Dari Peradaban Yahudi dan Barat menuju Islam

Dari  Peradaban Yahudi dan Barat menuju Islam
Wikipedia
Muhammad Asad platz di UNO city, Vienna

Fakta bahwa Leopold memilih Islam meski terlahir dalam tradisi Barat yang serba materialistis dan tradisi Yahudi yang mengusung keagungan rasial menyibakkan kualitas pribadinya



DUA belas Juli ini, tepat seratus enam belas (116) tahun yang lalu terlahir seorang Yahudi di Desa Lemberg, Galicia (sekarang Lviv di Ukrania) yang berada dibawah kerajaan Austria-Hungaria.

Keunikan dan kualitas diri putra Yahudi ini terletak pada bakatnya menguasai berbagai macam bahasa kuno seperti bahasa Ibrani dan Aramaic disamping bahasa ibunya yakni Jerman dan Polandia.

Di masa remajanya ia pun berhasil menguasai bahasa yang tidak kalah pelik seperti bahasa Arab, Persia, Prancis dan Inggris. Ia termasuk diantara keturunan Yahudi yang menentang Gerakan Penjajah Zionis yang muncul di akhir abad ke-19oleh pioneer-nya Theodor Herzl yang mengkhayalkan didirikannya ‘Negeri Israel’ yang dijanjikan, bervisi menyatukan ras Yahudi, dan menerapkan model politik apartheid terhadap non-Yahudi di tanah Palestina.

Masa muda Leo dipenuhi lika liku yang mungkin bisa disifati dengan kata ‘pemberontak’ dan kehidupan yang tidak linier.

Terdidik dengan pendidikan tradisi agama Yahudi tulen karena kakeknya yang salah seorang rabi Yahudi dan ayahnya yang juga terdidik dalam tradisi yang sama meski beralih profesi menjadi seorang pengacara. Asad muda telah memperlihatkan kualitasnya dalam menentukan pilihan hidupnya ketika di usia empat belas tahun ia mencoba melarikan diri dari sekolah untuk bergabung dalam tentara Austria meskipun akhirnya ditemukan ayahnya dengan bantuan kepolisian dan dipulangkan ke rumahnya di kota Wina.

Sebagaimana banyak remaja Barat yang pernah hidup dalam kubangan maksiat dan pesta, Asad muda pun pernah mengalaminya setelah ia memilih meninggalkan Universitas  Wina dan malah memilih bekerja serabutan sebagai asisten bagi seorang direktur film di Berlin, kemudian menjadi operator telepon untuk agensi berita Amerika di Berlin sebelum akhirnya beralih menjadi jurnalis karena berhasil mewawancarai istri dari tokoh aktivis komunis Maxim Gorky (1868-1936).

Setelah pengalaman jurnalistik ini, Asad kemudian pindah tinggal dengan pamannya di Yerusalem yang waktu itu di tahun 1922 merupakan wilayah mandat dibawah Inggris. Dari sinilah ia mulai bekerja sebagai koresponden bagi surat kabar Jerman ternama Frankfurter Zeitung dan sukses menerbitkan buku tentang kecemasan bangsa Arab Palestina akan ancaman politik dari proyek zionisme Herzl waktu itu.

Asad akhirnya dipercaya untuk melakukan perjalanan jurnalistik lebih banyak ke kawasan Timur Tengah atas biaya surat kabar tersebut. Tahun 1926, sekembalinya dari perjalanan jurnalistiknya, Leo akhirnya mengikrarkan keyakinannya untuk memeluk Islam dan memilih nama Islami Muhammad Asad bagi dirinya. Asad merupakan terjemah Arab untuk Leopold, nama kelahirannya.

Fakta bahwa Leopold memilih Islam meski terlahir dalam tradisi Barat yang serba materialistis dan tradisi Yahudi yang mengusung keagungan rasial menyibakkan kualitas dari kepribadiannya.Ibarat intan berlian dalam kubangan lumpur, Asad bersinar cemerlang ketika kembali ke fitrah insaninya.

Setelah keislamannya, Asad pindah ke Arab Saudi dan tetap bekerja sebagai jurnalis kali ini untuk sebuah surat kabar di Swiss.

Di Saudi, Asad sempat tinggal dengan pengembara kaum Badui dan mengarungi samudera pasir dengan unta, sebelum akhirnya bertemu dengan Pangeran Faisal di perpustakaan Masjidil Haram.

Dari sinilah, ia diperkenalkan dengan Raja Abdul Aziz, pendiri negara Saudi, dan akrab dengannya. Asad beroleh kepercayaan khusus dari Raja Abdul Aziz dan sehari-hari berdiskusi dengannya dan bahkan memperoleh tugas ke Kuwait menyelidiki rencana pemberontakan oleh Faisal al-Dawish terhadap pemerintahan al-Saud. Rencana yang menurut Asad dibantu oleh persenjataan dan dana penjajah Inggris guna membuka ‘jalur darat’ ke India dengan menyingkirkan al-Saud.

Setelah menuntaskan tugasnya di Saudi Arabia, berhaji, dan menyelami budaya Arab, pada tahun 1932 Asad akhirnya pindah ke negeri India yang waktu itu dibawah penjajahan Inggris.

Disinilah, Asad berjumpa dengan sahabat langgengnya Sir Muhammad Iqbal, seorang pemikir dan filsuf Muslim abad modern yang banyak menelurkan karyanya lewat puisi-puisi yang dalam maknanya. Iqbal pula yang merupakan seorang pemikir yang menggagas berdirinya negeri muslim yang independen yang di kemudian hari dinamakan Pakistan.

Ia meminta Asad agar membantunya merealisir rencana tersebut. Setelah terwujudnya pemisahan Pakistan pada 1947, atas jasanya Asad dianugerahkan kewarganegaraan penuh dan diamanahkan sebagai Direktur Departemen Rekonstruksi Islam yang membuatnya ambil bagian dalam menyusun Konstitusi pertama Pakistan.Di tahun 1949 ia juga ditugaskan sebagai kepala utusan Timur Tengah untuk berdiplomasi dengan negeri muslim Timur Tengah, dan pada 1952 diangkat sebagai Menteri Pakistan Luar Biasa Berkuasa Penuh untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Disamping itu, berbagai kepala negara di negeri-negeri Muslim dengan antusias menawarkan padanya kewarganegaraan dan passport serta sedia memberinya berbagai fasilitas dan jabatan. Segala kemegahan ini tidak membuatnya tersilap, ia malah akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri bagi PBB untuk mengejar impiannya sebagai intelektual muslim guna menulis kisah perjalanannya, The Road to Mecca (Jalan ke Mekah).
Buku ini penulis baca di awal tahun 2003 sebagai salah satu dari banyak karya-karya pemikiran yang diterbitkan oleh Masjid Salman ITB yang digagas oleh almarhum Prof. Imad.
Muhammad Asad akhirnya pulang ke rahmatullah dan di kebumikan di Granada, Spanyol pada tahun 1992. Namanya pun diabadikan di United Nations Office City (UNO City) di Vienna sebagai nama jalan Muhammad-Asad-Platz pada tahun 2008 atas jasanya menjembatani dialog Barat dan Timur. Disamping itu kantor pos Pakistan pada 2013 juga menerbitkan prangko berseri sarjana muslim dengan Muhammad Asad sebagai salah satu diantaranya.
moderndiplomacy
Sumber foto: moderndiplomacy.eu
Kisah kehidupan Asad atau Leopold patut menjadi pelajaran bagi umat Islam khususnya. Terlahir dari rahim peradaban Barat yang semakin materialis dan tradisi keYahudian yang rasialis, Leo justru mengagumi Islam dengan kesempurnaan aspeknya. Disaat ia bisa mendapatkan kemegahan jabatan duniawi ia justru meninggalkannya demi intelektualitas dan sumbangsih pemikiran bagi Islam.
Bertolak belakang dengan ambisi sebagian pejabat yang haus kekuasaan dan ketika menjabat berkorupsi sehingga sedia menjual integritas moral bahkan idealitas agamanya.Bertolak belakang pula dengan sebagian anak-anak yang terlahir muslim dan bernamakan islami namun pangling dan terkesima dengan kemajuan materil Barat, sebagian bahkan meninggalkan Islam oleh sebab karir, suaka, kehidupan yang lebih baik atau sekadar pernikahan dengan si-‘pirang’, Asad justru mengkritisi falsafah Barat yang sangat materialis. Asad menulis dalam bukunya, Islam at Crossroads:
“Akan tetapi peradaban Barat modern tidaklah mengakui pentingnya ketundukan manusia terkecuali pada kebutuhan ekonomi, sosial atau nasional. Sesembahannya yang riil bukanlah hal yang bersifat spiritual: melainkan Kenyamanan (Comfort).Falsafahnya yang riil adalah tercermin dalam Ambisi pada Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri.Kedua hal ini diwarisi dari peradaban Romawi kuno.” (hal, 32).
Mungkin realita tantangan terbesar bagi umat saat ini adalah tantangan ‘pewasiatan’ keimanan.Hal ini karena Islam yang dijalankan oleh kita bukanlah sekedar ritual badaniyah semata, melainkan merupakan tradisi kenabian dari Adam as yang dipertegas oleh Ibrahim as dan ditutup oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hingga yaumil qiyamah menjelang.Pewarisan keimanan kepada anak sebagai pewaris genetik atau darah kita pun tidaklah mungkin karena iman tidak diwariskan melainkan dengan pe-‘wasiat’-an keimanan, pendidikan yang benar, sebagaimana berulang kali difirmankan dalam Al-Quran ketika Ya’qub as menjelang ajalnya mewasiatkan keimanan:
“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S.Al Baqarah: 133)
Terakhir yang harus benar-benar menjadi misi bagi negeri-negeri mayoritas muslim adalah menciptakan iklim yang mendukung peningkatan kemajuan iptekagar generasi muda tidak lagi terkesima melihat kecanggihan teknologi di negeri Barat sehingga luntur keimanannya. Meski faktanya banyak paten yang lahir justru dari tangan para peneliti muslim, namun ketiadaan visi menyebabkan brain drain ini. Sebuah tugas yang tidak mudah oleh sebab kurangnya ‘political will’ pada pemimpin muslim hingga saat ini. Tidak heran ketika luluh lantaknya Jepang oleh bom atom, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama negeri sakura itu telah menjadi raksasa iptek, begitu pula dengan Jerman, Korea Selatan dan China yang mulai merajai dunia setelah sebelumnya berjibaku dengan fasisme ataupun komunisme. Sementara negeri-negeri muslim cukup berpuas sebagai konsumen setelah intelektual-intelektualnya diserap oleh dunia pendidikan dan lapangan kerja yang terbuka luas di negeri-negeri yang sekarang maju tersebut karena membangun iklim yang sehat.*/Ady C. Effendy, MA, pemerhati masalah peradaban

No comments: