Tarjih Berlapis-lapis dalam Madzhab

Tarjih Berlapis-lapis dalam Madzhab
YANG amat penting untuk diketahui sebelum membahas lebih jauh mengenai tarjih dalam madzhab, adalah makna madzhab itu sendiri. Imam Al Mahalli menyatakan mengenai madzhab As Syafi’i, yakni apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah. (lihat, Hasyiyata Al Qalyubi wa Amirah, 1/7)
Dari keterangan di atas, maka madzhab sejatinya adalah hasil ijtihad kolektif antara imam madzhab dengan para ulama pengikutnya, yang jumlahnya ribuan dalam kurun waktu yang cukup lama. Dimulai dari sejak sang imam hidup hingga pada saat ini. Di masa yang amat panjang itu, pemikiran yang dihasilkan dalam madzhab “digodog”, ada sanggahan ada jawaban, ada tambahan ada pengurangan, ada penguatan ada pelemahan. Hingga sampai pemikiran madzhab itu sampai kepada kita di masa ini.
Baiklah, untuk melihat betapa panjangnya proses “penggodogan” pemikiran dalam madzhab fiqih ini, mari sama-sama mengikuti aliran panjang sebuah pimikiran madzhab, sebagai contohnya, dalam hal ini madzhab Asy Syafi’i.
Imam As Syafi’i, mujtahid yang telah menggabungkan pemikiran ahlul hadits dan ahlu ra’yi ini setelah melakukan perjalanan panjang dalam menuntut ilmu, di Makkah, Madinah, Yaman, dan Iraq. Imam Asy Syafi’i telah mengambil ilmu dari para ulama besar seperti Muslim bin Khalid, Imam Malik serta Muhammad bin Hasan murid Imam Abu Hanifah. Setelah menetap di Iraq, Imam As Syafi’i pun menulis hasil ijtihadnya yang dikenal dengan Al Hujjah, yang disebut madzhab qadim.
Namun, Imam Asy Syafi’i tidak berhenti dengan kitab Al Hujjah. Setelah melakukan pengembaraan di Mesir, Imam As Syafi’i banyak merubah pendapatnya. Bahkan sang Imam melarang menisbatkan pendapat madzhab qadim kepadanya. Pendapat Imam Asy Syafi’i di Mesir ini yang disebut madzhab jadid. Hingga akhirnya Imam As Syafi’i mengahasilkan empat kitab, yakni Al Imla’, Mukhtashar Al Buwaithi, Mukhtashar Al Muzani, dan Al Umm. Nah, di masa sang Imam masih hidup, proses penggalian tidak berhanti. Proses revisi terus berlanjut.
Setelah Imam Asy Syafi’i (204 H) wafat, ganti, para murid beliau meneruskan penyempurnaan. Mereka berijtihad terhadap persoalan yang belum dihukumi imam, juga melakukan ijtihad yang hasilnya berbeda dengan imam dalam satu masalah.
Kemudian datanglah Imam Al Haramain Al Juwaini (478 H) menulis Nihayah Al Mathlab fi Dirayah Al Madzhab, yang merangkum keempat kitab Imam As Syafi’i atau mensyarah Muktashar Al Muzani. Dikupas di dalamnya khilaf para ulama Syafi’iyah dan tarjih terhadap persoalan.
Nihayah Al Mathlab, dengan formatnya yang cukup besar tidak semua pihak bisa mengkajinya, akhirnya datanglah sang murid, Imam Al Ghazali (505 H) meringkas Nihayah Al Mathlab menjadi Al Basith dalam format ringkasan yang besar, kemudian diringkas lagi menjadi Al Wasith dalam format tanggung, kemudian diringkas lagi menjadi Al Wajiz dalam format yang lebih kecil, kemudian diringkas lagi menjadi Al Khulashah dalam format yang paling kecil.
Tarjih Ar Rafi’i dan An Nawawi
Setelah itu, datanglah Imam Ar Rafi’i (624 H), ulama tarjih dalam madzab As Syafi’i menulis Al Aziz atau Fath Al Aziz yang mensyarah Al Wajiz Imam Al Ghazali. Kemudian, Imam Ar Rafi’i juga menulis Al Muharrar, yang mana ada pihak yang berpendapat bahwa ia merupakan ringkasan dari Al Wajiz atau Al Khulashah Imam Al Ghazali, meski ada yang berpendapat bahwa ia karya yang independen tidak meringkas ke dua-duanya. Imam Ar Rafi’i dalam hal ini berperan mentarjih pendapat-pendapat dalam madzhab.
Kemudian datanglah Imam An Nawawi (676 H) menulis Raudhah Ath Thalibin yang merupakan ringkasan dari Al Aziz atau Fath Al Aziz karya Ar Rafi’i, juga meringkas Al Muharar menjadi Minhaj Ath Thalibin. Di sini, Imam An Nawawi tidak sekedar meringkas, namun terkadang mendukung tarjih Imam Ar Rafi’i atau kadang mengkritiknya.
Karena penguasaan Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi dalam madzhab As Syafi’i dan kajian terhadap madzhab sangat mumpuni, maka para muhaqiqin dalam madzhab Asy Syafi’i sepakat bahwa kitab-kitab yang ada sebelum Imam Ar Rafi’i dan An Nawawi, tidak bisa dijadikan pijakan, kecuali setelah melakukan pengkajian hingga akhirnya mengetahui pendapat paling rajih dalam madzhab, tentu bagi yang memiliki kemampuan tersebut. Hal ini dikarenakan banyak ikhtilaf dan banyak tarjih. Dan puluhan penulis telah menetapkan hukum namun pada kenyataannya hal itu merupakan pendapat yang syadz dan menyelisihi jumhur (lihat, Al Khazain As Saniyah, hal. 162).
Tarjih yang disepakati oleh Imam An Nawawi dan Imam Ar Rafi’i adalah tarjih yang paling kuat. Kecuali jika muta’akhirin bersepakat bahwa dalam sejumlah perkara keduanya melakukan kesalahan tidak disengaja. Jika berbeda antara tarjih antara Imam An Nawawi dan Ar Rafi’i, maka kebanyakan didahulukan pendapat Imam An Nawawi. Hal ini dikerenakan Imam An Nawawi telah melakukan pengkajian secara maksimal dalam madzhab (lihat, Al Khazain As Saniyah, hal. 170).
Imam An Nawawi sendiri, semasa beliau hidup, telah menghidmatkan umurnya untuk melakukan kajian mendalam terhadap syariat, hingga tarjih masih terus dilakukan. Dimana kadang terjadi perbedaan hukum antara kitab karya ulama besar ini sendiri. Sebab itulah yang diutamakan adalah kitab yang paling terakhir ditulis, yakni At Tahqiq baru Al Majmuk, kemudian At Tanqih lalu Raudhah Ath Thalibin, lalu Minhaj Ath Thalibin lalu Syarh Shahih Muslim, lalu Al Fatawa, lalu Tashih At Tanbih lalu Nukat At Tanbih (lihat, Al Khazain As Saniyah, hal. 170).
Gerakan Tarjih Kurun ke 10
Berhenti? Belum. Gerakan penulisan madzhab dan tarjih masih terus beranjut. Di kurun ke 10 Hijriyah, muncullah deretan ulama Syafi’iyah melanjutkan gerakan ini. Ada Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari (926 H) yang meringkas karya Imam An Nawawi, Minhaj Ath Thalibin dengan nama Manhaj Ath Thullab yang kemudian disyarh kembali menjadi Fath Al Wahhab. Syeikh Zakariya juga mensyarah Raudh Ath Thalib karya Ibnu Muqri yang merupakan ringkasan Raudha Ath Thalibin karya An Nawawi dengan judul Asna Al Mathalib.
Syeikh Zakariya tidaklah sendirian. Di sana ada tiga muridnya yang memperkuat gerakan ini, ke tiga-tiganya mensyarh kitab Minhaj Ath Thalibin karya Imam An Nawawi. As Syarbini mensyarah Minhaj Ath Thalibin menjadi Mughni Al Muhtaj, Ar Ramli mensyarahnya menjadi Nihayah Al Muhtaj sedangkan Al Haitami mensyarahnya menjadi Tuhfah Al Muhtaj. Ketika 4 guru-murid ini sepakat dalam satu pendapat, maka itulah yang mu’tamad dalam madzhab (Al Khaza`in As Saniyyah, hal. 170).
Tarjih Ar Ramli dan Al Haitami
Meski peran ke empat ulama cukup besar, namun akhirnya semua kembali kepada dua, Ar Ramli dan Al Haitami. Jika keduanya sepakat dalam satu masalah, maka itulah yang mu’tamad dalam madzhab, kecuali jika ada keroksi dari ulama setelahnya bahwa telah terjadi kekeliruan yang tidak disengaja (Al Haza`in As Saniyyah, hal. 174).
Namun, jika terjadi perbedaan antara keduanya, maka bagi ulama Mesir, mereka lebih mendahulukan Ar Ramli, karena Nihayah Al Muhtaj secara lengkap telah dibaca oleh 400 ulama di hadapan penulisnya, dan mereka telah melakukan koreksi dan kritikan. Sedangkan untuk ulama Hijaz dan Yaman. Namun, setelah para ulama, baik Mesir maupun Hijaz berinteraksi, maka dalam fatwa bisa memilih salah satu dari keduanya, atau memilih berdasarkan ijtihad jika memiliki kemampuan untuk itu.
Karena terus dilakukan kajian, proses tarjih kedua ulama ini pun terus berjalan. Hingga tidak heran ada perbedaan tarjih. Sebab itulah untuk Ibnu Hajar Al Haitami, tarjih yang paling diutamakan adalah yang diambil dari Tuhfah Al Muhtaj, baru Fath Al Jawwad, lalu Al I’ab kemudian Al Fatawa. Sedangkan untuk Ar Ramli jika ada perbedaan antara Nihayah Al Muhtaj dengan Syarh Al Idhah, maka didahulukan An Nihayah (Al Khaza`in As Saniyyah, hal. 177).
Gerakan Pasca Ibnu Hajar dan Ar Ramli
Fiqih dalam madzhab As Syafi’i terus menerus mengalir, penyempurnaan dan penghukuman terhadap masalah-masalah baru terus berjalan. Tatkala terdapat persoalan yang belum dihukumi oleh Ibnu Hajar dan Ar Ramli, maka fatwa diambil dari pendapat Syeikh Zakariya dan Khatib Asy Syarbini lalu para Ashab Al Khawasi, yakni mereka yang mencatat pendapatnya dalam mengomentari karya-karya ke empat ulama ini.
Ashab Al Khawasi yang banyak dirujuk dalam fatwa diantaranya adalah Az Ziyadi, Ibnu Qasim, Amirah, Asy Syubramulusi, Al Halabi, Asy Syubari, dan Al Inani.
Demikianlah jalan panjang pemikiran madzhab yang terus menyempurnakan diri dalam kurun lebih dari 10 abad. Diarsiteki oleh mereka yang memiliki otoritas, ribuan ulama dari mujtahid dengan metode yang konsisten yang telah digariskan oleh imam madzhab, didukung oleh mufasir, muhaddits, lughawi dan lainnya. Tentu, hal ini tidak akan didapati dari fiqih hasil pemikiran yang baru menjalani proses perjalanan di masa kontemporer ini, baik yang digagas oleh kelompok, lebih-lebih perorangan.
Dengan menelusuri perjalanan yang teramat panjang ini, kita akhirnya mengetahui bahwa madzhab fiqih bukanlah bentuk kejumudan, namun penuh dengan dinamika, ijtihad dan tarjih dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan. Meski demikian, tetap berpegang kepada otoritas dan kemampuan para pelakunya.
Dengan menelusiri perjalanan yang teramat panjang ini, kita akhirnya juga mengetahui bahwa tidak semua kitab karya penganut madzhab bisa diambil. Ada kitab-kitab yang mu’tabar. Ada kitab-kitab telah menempuh proses tarjih secara maksimal dan ada yang belum. Dan yang diajarkan di pesantran As Syafi’iyah di negeri ini adalah kitab-kitab muta’akhirin yang telah melalui proses tarjih berlapis-lapis seperti di atas. Kitab mutaqadimin dipelajari ketika seseorang sudah mengetahui pendapat rajih dalam madzhab. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

No comments: