Bersila di Negeri Kāfūr: Kehadiran Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi

Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi dan melalui peranan orang-orang Arab Bersila di Negeri Kāfūr: Kehadiran Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi [1]
Jejak masuknya Islam di Nusantara
Dalam satu kesempatan,‘Umar ibn‘Abdal-‘Aziz yang memerintah pada peralihan abad pertama Hijriah (w. 101/720) menerima sebuah surat dari seorang raja India (malik al-Hind).
Raja yang memperkenalkan diri sebagai “putra seribu raja” dan “di kandangnya terdapat seribu gajah” itu menyampaikan harapan agar Khalifah‘Umar berkenan mengirimkan seorang guru yang bisa mengajarkan Islam kepadanya. [Ahmad ibn Muhammad Ibn Abdu Rabbih al-Andalusi, Al-’Iqd al-Farīd, vol. 2, Lebanon: Dāral-Kutub al-‘Ilmiya, 1983,hlm. 72]
Raja India yang mana persisnya tidak disebutkan oleh sumber tersebut. Bagaimanapun,nama ini tidak harus mengacu pada anak benua India saja, karena pada masa lalu bagian timur Samudera Hindia umumnya ditandai oleh orang-orang Arab di bawah dua kategori besar, yaitu India (Hind) dan China (Shīn), dan Nusantara termasuk dalam kategori yang pertama.
Bunyi surat di atas, menariknya, mirip dengan sebuah surat lain yang disebutkan oleh al-Jāhizdi dalam Kitāb al-Hayawān, tetapi teksnya menyebutkan bahwa pengirimnya adalah raja China (malik al-shīn) dan surat itu ditujukan buat Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyān (w. 60/680). [Abū‘Utsman‘Amr ibn Bahr al-Jāhiz, Kitāb al-Hayawān, vol. 7,tahqiq oleh ‘Abd al-Salām Muhammad Hārūn, Mesir: Maktabah Musthafa al-Bābī al-Halabī, 1968,hlm. 113]
S.Q. Fatimi di dalam tulisannya, “Two Letters from the Maharaja to the Khalifah”, menganggap surat yang kedua ini sebagai sebuah salinan yang mengandung kesalahan dari teks yang sebenarnya sama dengan surat pertama di atas. Dan ia berpendapat bahwa malik al-Hind yang mengirimkan surat tersebut tak lain adalah Raja Sriwijaya di Sumatera.
Makam-Mahligai--Jejak-sejarah-Islam-di-Barus
Makam Mahligai, jejak sejarah Islam di Barus
Menurutnya, beberapa teks di dalam surat itu memberi isyarat kearah sana, seperti pemakaian gelar raja diraja (malik al-amlak), gajah sebagai simbol kebesaran, serta hasil-hasil tanaman utama di negeri itu, di antaranya gaharu (‘ūd) dan kamper (kāfūr). [S.Q. Fatimi, “Two Letters from the Maharaja to the Khalifah”, Islamic Studies, hlm.121-140, Karachi, 2, I, 1963]
Saran Fatimi membawa pada konsekuensi bahwa sejak akhir abad pertama hijriah sudah ada raja Nusantara yang tertarik pada Islam atau bahkan masuk kedalam agama itu, walaupun hal ini tidak secara langsung diikuti dengan penyebaran yang cepatdari agama Islam di kawasan tersebut.
Kita tidak mengetahui secara pasti sejauh mana pandangan Fatimi di atas dapat diterima, disebabkan minimnya data-data sejarah yang ada untuk memastikan hal ini, tetapi ada lebih banyak alasan untuk menerima bahwa interaksi antara Islam dan Nusantara sudah terjalin sejak masa yang awal. Walaupun posisi Nusantara sangat jauh dari tempat Islam dilahirkan, wilayah ini terletak di jalur perdagangan tua yang sangat menguntungkan.Nusantara berada di jalur perdaganganlaut, yaitu Samudera Hindia, yang sudah sibuk sejak sebelum masa kemunculan Islam. Jalur ini terentang mulai dari Laut Merah hingga Laut China Selatan yang menghubungkan pesisir timur Afrika, Laut Arab, Selat Hormuz, pesisir India, serta Selat Malaka.
Sebuah catatan berbahasa Yunani yang ditulis pada pertengahan abad pertama Masehi, yaitu Periplus of the Erythraean Sea, menggambarkan tentang hubungan perdagangan yang sangat berkembang antara Afrika dan India. [Carol Meyer, Glass from Quseir al-Qadim and the Indian Ocean Trade, Chicago: The Oriental Institute of the University of Chicago, 1992, hlm. 5]
pada era ketika Eropa (Romawi) sangat mendamba dan mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan produk-produk dari Timur. Para pedagang Arab di sepanjang jalur antara Laut Merah dan India telah memainkan peranan penting pada ketika itu. Wilfred H. Schoffmenulisdi dalam pendahuluan terjemahan naskah itu saat menjelaskan tentang dunia perdagangan sebelum dan terutama setelah era Aleksandrian yang singkat:
”Sementara itu saudara-saudara dari Phoenicia dan kaum kerabat mereka di Arab terus mengendalikan perdagangan yang berjalan di Timur, mengikut pada perjanjian dan aliansi mereka dengan pedagang dari India. Kerajaan-kerajaan Arab satu demi satu mempertahankan pantai timur Afrika yang besar, dengan perdagangan emas dan gadingnya, bulu dan minyak burung unta; pantai-pantai di Teluk Arab menghasilkan nilai yang terus meningkat dari kemenyan dan dupa; sementara kain dan batu-batu berharga, kayu dan rempah-rempah – terutama kayu manis – dibawa dari India terutama oleh kapal India, didistribusikan di (Pulau) Socotra atau Guardafui, dan (selanjutnya) dibawa ke sungai Nil dan Mediterania.” [The Periplus of the Erythraean Sea: Travel and Trade in the Indian Ocean by a Merchant of the First Century, diterjemahkan dan diberi anotasi oleh Wilfred H. Schoff, London: Longmans, Green, and Co, 1912, hlm. 4]
Begitu pula di dalam sebuah disertasi tentang aktivitas ekonomi di Koromandel pada abad ke-18 dan 19 disebutkan:
“Awal kontak Muslim dengan India Selatan bukan kebetulan tetapi kelanjutan dari hubungan komersial kuno antara orang Arab dan orang-orang dari India Selatan. Sejak era Yusuf hingga Marcopolo dan Vasco da gama, orang-orang Arab adalah para nahkoda dari perdagangan (Samudera) lndia. Sebagian besar perdagangan (Samudera) India berada di tanganmereka.” [J. Raja Mohamad, Maritime Activities, Economy and Social Customs of the Muslims of Coromandel Coast 1750-1900, Disertasi pada Pondicherry University, 2010, hlm. 36]
Mungkin agak berlebihan jika dikatakan bahwa para pedagang Arab sudah mendominasi Samudera Hindia sejak era Nabi Yusuf (as.).Namun tiada keraguan bahwa mereka telah aktif lalu lalang di perairan itu beberapa abad sebelum munculnya Islam di Jazirah Arab.Tidak disebutkannya Asia Tenggara pada catatan-catatan di atas tidak harus dimaknai bahwa jalur tersebut tidak dikenal oleh para pedagang Arab, terlebih lagi pada waktu-waktu menjelang atau setelah munculnya Islam di Jazirah. Saat menggambarkan tentang rute perdagangan laut yang terentang mulai dari Mediterania hingga ke Timur Jauh, termasuk di dalamnya Nusantara, J.C. van Leur mengatakan, “Many centuries have known that sea trade route…. It was one of the chief nerves in the body of early Islam stretched out from west to east.” [J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, The Hague: W. van Hoeve Ltd., 1967, hlm. 4]
Karena itu bukan hal yang tidak masuk akal jika dikatakan Jazirah Arab merupakantempatasal-usul Islam di Indonesia dan agama ini telah masuk sejak masa-masa yang awal.
Para akademisi memang berbeda pendapat tentang negeri asal masuknya Islam ke Indonesia, baik itu India (Gujarat, Malabar, Koromandel, Bengal), Persia, China, maupun Arab (Mesir, Hijaz, atau Hadramaut), sebagaimana telah dirangkum oleh Azyumardi Azra di dalam bab pertama bukunya. [Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994]
Sebagian, seperti Snouck Hurgronje misalnya, menganggap Islam di Indonesia berasal dari India dan baru masuk pada masa yang sangat belakangan, yaitu pada abad ke-13. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi dan melalui peranan orang-orang Arab. Di antara yang gigih mengembangkan pendapat ini adalah Hamka dan Muhammad Naquib al-Attas. [Abd.Ghofur, “Telaah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara”, Jurnal Ushuluddin, vol. XVII No. 2, Juli 2011, hlm. 162]
Bagi al-Attas, pandangan bahwa Islam berasal dari India tidak dapat diterima karena sebelum abad ke-17 Masehi tidak ada satu pun karya keagamaan yang utama yang ditulis oleh orang India. Penulis yang dianggap sebagai orang India sebenarnya orang Arab atau Persia dan nama-nama dai yang awal menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia, walaupun mungkin mereka datang melalui India atau wilayah lainnya. [Syed Naquib al-Attas.“A General Theory of the Islamization of the malay-Indonesian Archipelago”, makalah yang dipresentasikanpadaKonferensi IAHA ke IV, Kuala Lumpur, 1968, hlm. 79] 
Pada abad ke-9 wilayah Nusantara telah dikenal oleh para pedagang dan penulis Muslim dan para pedagang Muslim telah biasa bolak-balik ke wilayah ini Bersila di Negeri Kāfūr: Kehadiran para Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi [2]
Pelaut Nusantara

Nusantara memang telah dikenal oleh para pedagang dan pelancong Muslim sejak lama. Abū Zayd al-Sīrāfī, seorang pedagang Muslim abad ke-10, yang menggabungkan ke dalam bukunya sebuah buku lain yang ditulis pada tahun 237H atau sekitar tahun 850 Masehi, bercerita tentang negeri-negeri di sepanjang Samudera Hindia yang telah dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang Muslim.
Menurutnya pada pertengahan abad ke-9 itu arus informasi tentang Hindia dan China melalui jalur laut sangat lancar karena ada begitu banyak pedagang yang pergi dari dan kembali ke Iraq dari wilayah-wilayah tersebut (Al-Sīrāfī, 1999: 53). Di dalam buku itu diceritakan tentang negeri-negeri yang berada di wilayah Nusantara, antara lain Fanshūr dan Zābaj, keduanya berada di Sumatera.
Fanshūr terletak di bagian barat Sumatera Utara dan pantai utamanya disebut juga sebagai pelabuhan al-Kāfūr. Negeri itu memiliki bandar-bandar pelabuhan yang terkenal (Shihāb, 2010: 54). Menurut Tome Pires, seorang apoteker dan pelancong Portugis yang datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, negeri ini dikenal juga sebagai Barus dan kedua nama itu, yaitu Fanshūr dan Barus, mengacu pada entitas yang sama. Negeri itu kadang disebut juga sebagai Pansur atau Panchur, yang boleh jadi mengacu pada kata Melayu ’pancur’ (Pires & Rodrigues, 1944: 161). Negeri ini memang telah dikenal sejak lama, terutama karena kapur barus yang dihasilkannya. Ibn Khurdadzbih (1889: 66), seorang ahli geografi Muslim di bawah pemerintahan Abbasiyah, telah menyebut tentang Bārūs dan Zābaj di dalam kitabnya al-Masālik wa-l-Mamālik kurang lebih pada pertengahan abad ke-9 Masehi. Menurutnya di negeri Bārūs terdapat kamper yang berkualitas tinggi, juga padi, tebu, kelapa, dan pisang, di samping masih ada sebagian penduduknya yang makan daging manusia.
Adapun Zābaj, atau Sribuza, dianggap oleh para peneliti sebagai sebutan Arab untuk Kerajaan Sriwijaya. Encyclopaedia of Islam dalam penjelasannya tentang Zābaj berpandangan bahwa kata ini mengacu pada Dinasti Sailendra yang pada awalnya berkuasa di Jawa tetapi sejak paruh kedua abad ke-9 pusat kekuasaannya mulai bergeser ke Sumatera (Bearman et.al., 2002: 367-368).
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai maharāja dan di wilayah kekuasaannya antara lain terdapat kamper (kāfūr), kayu cendana, dan gading (Al-Sīrāfī, 1999: 66). Negeri ini merupakan salah satu sentra perdagangan penting serta memiliki pasar-pasar yang besar.
Banyaknya pedagang asing yang datang ke tempat ini membuat industri penukaran uang tumbuh pesat sehingga negeri ini memiliki pasar khusus untuk penukaran uang, walaupun transaksi menukar uang dapat juga dilakukan di tempat-tempat yang lain (Ibn Syahriyār, 2000: 132). Menurut Ibn Khurdadzbih di negeri itu terdapat pohon kamper yang sangat besar sehingga bisa menaungi seratus orang dan darinya dihasilkan air dan getah kamper (Ibn Khurdadzbih, 1889: 65).
Buzurk ibn Syahriyār (2000: 146-147) di dalam ‘Ajā’ib al-Hind memberikan cerita yang menarik tentang cara duduk di kerajaan Zābaj. Dikatakan bahwa di negeri itu semua orang wajib duduk bersila saat menghadap pejabat negeri atau mereka yang melanggarnya akan dikenakan denda.
Hal ini berlaku juga bagi kaum Muslimin dan orang asing yang tinggal di sana. Namun aturan ini akhirnya dikecualikan secara khusus dari kaum Muslimin yang berasal dari negeri lain disebabkan pejabat di negeri itu menyadari bahwa terkadang di antara orang-orang Islam ini ada orang yang sudah berusia tua dan tidak kuat duduk bersila terlalu lama. Yang menarik adalah Buzurk mengutip kata Melayu ’bersila’ (al-barsīlā) di dalam kitabnya itu.
Informasi-informasi di atas memperlihatkan betapa pada abad ke-9 wilayah Nusantara telah dikenal oleh para pedagang dan penulis Muslim dan para pedagang Muslim telah biasa bolak-balik ke wilayah ini. Sejak masa yang dini para pedagang Muslim telah bersila di negeri kāfūr. Mereka tampaknya diperlakukan dengan sangat baik, dihormati, dan karenanya berhak menerima satu pengecualian khusus dari adat setempat yang dipelihara kuat.
Lalu apakah benar salah satu raja Sriwijaya telah berkirim surat dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan menyatakan ketertarikannya pada Islam?
Kita hanya bisa melihat hal ini sebagai sebuah kemungkinan. Jika angin musim telah meniup layar-layar kapal Arab dan Muslim melintasi Samudera Hindia dan Selat Malaka sejak abad-abad yang awal, angin yang sama boleh jadi telah menerbangkan surat dari negeri Timur yang jauh ke pusat pemerintahan Islam di Damaskus, membawa serta aroma kāfūr di dalamnya. Wallahu a’lam.*
Alwi Alatas
Penulis buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III

No comments: