Risalah Al Qushairiyah dan Serangan Pasukan Salib ke Mesir

Risalah Al Qushairiyah dan Serangan Pasukan Salib ke Mesir

Syeikh Abu Hasan As Syadzili meski berusia lanjut dan buta namun ia bergabung bersama mujahidin di tenda pasukan.

Pada pertengahan abad ke tujuh hijriyah, di kota Manshurah terlihat kesibukan yang amat luar biasa. Gerakan manusia tidak pernah berhenti. Penduduk Mesir kala itu sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh yang telah menguasai kota pesisir Dimyath, yang mencoba untuk menguasai seluruh negeri. Ya, penduduk Mesir sedang bersiap menghadapi sebuah pertempuran!

Bangunan-bangunan pertahanan telah didirikan, peralatan-peralatan juga telah dipersiapkan sedangkan pasukan sudah bersiap dalam barisan mereka. Adapun Sultan Dhahir Baibars pemimpin Mesir waktu itu hampir tidak memejamkan matanya karena kesibukannya.

Di sisi lain, Louis IX penguasa Perancis sedang memimpin pasukan Salib, yang bertekad untuk menghancurkan Arab dan Islam melalui perang pamungkas di Al Manshurah. Mereka bergerak sampai tepi perbatasan kota Al Manshurah, bahkan telah menguasai sebagian dari wilayahnya.

Waktu itu, keyakinan akan pertolongan Allah tertanam di dada para mujahidin, yang membuat mereka mampu menahan lelah untuk terus bekerja pada siang hari dan malamnya. Hal ini bukanlah perkara mudah, karena sebagian dari mereka adalah warga sipil sedangkan tentara jumlahnya terbatas.

Namun Mesir waktu itu mempunyai para ulama besar yang memiliki keikhlasan untuk berjihad di jalan Allah. Mereka antara lain, Syeikh Al Islam Izuddin bin Abdissalam, Majduddin Al Qausyairi, Muhyiddin bin Suraqah, Majuddin Al Akhmimi, Abu Hasan As Syadzili serta para ulama lainnya. Para ulama itu melakukan tugas yang juga tidak jauh dari mara bahaya, dimana mereka datang dari berbagai wilayah di Mesir untuk bergabung bersama mujahidin di Al Manshurah. Syeikh sufi Abu Hasan As Syadzili, meski usianya sudah udzur dan dalam kondisi buta, ia merupakan ulama yang datang pertama kali ke Al Manshurah.

Mereka itulah para ulama sufi atau sufi ulama yang bergabung di tenda-tenda pasukan untuk membimbing dan memberikan motivasi kepada mereka, memberi kabar gembira dengan kemenangan atau kesyahidan. Sedang di malam harinya, para ulama berkumpul dalam satu tenda bermunajat kepada Allah dengan shalat dan doa-doa mereka untuk memperoleh kemenangan.

Diriwayatkan dalam Durar Al Asrar, bahwa setelah usai bermunajat mereka mengkaji kitab. Waktu itu yang dibaca adalah kitab tasawuf Risalah Al Qusyairiyah, sedangkan para ulama itu menyimak dan berbicara satu sama lain, “Apa yang dibaca?”, “Dari bab ar risalah?”, “Apa mereka membaca bab futuwwah?”,”Atau mereka membaca bab hurriyah?”, “Atau mengikuti para pemula, membaca dari awalnya?”

Kitab yang ditulis oleh Imam Al Qushairi itu dibacakan kepada para ulama dan mereka pun menjelaskannya, sedangkan Syeikh Abu Hasan As Syadzili diam menyimak. Setelah selesai menjelaskan, para ulama itu meminta kepada Syeikh  Abu Hasan untuk berbicara. Syeikh Abu Hasan pun diam sejenak, kemudian mulai berkata, perkataan yang dipenuhi unsur ruhaniyah yang tidak mudah terungkapkan, hingga Imam Izuddin bin Abdissalam berseru,”Dengarkan perkataan langka ini, perkataan yang dekat dengan Allah!”

Imam Izuddin bin Abdissalam merasa ta’jub dengan apa yang disampaikan oleh Syeikh Abu Hasan As Syadzili karena apa yang disampaikan tidak berasal dari kitab-kitab.

Syeikh Abu Hasan As Syadzili, yang siang dan malamnya tersibukkan dengan urusan umat Islam suatu malam tertidur dan bermimpi mengenai kondisi umat Islam di Al Manshurah. Diriwayatkan dalam kitab Durar Al Asrar, dimana Syeikh Abu Hasan menyampaikan,”Waktu itu pada malam 8 Dzulhijjah, aku sibuk dengan urusan umat Islam serta urusan jihad. Aku telah berdoa untuk urusan sultan dan umat Islam. Di akhir malam aku bermimpi menyaksikan sebuah tenda besar di langit dengan cahaya di atasnya. Para penduduk langit berlomba-lomba menuju tempat itu sedangkan penduduk dunia sibuk dengan urusannya masing-masing”.

“Milik siapa tenda itu?” Tanya Syeikh Abu Hasan. “Itu tenda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam”, jawab mereka yang ada di situ.

Syeikh Abu Hasan pun segera menuju tenda tersebut. Di pintunya ditemui sekitar tujuh puluh ulama, termasuk Syeikh Islam Izuddin bin Abdissalam, Syeikh Majdudin pengajar di Qus, Al Faqih Kamal bin Qadhi Sadruddin, Al Muhaddits Muhyiddin bin Suraqah, Al Hafidz Abdul Adzim Al Mundziri dan Syeikh Majduddin Al Akhmimi. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mempersilahkan para ulama itu duduk di sisi kiri sedangkan Syeikh Abu Hasan maju kepada beliau. Saat itu Syeikh Abu Hasan menangis karena sedih sekaligus bergembira. Sedih karena memikirkan persoalan jihad sedangkan senang karena ia dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdekatan karena nasab.

Waktu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyampaikan agar Syeikh Abu Hasan tidak perlu risau dengan urusan jihad dan Allah telah memberi rahmatnya kepada sultan. Dan Beliau berpesan agar Syeikh Abu Hasan memberi nasihat kepada sultan untuk tidak melakukan kedzaliman. Setelah itu Syeikh Abu Hasan pun berkata,”Demi Allah, kita memperoleh kemenangan!” Dan saat itu pula ia terjaga dari tidurnya.

Waktu itu umat Islam memperoleh kemenangan, dan berhasil menawan raja Louis IX serta para pejabatnya dengan jumlah cukup besar.

*Disarikan dari buku Qadhiyah At Tashawuf Al Madrasah Asy Syadziliyah karya Syeikh Al Azhar Abdul Halim Mahmud.

No comments: