Akhir Tragis Sang Penista

Setelah menista nabi dan al-Qur`an, Allah menimpakan padanya balasan mengenaskan. Saat meninggal, jasadnya dimuntahkan bumi Akhir Tragis Sang Penista
ilustrasi: kuburan
Mahmud Budi Setiawan
PADA zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ada dua orang penista yang seringkali disalahpahami karena kemiripan keduanya. Orang yang pertama pada akhirnya bertaubat dan masuk Islam dengan baik. Sedangkan yang satunya, murtad dan mati secara mengenaskan.
Pertama, adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Kedua, tidak diketahui namanya, tapi berasal dari Bani Najjar yang beralih ke agama Nashrani.
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh
Ibnu Abi Sarh (saudara sesusu Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu) awalnya adalah seorang musyrik. Setelah hidayah Allah subhanahu wata’ala masuk ke dalam lubuk hatinya, dia pun memeluk Islam (sebelum Perjanjian Hudaibiyah). Tugas mentereng pun diembannya. Ia dijadikan sebagai salah seorang penulis wahyu.
Ketika menulis wahyu, ada yang disalahpahami oleh Ibnu Abi Sarh. Saat Rasul mendiktekan kata as-sami’ al-‘alim, Abdullah menulis al-‘alim al-hakim. Nabi pun mengomentari, memang Allah memiliki sifat demikian. Namun, ia salah paham. Dikiranya nabi membenarkan dirinya merubah al-Qur`an. Padahal nabi ingin menunjukkan bahwa itu memang termasuk dari al-asma al-husna. Pada suatu malam ia pergi diam-diam ke Makkah kemudian murtad dan mengatakan kepada mereka bahwa dirinya telah mendistorsi al-Qur`an.
Menurut Ath-Thabari Surah Al-An’am, ayat 93 turun berkaitan dengan Ibnu Abi Sarah dan Musailamah bin al-Habib (Jāmi’ul Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān, 11/536).
Syaikul Islam, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Shārim al-Maslūl ‘Ala Syātimi al-Rasūl (Hal: 115) menyebutkan secara jelas kesalahannya.
Dari beberapa riwayat yang dihimpun, bisa diketahui bahwa Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh berdusta atas nabi. Dirinya beranggapan telah menyempurnakan wahyu nabi sehingga ia bisa menulis apa saja yang dikehendaki, ini karena dia merasa disepakati dan dibiarkan nabi. Sampai ia beranggapan akan turun wahyu kepada dirinya.
Perbuatannya ini jelas mencela Rasulullah dan kitabnya yang bisa membuat keraguan kepada kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada masa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah 8 H) sebenarnya Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam meminta sahabat untuk mencari dan membunuhnya. Namun tidak jadi karena mendapat ijarah (suaka) dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ditambah lagi ketulusan hati untuk bertaubat. Akhirnya taubatnya diterima dan melaksanakan keislaman secara baik. Pada zaman kekhilafaan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu ia menjadi Komandan Angkatan laut, serta berperan serta dalam jihad di benua Afrika dan Laut Mediterania.
Orang Nashrani yang Masuk Islam Kemudian Murtad
Orang kedua asalnya beragama Nashrani. Berasal dari kalangan Bani Najjar, masih sesuku dan kerabat Annas bin Malik. Pasca keislamannya, ia mendapat amanah untuk menulis wahyu, sebagaimana Ibnu Abi Sarh. Di mata sahabat, orang ini begitu dikagumi karena telah menghafalkan Surah Al-Baqarah dan Ali Imran. Waktu itu, siapa saja yang bisa menghafal keduanya sangat dihormati dan dikagumi.
Parahnya, dia murtad, kembali ke agama Nashrani dan menceritakan bahwa, “Muhammad tidak mengerti apa-apa, melainkan apa yang aku tulis.”
Dalam riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi dijelaskan, jika Rasul mendiktekan kata sami’an bashiran, oleh dia ditulis sami’an ‘aliman. Jika didektekan kata sami’an ‘aliman, maka ia tulis sami’an bashiran. Dia merasa telah membodohi Muhammad dengan melakukan perbuatan tersebut.
Setelah murtad, menista nabi, al-Qur`an dan tidak mau bertaubat, Allah menimpakan kepadanya balasan yang mengenaskan. Seketika dia dimatikan Allah subhanahu wata’ala.
Mensyukuri ‘Terplesetnya’ Lidah Sang Penista
Apa yang dialaminya sungguh luar biasa tragis. Biasanya orang murtad tidak sampai dihukum dengan hukuman seperti ini. Sebab, kesalahannya bukan hanya murtad, tapi juga menista nabi dan Al-Qur`an. Sebagaimana yang dicatat oleh Syekh Ibnu Taimiyyah dalam al-Shārim al-Maslūl ‘Ala Syātimi al-Rasūl (116, 117).
Di samping itu Syekh Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Jawābu al-Shahīh Liman Baddala Dīna al-Masīh (VI/296) memberikan penjelasan menarik dari sejarah mengenai penistaan terhadap nabi.
Dari pengalaman tentara umat Islam di Syam, jika mereka mengalami kesulitan mengepung benteng Ahlul Kitab, maka ditunggu sampai mereka menghina nabi. Saat terdengar hinaan kepada nabi maka benteng musuh bisa dijebol. Sebagai balasan dari Allah, sesuai dengan Surah Al-Kautsar, ayat tiga.
Pada kasus lain, ketika Kisra (Raja Persia) menyobek-nyobek surat nabi, maka Allah hancurkan kekuasaannya. Sedangkan ketika Heraclius dan Muqauqis menghormati surat nabi, maka kekuasaan mereka masih tetap. Ini menunjukkan bahaya penistaan kepada nabi, al-Qur`an dan Islam.
Pelajaran berharga dari kedua kisah ini ialah: Pertama, hati-hatilah terhadap penistaan, baik itu kepada nabi, kitab suci dan Islam. Kedua, akhir yang tragis akan dialami oleh penista. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang Nashrani.
Ketiga, bagi setiap penista, segera bertaubat sebelum terlambat. Dengan bertaubat, kembali ke Islam, maka dosa-dosa di masa lalu akan dihapuskan, sebagaimana hadits berikut:
إِنَّ الْإِسْلَامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ
“Sesungguhnya Islam menghapus (dosa-dosa) yang telah terjadi di masa lalu.” (HR. Ahmad).*
Penulis alumni Al Azhar, peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014

No comments: