Sisi Gelap Museum Fatahillah

Pada zaman penjajahan Belanda, Museum Sejarah Jakarta adalah balai kota Batavia yang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal.
Menguak Sisi Gelap Museum FatahillahMuseum Fatahillah dipandang dari keteduhan Museum Seni dan Keramik. (Christantiowati/National Geographic Traveler)
Museum tak melulu soal barang bersejarah yang dipamerkan. Banyak museum yang ternyata memiliki inti sejarah justru di bangunan itu sendiri. Seperti Museum Sejarah Jakarta, landmark dari kawasan Kota Tua yang lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah.
Pada zaman penjajahan Belanda, Museum Sejarah Jakarta adalah balai kota Batavia yang merupakan pusat aktivitas rakyat pada abad ke 17-19. Tiap sore rakyat berkumpul mengambil air bersih dari satu-satunya mata air di halaman depan balai kota, ada pula trem yang berjalan dengan rel di depan balai kota.
Selain aktivitas tersebut, balai kota juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal. Saksi bisu dari pemerintahan yang brutal.
"Tahun 1740, Gubernur Batavia saat itu (Adriaan Valckenier) memerintahkan untuk membantai orang Tionghoa di depan balai kota. Ribuan orang Tionghoa diikat, duduk bersimpuh di depan balai kota, kemudian dari jendela balai kota, gubernur itu memberi kode untuk melakukan eksekusi terhadap orang Tionghoa itu," ujar Adjie, pemandu Jakarta Food Adventure dalam acara  "Explore Kota Tua & The Taste of Dutch & Betawi Culinary", Minggu (5/6/2016).
Pembantaian yang dikenal dengan nama 'Geger Pacinan' itu, menurut Adjie disebabkan oleh isu ekonomi dan politik yang berkembang di Batavia saat itu. "Kejadian itu mencoreng pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dan si gubernur ketika pulang ke Belanda, diadili dan mati di penjara," tuturnya.
Selain pembantaian tersebut, Museum Sejarah Jakarta juga menjadi saksi bisu dari penderitaan tawanan di penjara bawah tanah untuk wanita dan laki-laki.
Ketika air laut pasang, penjara akan terisi air laut, merendam tubuh para tawanan dan membuat kondisi tawanan sungguh menyedihkan. Pejuang Indonesia yang sempat ditahan di penjara tersebut di antaranya ada Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.
Ada pula kisah Pieter Erberveld, pemberontak yang dihukum mati di halaman selatan Benteng Batavia dengan cara yang kejam. Kedua tangan dan kaki Erberveld serta rekan-rekannya, diikat pada tali tambang. Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuda-kuda pilihan yang sangat kuat.
Kemudian, kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan. Badan Elberverd dan rekan-rekannya pun terkoyak. Peristiwa tersebut tercatat di monumen pecah kulit yang berada di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta.
Bersyukur kini di usia tuanya, Museum Sejarah Jakarta berdiam anggun dengan arsitektur neo klasik. Menjadi saksi bisu wisatawan yang bersenang-senang di halaman depan gedungnya.
(Silvita Agmasari/Kompas

No comments: