'Paus Islam', Para Wali: Kisah Ulama pada Awal Pengembangan Islam di Jawa

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Peran ulama dalam komunits Muslim semenjak dahulu kala mempunyai posisi sangat penting dan strategis. Peran ini terlihat jelas dalam penelititian yang dilakukan mendiang sejarawan UGM Ahmad Adaby Darban, dalam sebuah jurnal sejarah (Jurnal Humaniora,Vol 11, No,1 Februari tahun 2004 dengan judul: Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah

Ulama pengembang Islam di Jawa itu dinamai atau dikenal dengan sebutan para Wali. Oleh karena jumlahnya sembilan, dinamai wali sanga. Termasuk dalam wali sanga itu ialah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, dan Sunan Drajat.

Meskipun para sunan itu tidak hidup sezaman, secara berkesinambungan mereka menanamkan Islam di hati rakyat tanah Jawa ini. Dalam menyebaran Islam mereka menggunakan pendekatan sinkretis dan juga akulturatif, yaitu dengan menggunakanlambang-lambang dan lembaga-lembaga budaya yang telah ada kemudian diisi dengan ajaran Islam sehingga mudah dicerna dan sampai pada masyarakat awam.

Model da’wah semacam ini ialah sekaten (Syahadatain), yang lahir di desa Glagah Wangi Demak.  Sekaten  merupakan gamelan yang gendingnya dicipta oleh Sunan Kalijaga dengan nafas Islami, seperti Rabul-ngalamina, Salatun, Solawatan, dan sebagainya. Gamelan Sekaten merupakan da’wah melalui kesenian. Di samping sekaten juga dipakai lambang ketan, kolak, apem. Makanan ini dibuat dan diedarkan setiap bulan Ruwah (Sya’ban). Secara etimologis, ketan berasal dari kata Khotoan yang berarti kelemahan/ kesalahan, kolak dari kata qola  (mengucapkan), dan apem dari kata afuwun  (mohon ampun), Dengan demikian, makna ketan, kolak, dan apem secara keseluruhan adalah bila merasa bersalah cepat-cepatlah berkata mohon ampun.

Da’wah menggunakan lambang-lambang budaya ini masih banyak lagi jenisnya. Penyebaran agama Islam selanjutnya dilakukan melalui lembaga pendidikan yang dikenal sebagai  pondok. Pendidikan  pondok dimulai oleh Sunan Ampel di Surabaya, dengan sistem satu kompleks terdiri atas masjid, keluarga kyai, tempat pendidikan, dan tempat tinggal santri.

Melalui pendidikan pondok pesantren,  penghayatan dan pengamalan serta pengetahuan Islam lebih mendalam dan intensif. Di samping itu pondok pesantren juga merupakan komunitas santri, yang mempunyai pengaruh terhadap desa disekitarnya. Sistem perkawinan antara  pondok satu dengan  pondok lainnya, menciptakan hubungan kekerabatan antar  pondok pesantren, dan secara luas adanya hubungan persaudaraan antara daerah-daerah pesantren.

Dengan demikian, terjadilah hubungan yang erat antar desa-desa pesantren dengan agama Islam, pertalian darah, keilmuan, dan kemasyarakatan. Hal inilah yang menguatkan akar Islam di Jawa, dan sekaligus memelihara kepemimpinan ulama dengan segala otoritasnya.
Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.

'Der Mohamestisten Paus' Sunan Giri

Ulama kemudian menjadi pimpinan komunitas santri atau masyarakat Islam sebelum adanya kerajaan Islam di Jawa. Pesantren Giri dan Gunung Jati pada awal  perkembangan Islam di Jawa, merupakan pondok pesantren yang besar dan memiliki pengaruh yang luas. Karena luasnya pengaruh kepemimpinan dan karisma yang kuat, dua pesantren itu menjadi panutan bagi beberapa pesantren di sekitarnya.

Giri, sebuah daerah  enclave Muslim di wilayah Majapahit, merupakan pesantren yang kemudian berkembang menjadi semacam kerajaan kecil. Giri sebagai kerajaan kecil dipimpin oleh seorang ulama bernama Raden Paku atau Sunan Giri. Kerajaan ini hanyaah suatu bentuk formal komunitas muslim: belum memiliki perangkat kerajaan yang komplet. Meskipun demikian, Giri memiliki otoritas karismatik terhadap daerah-daerah santri lainnya sehingga mendapat hak kepercayaan sebagai  Ahlul Halli wal Aqdi, yaitu memiliki hak untuk memutuskan dan mengikat masalah agama Islam, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin.

Sunan Giri merupakan salah seorang yang diminta untuk membuat keputusan mengenai keberadaan Demak, dan yang membantu untuk mem- bentuk perangkat pemerintahan, dan keagamaan. Sunan Giri yang memiliki otoritas Ahlul Halli wal Aqdi sebagai pucuk pimpinan kaum Muslimin Jawa antara lain memiliki kewenangan sebagai berikut.

a. Mengesahkan dan memberi gelar sultan kepada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
b. Menentukan garis besar politik pemerintahan.
c. Ikut bertanggung jawab terhadap keamanan kaum Muslimin dan kerajaan-kerajaan Islam.
d. Mencabut kedudukan sultan bila yang bersangkutan menyimpang dari kebijak- an para Wali.

Selain Demak, Sultan Hadiwijaya dari Pajang juga mengambil gelar sultan dari Sunan Giri. Selain itu, menurut catatan orang Belanda, Sunan Giri juga disebut dengan nama kehormatannya, yaitu  Panembahan Mas Giri

Cornelis Speelman, menyebutkan pula gambaran ketinggian Sunan Giri di mata rakyatnya sebagai berikut:
“… omdat zij Mas Gierij ten respecte van zijne priesterlijke waardigheid an geprotendeerd heiligheid zeer aanhangen en in cerehouden.“
Artinya : “ ... karena Ia Mas Giri oleh para pengikutnya sangat dihormati karena dilindungi oleh nilai-nilai keulamaan yang melekat pada dirinya.” Bahkan Gubernur Jendral J.P. Coen menyebut Sunan Giri dengan “der Mohamestisten Paus ” atau Paus-nya orang Islam.

Sunan Giri sebagai ulama memiliki otoritas politik kenegaraan, bahkan diangkat sebagai sesepuh  dari kerajaan-kerajaan Jawa pada masanya. Kerajaan-kerajaan di Jawa sejak dari Demak sampai dengan Pajang, memberikan penghormatan dan menjunjung tinggi Sunan Giri, sebagai penguasa rohani di atasnya. Oleh karena itu, sebelum era Mataram Islam, boleh dikatakan peranan ulama menempati posisi di atas kerajaan-kerajaan Islam. Dengan demikian, kontrol keagamaan dan politik ulama terhadap kerajaan-kerajaan cukup dominan sehingga dapat diharapkan kerajaan-kerajaan itu berjalan menurut kaidah agama.
Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Muslim Jawa memakai surban di zaman kerajaan.

Gelar Ulama di Jawa

Dalam masyarakat Jawa dikenal sebutan beberapa gelar yang diperuntukkan bagiulama. Pertama, gelar wali  diberikan padaulama tingkat tinggi, memiliki pribadi yang berkemampuan luar biasa.

Sering juga para wali dipanggil sunan (susuhunan = yang disuwuni), seperti halnya para raja. Hal ini berarti memiliki derajat seperti raja yang  dapat memenuhi dan mengayomi kebutuhan masyarakat. Kedua, gelar  panembahan diberikan kepada ulama yang memiliki keunggulan spiritual . Di samping itu, gelar ini juga diberi- kan kepada ulama yang berusia tua atau awune tuwa . Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.

Gelar ini pernah dipakai oleh keturunan Sunan Giri (abad ke-17) yaitu
Panembahan Mas Giri  dan juga  Panembahan Rama  atau Kyai Kajoran, seorang ulama Mataram keturunan P. Senopati. Gelar Panembahan itu juga dipakai oleh Senopati yang punya kekuatan spiritual, atau saudara raja yang telah tua. Arti dari  panembahan  ialah yang disembah atau dihormati, karena prestasi spiritualnya. Ketiga, gelar  kyai , seperti telah disebut di muka, gelar ini adalah gelar sebagai kehormatan bagi para ulama pada umumnya.

Di samping itu, gelar kyai digunakan untuk seorang ulama desa yang mempunyai pengaruh besar. Mereka sering disebut sebagai  kyai ageng  (ki ageng / ki gede). Ulama yang telah pergi haji disebut  kyai haji, atau kiaji.
Dari penggelaran para alim-ulama itu, terlihat bahwa di Jawa terdapat penghor- matan baik terhadap pemimpin agama, maupun bidang politik kenegaraan. Adapun ulama yang masuk dalam lingkaran birokrat tradisio-
nal, diberi gelar :  Penghulu, Ketib, Modin, Kaum, Abdi Dalem Kaji  dan sebagainya.

No comments: