Kedudukan Rakyat di Mata Umar bin Khathab

Diantara kedudukan rakyat di mata Umar sebagai sarana evaluasi diri. Kedua, sebagai satandar kesuksesan pemimpin di dunia dan akhirat Kedudukan Rakyat di Mata Umar bin Khathab
SOSOK Umar bin Khatab, di sepanjang sejarah, selalu menyimpan keteladanan yang patut ditiru. Dalam hal interaksi antara pemimpin dan rakyat misalnya, kisah-kisah berikut menunjukkan secara jelas bagaimana kedudukan rakyat di mata sahabat yang berjuluk al-Fârûq (pembeda antara yang haq dan batil) ini.
Sebagai pemimpin, ayah dari Hafshah ini, memosisikan rakyat sebagai sarana untuk evaluasi diri. Saat Aslam menawarkan diri untuk membantu mengangkat bahan baku makanan untuk ibu dan anak yang kelaparan di malam hari, dengan tegas ditolak langsung oleh Umar, “Apakah kamu mau menanggung dosaku kelak di hari kiamat?”(Mahdhu al-Shawâb fî Fadhâili `Umar bin al-Khatthâb, 361).
Pada peristiwa ini, Umar menjadikan rakyatnya sebagai bahan evaluasi diri. Bila ada rakyatnya yang kesusahan, maka yang patut disalahukuman adalah dirinya sendiri, dia tidak mencari ‘kambing hitam’, bahukuman ia pulalah yang harus bertanggung jawab memecahukuman persoalan. Maka tidak mengherankan jika ia menolak tawaran Aslam, karena rakyat dijadikan sebagai cermin diri.
Sisi menarik lain yang tidak kalah penting terkait posisi rakyat di mata Umar, tidak seperti penguasa-penguasa dunia di zamannya, Khalifah Kedua ini memiliki pandangan unik mengenai standar kesuksesan. Bagi beliau, seorang pemimpin bisa disebut sukses jika tidak menyia-nyiakan atau menelantarkan rakyatnya.
Saat Mu`awiyah bin Khudaij menganggap Umar tidur siang (qailulah), belia pun merespon dengan tegas, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku akan menyia-nyiakan rakyatku. Jika aku tidur di malam hari maka aku menyia-nyiakan diriku (karena tidak bisa bermunajat dengan Allah), maka bagai mana mungkin aku bisa tidur di kedua waktu ini wahai Muawiyah?”(Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 152).
Doa Umar berikut juga bisa menjadi bukti bahwa beliau tidak ingin menyia-nyiakan rakyatnya sedikit pun, “Ya Allah aku sudah tua, kekuatanku menurun, wakyatku semakin banyak, matikanlah aku dalam kondisi tidak menyianyiakan dan menelantarkan rakyat.”(At-Thabaqât, 3/324-330).
Tak hanya itu, rakyat dijadikan bagian yang intim di masa kepemimpinannya. Ibnu Jauzi mengatakan dalam Kitab Manâqib (66,67) bagaimana keintiman Umar dengan rakyatnya, “Rakyat mendengar dengan baik perkataannya, mengetahui amalnya. Bahkan beliau tidak malu bergumul di pasar bersama mereka, menyelesaikan persoalan dengan baik di antara mereka.” Pada beberapa riwayat dijelaskan bahwa sebagian malam harinya banyak digunakan untuk memantau secara langsung kondisi rakyatnya yang di masa ini dikenal dengan istilah blusukan. Tapi, tidak untuk mencari citra, karena siapa yang mau mencari citra di malam hari yang sepi?
Pada suatu malam Thalhah bin Ubaidillah membuntuti Umar. Dari kejauhan, beliau terlihat sedang mendatangi rumah satu ke rumah lainnya. Di pagi hari, Thalhah bin Ubaidillah mendatangi rumah tersebut. Ternyata di dalamnya ada seorang kakek tua renta buta yang sedang berbaring. Ketika ditanya perihal apa yang dilakukan Umar, kakek itu menjawab bahwa Umar sedang memenuhi kebutuhan serta menghilangkan kesusahannya (al-Hadâiq, 364). Pemimpin yang tidak memiliki hubungan intim dengan rakyat, tidak akan mungkin melakukan pekerjaan yang sangat sulit ini, kecuali dalam konteks pencitraan.
Di lain waktu, rakyat dijadikan Umar sebagai korektor bagi kekhilafannya. Pernah di muka umum, sahabat yang terkenal dengan keadilannya ini berpidato, “Wahai takyatku siapa saja di antara kalian yang melihat kekhilafan dariku, maka segera luruskan.” Saat itu juga berdirilah seseorang berkomentar, “Jika kami melihat kebengkokan(kesalahan) darimu, maka akan kami luruskan dengan pedang kami.” Umar pun berkomentar, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada umat ini orang yang meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.”(al-Riyâdh al-Nadhrah, 2/381).
Yang tidak kalah penting, rakyat oleh Umar bin Khatab dijadikan sebagai mitra terbaik untuk bersama-sama memproduksi amal kebaikan. Kalau kita melihat kepemimpinannya, adalah cerminan riil dari firman Allah:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ ٩٦
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahukuman kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”(QS. Al-A`raf[7]: 96).
Mereka kompak dalam beriman dan bertakwa, sehingga wajar jika dibukakan berkah dari langit dan bumi. Pada zamannya, wilayah Islam sedemikian luas, keadilan merata, kemakmuranpun menyebar ke penjuru negeri.
Dari pemaparan singkat ini, dapat disimpulkan, di antara kedudukan rakyat di mata Umar adalah sebagai berikut. Pertama, sebagai sarana evaluasi diri. Kedua, sebagai satandar kesuksesan pemimpin di dunia dan akhirat. Ketiga, sebagai bagian yang intim dari dirinya. Keempat, sebagai korektor bagi kesalahan diri. Kelima, sebagai mitra terbaik dalam memproduksi amal kebaikan.
Sebagai penutup, komentar Hurmuzan [Raja Khurasan] bisa dijadikan pelajaran ketika melihat Umar tertidur di masjid –sebagai gambaran bagaimana posisi Umar dengan rakyatnya-, “Engkau telah berbuat adil(kepada rakyatmu) sehingga engkau bisa tidur.” (al-Tarâtîb al-Idâriyah, 2/250). Wallâhu a`lam bi al-Shawâb.* /Mahmud Budi Setiawan

No comments: