq tidak ditemukan, maka beliau mengalokasikan dana zakat -di antaranya- untuk membebaskan budak.
Kedua, terciptanya trust (kepercayaan) rakyat terhadap pemimpinnyanya juga menjadi faktor penting peningkatan zakat di masa itu.
Dengan keteladanan Umar sebagai pemimpin yang Zuhud dan dermawan, mereka tidak eman dalam menunaikan zakat dengan suka cita.
Ketiga, dengan kebijakan ekonomi strategris yang diterapkan Umar bin Abdul Aziz berdampak kepada meningkatnya produktivitas pekerja sehingga berpengaruh langsung terhadap peningkatan muzakki dan penurunan mustahiq (Ali Muhammad al-Shallabi, `Umar bin Abdul Aziz, Ma`âlim al-Tajdîd wa al-Ishlâh, 99-112).
Karena itulah Abdurrahman bin Zaid meriwayatkan dari Umar bin Asid mengenai fenomena ini ia berkata, “Demi Allah, tidaklah Umar bin Abdul Aziz wafat, melainkan ada orang yang datang kepada kami membawa harta yang banyak seraya berkata, ‘Gunakanlah ini sesuai dengan pendapat kalian.’ Akhirnya dia tidak berhasil mencari mustahiq zakat sehingga kembali membawa hartanya, karena Umar telah mensejahterakan rakyatnya (Muhammad ad-Dzahabi, Siyaru A`lâm an-Nubalâ, 5/131).
Intinya, transformasi mustahiq menjadi muzakki di zaman Umar bin Abdul Aziz erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui jalur ekonomi strategis (ini berarti peran negara sangat urgen dalam mensukseskan agenda ini). Kemudian optimalisasi zakat dengan –minimal- tiga poin penting: perhatian serius, di-followup dengan langkah-langkah strategis yang menimbulkan trust (kepercayaan) dan terakhir meningkatkan produktivitas rakyat.
Insyaallah dengan begitu, apa yang dialami oleh rakyat pada zaman Umar bin Abdul Aziz, tak menutup kemungkinan akan terulang kembali di masa sekarang. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
Mahmud Budi Setiawan
Penulis alumni Al Azhar, Kairo

No comments: