Seni di Mata Hamka

Seni yang sampai kepada puncaknya, ialah gabungan di antara rasa keindahan (jamal), dan rasa kesempurnaan (kamal), danrasa kemuliaan (jalal) Seni di Mata Hamka
Mantan Ketua MUI pertama, Buya HAMKA





JIKA  dalam diri Anda ada bakat seni, pandanglah Tuhan dari jendela keindahan. Akan timbul dalam hati Anda sebuah pertanyaan, kekuatan apakah gerangan yang menyebarkan keindahan dalam sesuatunya ini, yang satu bertali dengan yang lain?

Lautan dengan ombaknya yang bergulung, gunung-gunung dengan warnanya yang hijau, matahari an indah kala terbit dan terbenam, bunga dengan campuran warnanya yang harmonis, pohon bambu bergeser di antara satu dengan yang lain, membawa kicut suara sebagai musik dari alam.

Bila melihat keindahan sekeliling, terasalah bahwa diri ini ada! Kita diberi dua alat penangkap, yaitu penglihatan dan pendengaran. Dialah yang menghubungkan indah di dalam dengan indah di luar.

Apakah benar bintang bertambah terang cahayanya karena bulan sabit berangsur hilang ke barat, atau rasa seni kah yang bertambah bergerak karena lama merenunginya? Ombak berdebur, kapal hanya laksana sebuah sabut yang dihempaskan gelombang. Entah di manalah tanah tepinya lautan itu. Pulau-pulau berserak dikelilingi karang aneka warna. Kecil rasanya diri di hadapan kebesaran laut. Dan laut pun kecil di hadapan kebesaran sesuatu. Terlompat lah dari mulut, “Allahu Akbar!” Bila itu terucapkan, engkau telah sampai!

Bernyanyi rasanya alam ini bila dilihat dengan mata seni! Keindahan adalah gabungan rupa dan suara. Dengan sendirinya Anda akan mencintai alam! Dengan sendirinya Anda akan mencintai diri sendiri karena hidup diliputi keindahan. Anda terharu! Terharu adalah gabungan gembira dan sedih! Gembira merasakan nikmat hidup, sedih mengingat kecil diri di hadapan kebesarannya. Anda akan menarik napas panjang lalu terlontarlah sesuatu kalimat dari mulut Anda, “Allah.” Dengan ucapan itu berhasillah Anda!

Batas antara seorang seniman dan sufi tipis sekali! Pernah ada seorang bertanya kepada guru sufiyah terkenal yang bernama  Djunaid Al-Baghdadi, tentang anggapan sebagian orang kalau wanita itu “tali setan” untuk memperdaya manusia. Beliau menggelengkan kepala dan berkata, “Biarlah orang mengatakan perempuan tali setan yang memperdaya manusia. Adapun bagiku kecantikan wanita adalah tali Tuhan buat memperteguh iman dan kepercayaanku pada Tuhan.”

Bagi Djunaid rupanya kecantikan perempuan adalah salah satu cabang keindahan anugerah Ilahi. Sama juga dengan keindahan bunga yang mekar, indah dilihat, tetapi jangan diganggu. Jangan diserumpunkan rasa keindahan dan seni dengan syahwat hawa nafsu!

Pada  suatu hari di tahun 1957, melawatlah aku ke pulau Bali. Aku berziarah ke studio yang didirikan oleh pelukis  terkenal, Agus Djaja. Aku lalu masuk ke dalam, menikmati lukisan-lukisan yang dipamerkan. Di antaranya ada lukisan wanita telanjang. Pelukisnya minta maaf kepadaku. “Maafkan saya kiai! Tidaklah layak saya memperlihatkan lukisan ini kepada kiai.”

Dengan senyum, aku menjawab, “Di samping seorang kiai, aku ini pun seorang pecinta seni. Seni Anda tersalur pada kanvas dan kuas, dan seniku pada lisan dan tulisan! Jika kulihat lukisan ini dari rasa seni, samalah buatku seperti melihat bunga mekar! Aku melihat indahnya, tapi tak akan kucabut dia dari tangkainya. Keindahan bunga itu dipagari oleh Tuhan dengan duri atau miang! Dan bila kupatahkan bunga itu dari tangkainya, hendak kucari di mana letak keindahannya, lalu kukupas kelopaknya sejurai demi sejurai, niscaya akan habislah dia berantakan ke bumi. Kurusakkan susunan keindahannya yang asli karena nafsu ingin tahu, padaal aku tak dapat menyusun balik!

“Demikian juga kecantikan wanita! Aku kagum melihat keindahan bentuk badan yang saudara lukiskan, campuran warnanya, tapi percayalah aku hanya menikmati keindahan lukisan dan tidak hendak memegang lukisan saudara dengan tanganku yang berlumur debu. Rusaklah keindahan gambar saudara!

“Melihat alam pun aku begitu. Aku resapi keindahan alam sekeliling ke dalam hati. Amat teratur, seragam, setimbang, tak ada cacat salahnya. Demi aku termenung melihat keindahan itu, maka terdengarlah di telingaku firman Tuhan, “Latufsidu fil ardhi  ba’da islahiha (janganlah engkau buat bencana di atas bumi sesudah dia dibuat begitu bagus oleh Tuhan).”

Saudara Agus Djaja lalu memegang erat diriku dan air matanya menggelenggang!

***

Satu kali pula bertemulah beberapa orang peminat seni di hotel Periangan di Bandung pada tahun 1952. Kami mengadakan satu diskusi kecil. Hadir di sana Bahrum Rangkuti, Anas Ma’ruf, Rirai Apin, Muchtar Apin, Asrul Sani, dan istrinya yang dicintainya, Nur Aini, Achdiat Kartamihardja, Bujung Saleh, Jef Last, seniman Belanda, Muhammad Said, Guru Taman Siswa, dan aku sendiri. Pertemuan dipimpin ole Achdiat.

Ketika itu kehidupan seni dan budaya belum terlalu dipengaruhi oleh politik. Sampailah pembahasan pada soal “seni untuk seni” atau “seni untuk rakyat”. Masing-masing menyatakan pendapat. Akhirnya tibalah giliranku untuk menyatakan pula pendapatnya tentang tujuan seni. Aku katakan,

“Seni yang sampai kepada puncaknya, ialah gabungan di antara rasa keindahan (jamal), dan rasa kesempurnaan (kamal), danrasa kemuliaan (jalal). Seni yang bernilai tinggi menyebabkan si seniman lebur di bawah etika dengan kebenaran (Al-Haqq). Seni yang tinggi nilainya membawa si seniman fana, hilang kedalam yang kekal!”

Mendengar itu, saudara  Muhammad Said bersahut dengan spontan, “Saudara Hamka! Kalau begitu  yang dikatakan seni, maka dengarkanlah ucapanku, “Asyhadu alla Ilaha illallah, wa asyadu anna Muhammadar rasulullah.” Dan tanganku dipegangnya erat-erat.*

Tulisan merupakan potongan tulisan Hamka yang berjudul “Pandangan Hidup Muslim dari Djendela Seni” di Majalah Pandji Masjarakat 1 Januari 1960 ini, disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

No comments: