Salah Fir’aun

Bagi orang beriman, seharusnya syahadat itu menafikan kesombongan
Apa Salah Fir’aun
ilustrasi
JIKA boleh bertanya, kira-kira apa yang menghalangi Firaununtuk menerima dakwah yang diserukan Nabi Musa?
Apa salah Firaun hingga dakwah itu tak sampai menjamah hatinya?
Sebagaimana Abu Thalib, Abu Lalab, dan paman-paman Nabi Muhammad yang tak kunjung beriman hingga ajal menjemput mereka. Atau bahkan Iblis yang menolak bersujud kepada Adam, manusia yang baru saja Allah ciptakan ketika itu. Ada apa dengan mereka?
Jelasnya, bukan karena mereka tak kenal sosok-sosok yang dimaksud.
Bagi Firaun, Musa bukanlah sekadar hubungan penguasa dan rakyatnya. Lebih dari itu, karena kenyataannya sejak masih dalam buaian, Musa hidup dalam asuhan Firaun dan istrinya, Asiah.
Abu Thalib dan paman Nabi lainnnya juga demikian. Mereka adalah kerabat dekat yang banyak membantu secara sosial dakwah Rasulullah.
Pun Iblis saat disuruh bersujud kepada Adam. Ucapannya “Ana khairun minhu” menjadi bukti empirik bahwa Iblis tahu seluk beluk Adam tersebut, Ia bahkan meneliti lalu membandingkan dirinya dengan Adam yang baru kemarin sore diciptakan itu.
Jadi apa alasannya? Selain faktor hidayah Allah, sebab utama lainnya ialah virus angkuh. Sifat sombong (takabbur) inilah yang menjadi tabir penghalang setiap kebenaran yang datang padanya.
Biasanya kebenaran itu harus sesuai dengan selera akal dan nafsunya. Apapun itu jika nalarnya menolak apalagi jika sampai merasa dirugikan secara materi, niscaya jiwanya ikut memberontak dan menampik hal tersebut.
Sekali lagi, orang-orang yang disebut sebagai contoh di atas, bukanlah orang-orang bodoh yang tak punya pengetahuan tentang dakwah yang disampaikan.
Tapi wawasan yang luas itu hanya sebatas di otak saja tanpa turun menghunjam ke hati. Akibatnya segala sesuatu ditimbang melalui logika manusia yang sempit semata.
Apalagi jika ditambah dengan dorongan nafsu yang dihegemoni oleh sifat angkuh tadi. Ibarat cermin kaca, nurani Firaun tertutupi noda pekat. Ia menjadi budak hawa nafsunya.
Mewaspadai Karakter “Firaun” dalam Diri
Setiap jengkal jiwanya hanyalah dipenuhi dengan karat-karat keangkuhan. Nistanya lagi, Firaun tak cuma menampik kebeneran itu untuk peribadinya.
Tapi juga mempersulit kebenaran itu sampai kepada orang lain di sekitarnya.
Tolak ukur kesombongan
Firman Allah:
وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِىٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُ ۥۤ‌ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَڪُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِى ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ (٢٦)
“Dan berkata Fir´aun (kepada pembesar-pembesarnya): Biarkanlah aku membunuh Musa ‎dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan‎menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi” Dan Musa berkata:‎‎“Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang ‎menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Ghafir [40]: 26-27).
‎Ragam jenis kesombongan kerap melanda dalam kehidupan manusia. Salah satunya seperti yang tersurat dalam munajat Nabi Musa di atas.
Yaitu, siapa saja yang tak mengimani Hari Kiamat. Musa berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan Tuhanku dan Tuhan kalian dari (kejahatan) setiap orang sombong yang tak beriman kepada Hari Pembalasan.”
Bagi orang beriman, seharusnya syahadat itu menafikan kesombongan. Orang yang tak beriman kepada Allah dan Hari Akhirat otomatis terkategori sombong.
Ia disebut sombong karena menolak untuk mengakui Tuhan Sang Pencipta, sedang dirinya sendiri adalah makhluk yang dicipta.
Bagi pemilik iman, konsekuensi bersyahadat adalah menyadari sepenuhnya kedudukan dirinya sebagai hamba yang lemah di hadapan Zat Yang Mahakuat.
Jangan jadi Hamba Fir’aun
Sebagai hamba yang hina bagi Tuhan Yang Mahamulia. Sebagai budak yang rapuh di depan kuasa Allah Yang Maha Bergantung segala sesuatu. Demikian seterusnya.
Dengan kesadaran itu, maka orang tersebut punya rasa takut kepada Allah dan senantiasa berakhlak mulia kepada sesama.
Sebaliknya jika bibit ego itu dipelihara, maka dijamin syahadatnya jadi mandul. Tak ada reaksi dari keimanan yang dipunyai kecuali sebatas rutinitas dan formalitas keislaman semata.
Ia bahkan jadi biang segala petaka dan celaka selanjutnya, dunia dan akhirat.

No comments: