Panglima Besar Dalam Tandu Itu Dikira Sri Sultan Hamengkubuwono

Dalam tandu, sosok sang panglima jenderal mendapat perlakuan spesial dari masyarakat Bedoyo. Banyak dari mereka yang berebut menciumi kakinya.

Panglima Besar Dalam Tandu Itu Dikira Sri Sultan HamengkubuwonoJenderal Sudirman tiba di Jakarta (Wikicommons)
Perjalanan berat itu dimulai pada Senin, 20 Desember 1948 menuju Panggang. Tandu dibuat untuk mengangkut sang panglima jenderal agar dapat menyimpan tenaganya yang mulai payah akibat penyakit Tuberkulosis (TBC) yang dideritanya.
Namun itu semua berbanding terbalik dengan semangat sosok Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, yang seringkali disapa Pak Dirman itu. Jalan setapak yang dialiri air hingga Gunung Kidul yang mesti didaki tak menyurutkan gairahnya untuk meraih kemerdekaan bangsanya.
Dengan jalan terhuyung-huyung, Pak Dirman dibimbing oleh Kapten Tjokropranolo dari Panggang menuju Palihan. Keesokan harinyanya, dari Playen, tandu itu berganti menjadi dokar tanpa kuda. Rombongan terus bergerak menuju lokasi selanjutnya, Semanu.
Kapten Tjokorpranolo dan rombongan tak begitu ambil pusing untuk permasalahan makanan dan logistik. Rakyat yang desa atau daerahnya dilewati oleh rombongan sang panglima itu selalu menyediakan kebutuhan makan dan minum. Dari nasi, ketela, hingga lauk pauk serta dedaunan.
“Hanya khusus untuk Pak Dirman, kami selalu berusaha agar dapat menyediakan makanan bergizi yang akan dapat memberi kekuatan fisik dan kesembuhannya, seperti telur, kacang-kacangan, sayur, daging ayam, ikan, buah-buahan, dan lain-lan. Dan inipun jarang sekali dapat kami peroleh,” ujar Kapten Pranolo dalam buku biografi sang jenderal.
Panglima Buruan Belanda
Belanda terus melakukan pencarian lokasi kedudukan sang panglima, hingga akhirnya disusun siasat untuk menyesatkan mereka. Kapten Tjokropranono melancarkan siasat tersebut sesuai perintah Pak Dirman.
Dibalik perjalanan berat itu, alasan yang mendasarinya adalah keamanan sang panglima dari kejaran Belanda. Kapten Tjokropranolo menekankan bahwa sebaiknya Pak Dirman tetap berada di luar kota, tatkala waktu itu ibu kota RI, Yogyakarta diduduki oleh Belanda.
“Alasan mengapa Pak Dirman seyogyanya harus berada di luar kota, ialah karena dikabarkan bahwa patroli Belanda yang saya perkirakan ditugasi memburu dan menangkap Panglima Besar TNI itu sudah berhasil mencapai Sukohardjo,” ujar Kapten Tjokropranolo.
TNI sendiri sebenarnya telah menyiapkan jebakan di jembatan besar Wonogiri-Ponorogo berupa “trek bom” (bom tarik). Jebakan yang ditarik dengan kawat panjang tersebut akan diledakan jika pasukan Belanda melewati jembatan tersebut.
Dikira Sri Sultan Hamengkubuwono
Tandu kedua dibuat kembali untuk membantu perjalanan Pak Dirman menuju Pracimantoro, bagian selatan Surakarta. Untuk sampai disana, rombongan harus melalui daerah Bedoyo.
Dalam tandu, sosok sang panglima jenderal mendapat perlakuan spesial dari masyarakat Bedoyo. Banyak dari mereka yang berebut menciumi kakinya untuk meminta berkah. Masyarakat banyak yang mengira bahwa sosok dalam tandu yang diangkut itu adalah Sri Sultan Hamenkubuwono.
Sosok Panglima Jenderal Sudirman tak lepas dari sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia tak pernah mau tunduk kepada siapapun dan menghindari adanya aksi perundingan dengan pihak Belanda. Sudirman menganggap hal tersebut hanya akan melemahkan posisi Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Kegigihannya dalam membela kemerdekaan tanah air tak luntur lantaran penyakit TBC mengrogoti tubuhnya. Dari atas tandu, ia terus mengarahkan pasukan untuk tetap berjuang melawan Belanda.
Sumber: Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman; Soekanto S.A, Jenderal, Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia; Let.Jen.(Purn) TNI-AD Tjokopranolo.
(Annisa Hardjanti)

No comments: