Imam Nawawi Banten dan Surat Al-Ma’idah 51

Imam Nawawi al-Bantani menyatakan, “Jangan bersandar kepada pertolongan (bantuan, pembelaan) mereka dan jangan pergauli mereka sebagai orang-orang yang tercinta (muʻāsyarat al-ahbāb)
Imam Nawawi Banten dan Surat Al-Ma’idah 51

SEPERTINYA polemik tentang QS. Al-Ma’idah [5]: 51 yang sempat dingkat Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One pada Selasa (11/10/2016) belum akan reda. Ia ibarat bola salju yang terus menggelinding dan ditanggapi beragam oleh banyak pihak.
Pasalnya, pidato Gubernur Jakarta, Ahok, menyulut perdebatan panjang. Dimana menurutnya jangan sampai “dibodohi” pake Qs.5:51 itu. Tentu saja reaksi ummat Islam pun serempak menyeruak, di seluruh Indonesia. Tulisan pun beragam: pro maupun kontra. Diantara tulisan yang membela ulama kita adalah artikel Dr. Adian Husaini yang bertajuk: “Buya Hamka Tidak Membodohi Kita”
Membaca tulisan Dr. Adian Husaini yang sangat luar biasa itu, penulis mendapat inspirasi untuk menulis artikel – katakan lanjutan artikel beliau – lain dengan tajuk yang sama namun beda tokoh: “Imam Nawawi Banten Tidak Bohongi Umat!” Berikut ini adalah pandangan beliau mengenai Qs.5: 51 yang disebut jadi alat untuk “membodohi” itu oleh Gubernur DKI, Ahok.
Perkenalan Singkat
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Nawawi ibn ‘Umar ibn ‘Arabi ibn ‘Ali al- Jawi al-Bantani al-Tanari al-Syafi’i. Dikenal juga dengan Abu ‘Abd al-Mu’thi. Lahir pada 1230-1316 H/1815-1998 M. Datang ke Mekah masih kecil. Kemudian tinggal selama beberapa tahun, hingga tumbuh dewas dan punya harta. Dengan harta yang dimilikinya itu dia banyak membeli buku dan semangat menuntut ilmu. Dia banyak belajar kepada para syekh dan sungguh hingga menjadi imam dalam ilmu. Akhirnya menjadi pengajar hingga banyak muridnya dari Jawa yang menimba ilmu kepadanya. Ia mengajar 200 murid lebih di rumahnya dengan penuh ketawadhu’an dan kesederhanaan. Dia juga sering bepergian ke Mesir dan Syam untuk menimbah ilmu dara para ulamanya.
Diantara guru-gurunya adalah: al-Sayyid Syekh Ahmad ibn ‘Abd al-Rahman al-Nahrawi, Syekh Ahmad al-Khathib, al-Sayyid Ahmad ibn Ahmad al-Najjari al-Dimyathi al-Hafnawi al-Syafi’i al-Khulwati, Syekh Ahmad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Suhaimi, Syekh ‘Abd al-Ghani, Syekh ‘Athiyyah, Syekh ‘Umar ibn Muhammad Barakat al-Biqa’i al-Syafi’i (…-1295 H/…1878 M), Syekh ‘Umar al-Jabarti, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasab Allah al-Makki al-Syafi’i (1244-1335 H/1828-1917 M), Muhammad Shalih Abu al-Su’ud al-Siba’i al-Misri al-Syafi’i al-Hifni atau al-Hafnawi (…-1268 H/…-1852 M), Syekh Yusuf al-Jawi, dan Syekh Yusuf al-Sanbalawini. (Lihat, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifah al-Saja Syarh Safinat al-Naja (karya Syekh Salim ibn ‘Abd Allah ibn Sumair al-Hadhrami al-Syafi’i (…-1271 H/…1855 M), editor: Bassam ‘Abd al-Wahhab al-Jabi (Limassol-Cyprus: Al-Jaffan & Al-Jabi/Beirut-Lebanon: Dar Ibn Hazm, Cet. I, 1432 H/2011 M), 6-8).
Imam Nawawi al-Bantani dikenal luas sebagai seorang ulama yang produktif dalam melahirkan karya. Bahkan karyanya kelasnya sudah go internasional sampai hari ini. Karya-karyanya meliputi Tafsir, Tasawuf, dan Fiqih. Dan beliau salah seorang ulama dari mazhab Imam Syafi’i. Kemudian digelar oleh Taimur dengan ‘Alim al-Hijaz (Sang Alim Kota Hijaz). (Lihat, Imam Nawawi al-Bantani, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in (syarh terhadap kitab Qurrat al-‘Ain fi Muhimmat al-Din karya Imam Zai al-Din ‘Abd al-‘Aziz al-Malibari) (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1422 H/2002 M), 3).
Diantara karyanya adalah sebagai berikut: dalam bidang tafsir menulis karya terkenal Marah Labid li Kasyf Maʻna al-Qur’an al-Majid/al-Tafsir al-Munir li Maʻalim al-Tanzil (dua jilid). Dalam bidang Tasawuf beliau menulis kitab Maraqi al-‘Ubudiyyah (Syarh Kitab Bidayat al-Hidayah karya Imam al-Ghazali) dan kitab Mirqat Shuʻud al-Tashdiq yang menjelaskan kitab Sullam al-Taufiq karya Ibn Thahir (w. 1272 H). Dalam bidang Aqidah (Tauhid) beliau menulis kitab Nur al-Zhalam Syarh Manzhumat ‘Aqidat al-‘Awam karya al-Sayyid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki (Mesir: Matbaʻah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladihi, Cet. II, 1355 G/1936 M). Dalam bidang Fiqih beliau menulis kitab-kitab penting, seperti: ‘Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain dan Nihayat al-Zain bi Syarh Qurrat al-‘Ain. Selain menulis kitab penting dan menjadi rujukan, Kasyifah al-Saja fi Syarh Safinat al-Naja (dalam Aqidah dan Fiqih). (Diadapsi dari Yusuf Ilyan Sarkis, Muʻjam al-Mathbuʻat al-‘Arabiyyah wa al-Muʻarrabah (Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, ttp.), 2/372-373).
Selain itu, beliau juga menulis kitab penting berjudul Bahjat al-Wasa’il bi Syarh Masa’il (menjelaskan kitab al-Risalah al-Jamiʻah baina Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tashawwuf karya al-Sayyid Ahmad ibn Zain al-Habasyi (Mesir: Matbaʻah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuhu, 1349 H).
Kecintaannya kepada Rasulillah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam membuat beliau menulis beberapa karya penting, yaitu: Asawir al-‘Asjad ‘ala Jauhar al-‘Uqad atau Madarij al-Shuʻud ila Iktisab al-Burud (Syarh ‘ala Maulid al-Barzanji), al-Ibriz al-Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-‘Adnani, dan Bughyat al-‘Awam fi Syarh Maulid Sayyid al-Anam (Syarh ‘ala al-Maulid) karya Imam Ibn al-Jauzi. Dan tentu puluhan karyanya yang sangat penting itu tak dapat dipaparkan dalam lembaran yang terbatas ini. Pembaca dapat merujuknya secara mandiri.
Sikap terhadap Kepemimpinan Yahudi-Nasrani
Jika kita merujuk tafsir Murah Labid karya Imam Nawawi al-Bantani – utamanya Qs. 5: 51 yang banyak diulas saat ini – maka akan ditemukan bahwa sikapnya tidak jauh berbeda dengan para ulama terdahulu, seperti:
Mengomentari Qs. 5: 51 Imam Nawawi al-Bantani menyatakan, “Jangan bersandar kepada pertolongan (bantuan, pembelaan) mereka dan jangan pergauli mereka sebagai orang-orang yang tercinta (muʻāsyarat al-ahbāb).
Kemudian Imam Nawawi al-Bantani mengutip sebab turunnya Qs. 5: 51, dimana diriwayatkan bahwa ‘Ubādah ibn as-Shāmit datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan berlepas diri di hadapan beliau dari loyalitasnya kepada orang-orang Yahudi. Kemudian pemuka gembong kaum munafiq, ‘Abdullah ibn Ubayy berkata, ‘Aku tidak akan berlepas diri dari mereka. Karena aku khawatir mendapat musibah (adzab).’
Imam as-Suddi juga menyatakan bahwa karena perang Uhud begitu memberi pengaruh besar kepada psikologi sebagian golongan dan takut sekiranya kaum kafir akan menguasai mereka, maka seseorang dari kalangan ummat Islam berkata, ‘Aku akan ikut si Yahudi itu, agar aku mendapat jaminan kemanana. Aku takut Yahudi nanti berkuasa atas kita.’ Sebagian yang lain berkata, ‘Aku akan ikut si Nasrani itu, yang berasal dari Syam. Aku ingin mendapat jaminan keamanan darinya. Maka, turunlah Qs. 5: 51.
Namun menurut ‘Ikrimah, Qs. 5: 51 turun berkenaan dengan Abū Lubābah ibn al-Mundzir, yang diutus oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ke Yahudi Bani Quraizhah, ketika mereka dikepung. Kemudian Abū Lubābah bermusyawarah dengan mereka, perihal untuk turun (menyerah). Mereka berkata, ‘Apa yang dilakukan Muhammad kalau kami menyerah? Kemudian Abū Lubābah memberi isyarat dengan meletakkan jarainya di lehernya. Artinya: dia akan membunuh kalian. * (Bersambung)
 Qosim Nurseha Zulhadi
Penulis adalah Pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (2012) dan “Jejak Sofisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia” (2016)

No comments: