Kisah Dua Abu Sufyan; Mendo’akan Lebih Baik Daripada Meremehkan

sufyanIrvan Riviandana Nst – Mahasiswa Tingkat Akhir Teknik Kimia Univ. Islam Indonesia
Kita tak tahu apa yang terjadi beberapa waktu ke depan. Jika Allah beri umur, bisa jadi di masa yang akan datang mereka-mereka yang saat ini tak tergabung dalam aktifitas dakwah justru jadi pejuang yang berdiri paling depan di barisan. Dan bisa jadi, kita yang hari ini merasa sholeh karena terus bertahan malah lari tunggang langgang karena takabbur di awal perjalanan (na’udzubillah).
Setidaknya pelajaran inilah yang bisa kita petik dari peristiwa di perang Hunain. Adalah seorang bernama Abu Sufyan bin Harits (bukan Abu Sufyan bin Harb suami Hindun binti ‘Utbah. Abu Sufyan bin Harb nanti akan kita bahas), sepupu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari paman beliau Harits bin Abdul Muthalib. Seorang penyair yang ahli menunggang kuda. Yang lahirnya tak beda jauh dari lahirnya Rasulullah. Yang kemudian sepersusuan dengan Rasulullah. Yang semasa mudanya begitu akrab dan menyayangi Rasulullah.
Namun ketika cahaya Islam diserukan Rasul, Abu Sufyan muncul sebagai kaki tangan Abu Lahab dan termasuk orang yang begitu menentangnya. Dua puluh tahun sejak Islam mulai didakwahkan Rasulullah, begitu banyak syair-syair bernada keji dan sindiran lahir dari lisan Abu Sufyan. Namun Allah berkehendak lain. Menjelang Futuh Makkah (penaklukan kembali kota Makkah), Allah berikan hidayah yang nyata padanya.
Abu Sufyan lalu pergi ke Madinah, mendatangi Rasulullah. Menyungkur ia saking inginnya memeluk Islam, namun Rasul berpaling. Ia terus mengejar kemana Rasul memandang, berusaha mencari wajah beliau yang mulia. Hingga pada akhirnya Rasul perkenankan ke-Islaman sepupunya yang sesungguhnya amat dicintainya.
Inilah Abu Sufyan bin Harits, yang awalnya begitu membenci Islam sebagai aqidah, begitu membenci Rasulullah sebagai pelaku dakwah, pada akhirnya Allah beri ia hidayah. Begitu mengakar dalam kesetiannya pada Allah dan Rasul-Nya, hingga ketika perang Hunain yang berlangsung setelah Futuh Makkah, Abu Sufyan muncul sebagai mujahid yang berada paling depan mendampingi Rasul, membelakangi dua belas ribu umat Islam lainnya yang turut serta dalam pasukan.
Bahkan ketika panah-panah suku Hawazin dan Tsaqif menderu tentara Muslim di lembah Hunain, hingga jumlah yang banyak itu tak ada arti dan gunanya (karena sebagian besar mereka ketika berangkat terlalu angkuh dan yakin menang karena banyaknya jumlah mereka lalu terkejut dan ciut menghadapi serangan musuh yang ternyata begitu dahsyat diluar dugaan), Abu Sufyan tetap ada di sisi Rasul, memegangkan tali kendali kuda yang ditunggangi Rasul di satu sisi bersama pamannya yang juga paman Rasul yakni Abbas bin Abdul Muthalib di sisi yang lain.
Lagi-lagi, inilah Abu Sufyan bin Harits yang ketika Rasulullah wafat, ia adalah diantara orang yang paling bersedih, bagai ibu kehilangan anaknya. Abu Sufyan yang menyadari dimasa lalunya ia begitu berdosa, namun Allah sinari hatinya dengan cahaya Islam yang lembut lagi hangat, lalu bagai terlahir kembali ia berubah menjadi seorang Mu’min yang begitu teguh dan kokoh membela Islam. Semoga Allah memberkahinya.
Selain ia, kita kenal pula Abu Sufyan yang lain, yakni Abu Sufyan bin Harb. Suami dari seorang wanita yang dulunya begitu sadis karena tega memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib yang syahid di perang Uhud sebab tombak yang dilempar Wahsyi bin Harb atas perintahnya, yakni Hindun binti ‘Utbah.
Sama seperti Istrinya, Abu Sufyan bin Harb pun begitu membenci Islam serta dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah serta para shahabat. Abu Sufyan lalu maju memimpin pasukan untuk memerangi umat Islam melalui peperangan Uhud. Sebelumnya pun Abu Sufyan telah banyak terlibat makar yang besar untuk menghancurkan Islam. Ia terlibat dalam konspirasi pemboikotan umat Islam di Makkah yang menyebabkan Rasul dan kaum Muslimin harus hijrah ke Madinah. Ia pun terlibat pula dalam perang Badar. Dan setelah Uhud, Abu Sufyan lah penggagas serangan gagal kafir Quraisy Makkah ke Madinah hingga terjadilah peristiwa yang kita kenal sebagai perang Ahzab atau perang Khandaq.
Melihat kesemua tingkah Abu Sufyan ini, pantaslah jika kita menilai bahwa ia adalah orang yang begitu besar permusuhannya terhadap Islam pada masa itu. Bersama orang-orang yang juga memusuhi Islam, ia bekerja sama tak hanya sekadar untuk mengacuhkan dakwah, namun juga untuk menghancurkan dan meluluhlantakkan Islam sampai ke akar-akarnya.
Maka apa yang terjadi pada orang ini?
Allah pertemukan ia dengan Heraklius, Kaisar Bizantium yang begitu kagum pada Rasulullah, di Syam. Saat itu ia dan kabilah pedagang tengah berada di Syam, kebetulan Heraklius pun sedang berkunjung kesana. Maka berdiskusilah mereka, dan dari diskusi itu tanpa sadar telah lahir pula bibit-bibit keyakinan di hati Abu Sufyan akan kebenaran Allah dan Rasul-Nya namun masih terhambat karena kekhawatiran jika ia beriman, maka kepemimpinan Makkah akan berada ditangan Rasul, tak lagi dikuasanya.
Mengingat hasil perang Khandaq, muncul kekhawatiran di hati Abu Sufyan akan datangnya serangan kaum Muslimin untuk menaklukkan Makkah. Maka benarlah firasatnya, ketika diketahuinya Rasulullah dan pasukan kaum Muslimin telah tiba di Marr Azh-Zhahran. Mengingat pula kondisi Makkah yang semakin lemah, akhirnya ia yakinkan diri untuk datang ke kemah Rasul tanpa senjata dan pasukan. Lalu ia berjumpa dengan Rasul dan diucapnyalah syahadatain tanpa masygul.
Pasca ber-Islam, Abu Sufyan bin Harb pulang ke Makkah dan memberi peringatan pada penduduk Makkah akan kedatangan Rasulullah bersama pasukannya yang sangat besar. Ia mengkondisikan Makkah untuk siap menyambut kembalinya Rasulullah dan terjadinya Futuh Makkah. Sempat istrinya, Hindun, membantahnya dihadapan khalayak serta memprovokasi orang-orang untuk tak percaya padanya, maka dengan tegas Abu Sufyan mengingkari istrinya serta meminta penduduk Makkah untuk tak tertipu oleh ucapan-ucapan dusta serta mempercayai dirinya karena ia mengatakan kebenaran.
Abu Sufyan bin Harb, lalu mengajak banyak orang ke rumahnya. Karena atas jaminan Rasulullah barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, atau ke Masjidil Haram, maka ia akan selamat. Atas tindakannya ini, banyak orang makin tersentuh hidayah Islam, bahkan istrinya yang di cap penjahat perang, setelah Futuh Makkah lalu datang bukit Shafa menghadap Rasul dengan wajah malu yang tertutup untuk menyatakan ke-Islamannya.
Abu Sufyan bin Harb, masih merasakan bagaimana masa-masa sepeninggal Rasul. Ia pun hidup di zaman Khulafaur-Rasyidin, mendampingi Abu Bakar, Umar bin Khatthab, lalu wafat di zaman ‘Utsman bin ‘Affan. Menjelang akhir hayatnya, ia baktikan dirinya dengan mengikuti perang Yarmuk di masa Khalifah Umar. Ia berperang habis-habisan, hingga tercungkil satu matanya, semoga Allah meridhainya.
Begitu mulia akhir hidup Abu Sufyan bin Harb. Hal ini tercermin dari Allah muliakan pula keluarganya. Allah beri hidayah pada istrinya. Allah jadikan pula salah seorang anaknya yakni Mu’awiyyah bin Abu Sufyan sebagai penulis wahyu dan khalifah pertama kekhilafahan Bani Umayyah. Serta Allah jadikan pula salah seorang anaknya yang lain (bahkan sebelum ke-Islaman Abu Sufyan) yakni Ummu Habibah atau Ramlah binti Abu Sufyan sebagai salah seorang istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah pelajaran dari dua Abu Sufyan tentang kisah orang-orang yang awalnya tak sekadar apatis dengan dakwah, bahkan sampai memerangi dakwah secara terang-terangan, namun di akhirnya Allah berikah hidayah hingga mereka bisa menjadi salah satu tonggak perjuangan penerus risalah.
Betapa Allah Maha membolak-balikkan hati. Ia menunjukkan kuasa-Nya, memberi petunjuk pada orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan menyesatkan sesiapa pula yang dikehendaki-Nya.
Dua Abu Sufyan yang awalnya menentang Islam, justru berkembang menjadi orang yang menyokong Islam. Sedangkan sebagian kaum Muslimin di perang Hunain yang telah lebih dulu memeluk Islam, justru lari meninggalkan pasukan kala ujian datang menghantam.
Karenanya, marilah kita contoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika Jibril tawarkan timpakan gunung keatas orang-orang Tha’if atas tindakan kasar mereka yang menentang dakwah dan mengusir Rasulullah, beliau justru menolak dan mendo’akan agar Allah memberi mereka keturunan yang beriman serta mentauhidkan Allah.
Bukankah bisa saja Rasul terima tawaran Jibril tersebut? Toh, rasul-rasul sebelum Rasulullah pun akhirnya berdo’a agar Allah timpakan azab atas kaumnya yang ingkar.
Namun hal itu tiada Rasul lakukan. Beliau melihat jauh kedepan sebagai Rasul penutup. Apabila hal tersebut beliau aminkan (memohonkan azab atas kaumnya yang ingkar), maka mungkin sedikit sekali manusia di akhir zaman sebab begitu banyaknya orang-orang yang kafir di masa itu. Ada banyak potensi keimanan, dan bila hidayah atas umatnya beliau pintakan kepada Allah, maka sungguh Allah Maha mendengar do’a-do’a hamba-Nya.
Do’a itulah yang berlaku atas dua Abu Sufyan. Ini pulalah yang terjadi atas Umar bin Khatthab, Khalid bin Walid, Hindun binti ‘Utbah, Ikrimah bin Abu Jahal, Habbar bin Al-Aswad, Ka’ab bin Zubair, Wahsyi bin Harb, dan begitu banyak lagi yang lain. Mereka yang awalnya begitu membenci Islam, Allah terangi hatinya hingga luluh dan berbalik condong jadi begitu mencintai Islam.
Maka hari ini, bila kita baca, dengar, atau saksikan, ada diantara saudara-saudari kita yang tiada peduli dengan aktifitas dakwah, bahkan sebagian ada yang memeranginya dengan nyata atau sembunyi-sembunyi, ingat bahwa prinsipnya adalah mendo’akan lebih baik daripada meremehkan (tentu bila serangan terhadap dakwah itu nyata dilakukan, kita tetap harus mempertahankan tapi lagi-lagi sambil mendo’akan).
Belajar dari Rasul dan kisah dua Abu Sufyan, tak perlu kita cibirkan mereka-mereka yang tak peduli pada aktifitas mulia ini. Apalagi kita sampai berbangga diri merasa lebih baik karena berperan aktif mengajak manusia kembali ke jalan Illahi Rabbi (na’udzubillah). Cukup terus merendah hati, seraya meminta kepada Allah agar Ia berikan petunjuk pada mereka yang tak tergabung di jalan ini terlebih-lebih Allah berikan istiqamah pada diri yang lemah ini.
Semoga do’a itu menembus hijab dan menggema-gema, lalu dikabulkan pula oleh-Nya, sehingga Allah gerakkan hati kita bersama menuju jalan keridhoan-Nya. Sehingga pula Allah kumpulkan kita semua dalam syurga indah-Nya dalam keadaan senang dan berpuas hati atas kebaikan dan kasih sayang-Nya. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin…

Allahu a’lam, wallahul muwafiq ilaa aqwamith-thaariq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Referensi:
1. Ar-Rahiq Al-Makhtum oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
2. Al-Lu’lu’ wal Marjan oleh Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi
3. Rijal Haula Ar-Rasul oleh Syaikh Khalid Muhammad Khalid
4. Makanatu Ahli Hadits oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali

No comments: