“Pasukan Khusus” yang Berperang di Malam Hari

“Pasukan Khusus” yang Berperang di Malam Hari

Hubungan antara penguasa muslim yang kala itu berjihad melawan pasukan Salib dengan para sufi terbangun.

Wazir Nidzam Al Mulk perdana menteri kesultanan Bani Saljuk amat dekat dengan para tokoh sufi dan memberikan penghormatannya untuk mereka. Ketika datang seorang tokoh besar sufi semisal Abu Qasim Al Qusyairi, Nidzam Al Mulik berdiri menyambutnya dan mempersilahkannya duduk tempat duduknya.

Wazir Nidzam Al Mulk juga amat mudah mengeluarkan uang negara untuk maslahat kaum sufi waktu itu. Menteri yang bertanggung jawab atas berputarnya roda pemerintahan Bani Saljuk ini beberapa kali memberikan uang sebanyak 80 ribu dinar untuk beberapa tokoh sufi juga membangun banyak bangunan untuk tempat tinggal para sufi seperti khaniqah, zawiyah atau rubath. Sultan Maliksyah pun menegurnya menterinya tersebut karena tindakan itu, ”Engkau telah menghambur-hamburkan uang untuk hal ini!”

Wazir Nidzam Al Mulk pun menjawab,”Wahai Tuan, tatkala aku telah membangun untuk Anda pasukan yang berperang bersama Anda pada siang hari maka aku bentuk untuk Anda pasukan yang berperang di malam hari. Mereka merapatkan shaf dan berdoa untuk Anda ketika Anda dalam keadaan tidur. Setelah itu lihatlah harta yang aku bagikan untuk hal ini, aku akan mengembalikan kepada Anda dan aku hapus nama Anda di pintu-pintunya (bangunan untuk para sufi) dan sebagai gantinya aku tulis namaku, agar nama dan pahalaku terabadikan.”

Setelah memperoleh jawaban tersebut Sultan Maliksyah pun menyampaikan,”Demi Allah, aku tidak ingin engkau menghapus namaku dari tempat-tempat mulia itu. Semoga Allah membalas atas apa yang engkau lakukan.” (Mir`ah Az Zaman fi Tarikh Al A’yan, 1/167,168)

Majelis Nidzam Al Mulk sendiri selalu dipenuhi oleh para fuqaha dan para tokoh sufi, sampai salah satu sekretarisnya saat itu menegurnya, bahwa hal itu telah menyibukkannya dari urusan kenegaraan. Namun Nidzam Al Mulk pun menjawab,”Kelompok ini adalah tiang-tiang Islam, mereka adalah keindahan dunia dan akhirat. Dan kalau sekiranya aku mempersilahkan mereka duduk di atas kepalaku aku merasakan hal itu perkara yang ringan.” (Al Muntadzam, 9/465)

Kesultanan Bani Saljuk pada waktu itu sedang berhadapan dengan kekuasaan Salib. Pada pertempuran di Halab, Bani Saljuk saat berada bawah di bawah kepemimpinan Sultan Alab Arslan berhasil menawan Urmanus penguasa Salib, sehingga mampu menguasa sebagian besar wilayah Syam. (Al Kamil fi At Tarikh, 8/883)

Disamping ada serangan dari pihak luar, Bani Saljuk juga menghadapi gerakan Syi’ah Ismailiyah dari dalam. Sebab itu, untuk menguatkan pengaruh Sunni,  Bani Saljuk banyak membangun madrasah dan masjid serta mendekati para tokoh sufi dan fuqaha. (lihat, Wafayat Al A’yan, 2/128)

Para Sufi Penasihat Nuruddin Zanki

Setelah masa Bani Saljuk, di masa Daulah Zankiyah, hubungan antara negara dengan kelompok sufi semakin erat. Di masa pemerintahan Nuruddin Zanki, Syam menjadi pusat gerakan sufi. Saat itu negara memberikan perhatian khusus terhadap kelompok ini. Nuruddin Zanki sendiri  mengangkat Syeikh Umar Al Mala sebagai penasihat wilayah Mausil. Nuruddin memerintahkan kepada para pejabat untuk melaporkan  segala hal kepada tokoh sufi ini dan mentaati nasihat-nasihatnya. Nuruddin pun sering mengirim surat dan meminta nasihat kepada Syeikh Umar Al Mala. (Al Bidayah wa An Nihayah, 12/263, 282)

Hubungan Nuruddin Zanki dengan Syeikh Umar Al Mala amatlah dekat. Di bulan Ramadhan, Nuruddin Zanki memilih tidak berbuka dengan makanan istana, ia meminta Syeikh Umar Al Mala untuk mengirim makanan darinya. Dan ketika Nuruddin mengunjungi Maushil ia memilih tinggal di kediaman tokoh sufi ini dan hanya mau makan dari makanannya. (Ar Raudhatain, 1/116)

Sebagaimana Nuruddin Zanki selalu berusaha menghadiri peringatan maulid nabi dan peringatan awal tahun yang digelar di kediaman Syeikh Umar Al Mala, dimana hadir pula di dalamnya para pengkhutbah dan penyair yang memuji Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. (Sana Al Barqi, hal. 52)

Tidak hanya menjalin hubungan khusus dengan Syeikh Umar Al Mala, Nuruddin Zanki juga memiliki hubungan dekat dengan seorang tokoh sufi di Al Jazirah, wilayah antara sungai Dajlah dan Eufrat. Nuruddin menulis surat kepadanya dan selalu mendengar nasihatnya. Sampai suatu saat sampai kepada sufi Al Jazira kabar bahwa Nuruddin Zanki banyak bermain bola dengan menggunakan kuda-kuda jihad. Ketika memperoleh teguran dari sang sufi, Nuruddin Az Zanki pun menyampaikan bahwa ia tidak bermaksud bermain-main dengan kegiatan itu. Hal itu dilakukan agar kuda-kuda selalu bergerak hingga hewan-hewan itu selalu jika siap sewaktu-waktu untuk digunakan berjihad, mengingat dekatnya kekuatan musuh. (Mufarrij Al Kurub, 1/265)

Nuruddin Zanki juga banyak membelanjakan harta untuk kemaslahatan kaum sufi dan fuqaha, sampai suatu saat ia diminta untuk menguranginya. Saat itu Nuruddin menjawab,”Demi Allah, aku tidak mengharap kemenangan kecuali dengan doa mereka. Sesungguhnya kalian memperoleh kemenangan melalui orang-orang lemah kalian. Bagaimana aku menghentikan infaq untuk sebuah kaum yang berperang membelaku sedangkan aku tidur di atas ranjang, dimana mereka menggunakan anak panah yang tidak pernah meleset?” (Wafayat Al A’yan, 5/188)

Nuruddin Zanki pun amat menghormati tokoh-tokoh sufi. Jika datang kepadanya seorang sufi, maka ia pun berdiri menyambutnya dan berjalan bersamanya serta mempersilahkannya untuk duduk di sampingnya lalu mengajaknya berbincang seperti orang yang paling dekat denganya. (Al Bidayah wa An Nihayah, 12/263)

Penghormatan Shalahuddin terhadap Sufi

Tradisi baik yang dibangun Nuruddin Zanki  diteruskan oleh Shalahuddin Al Ayubi yang selalu berpesan agar mendatangkan para tokoh sufi kepadanya jika mereka mendatangi perkemahan pasukan. Hingga suatu saat datanglah seorang sufi putra dari pejabat Tauriz yang menolak untuk meneruskan jabatan ayahnya dan lebih memilih beribadah. Sang sufi kali ini pulang dari perjalanan haji dan berniat untuk menemui Shalahuddin Al Ayubi. Setelah bertemu dan meriwayatkan sebuah hadits dan berbincang dengan Shalahuddin, sufi ini pun meninggalkan perkemahan pasukan pada waktu shubuh tanpa berpamitan kepada Shalahuddin. Ia beralasan    bahwa hajatnya untuk bertemu Shalahuddin sudah terlaksana. Keesokan harinya Shalahuddin marah kepada sekretarisnya Ibnu Syaddat karena tidak menyampaikan kabar mengenai kepergian sufi tersebut. “Bagaimana laki-laki seperti ini mendatangi kita dan pergi begitu saja tanpa ada kebaikan yang kita berikan kepadanya?!”

Akhirnya Ibnu Syaddat mengirim orang untuk mengejar sufi tersebut dan memintanya untuk kembali menemui Shalahuddin. Sesampainya di perkemahan, Shalahuddin pun meminta sufi tersebut tinggal beberapa hari lalu memberinya tunggangan serta banyak pakaian untuk dibagikan kepada para tetangganya. (An Nawadir  As Sulthaniyah, hal. 20)

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq

No comments: