Pasukan Salib pun Menyerang Bizantium

Pasukan Salib pun Menyerang Bizantium
Ilustrasi: Film dokumenter Aljazeera
Pihak gereja mengeluarkan larangan melakukan aktivitas perdagangan dengan pihak Muslim. Padahal, kerjasama tersebut saling menguntungkan
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh para pejuang Muslim selama Perang Salib berkobar. Akhirnya kekuasaan Salib sirna dari bumi umat Islam. Sejarah mencatat bahwa keberhasilan-keberhasilan itu tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer, namun juga kekuatan diplomasi. Para pejuang Muslim tidak hanya pandai mengatur strategi perang dan mengayunkan pedang, tapi juga piawai dalam berdiplomasi.

Diplomasi yang dilancarkan para pejuang Muslim menyebabkan pasukan Salib tercerai-berai, timbul permusuhan satu sama lain. Dengan diplomasi kekuatan Islam dapat mengisolasi para penguasa Salib dari dunia luar. Dengan hubungan perdagangan umat Islam pun berhasil melemahkan ekonomi musuh dan memperoleh kekuatan senjata. Hingga pada akhirnya kekuasaan Salib sirna dari Syam.

Untuk mengetahui kepiawaian para pejuang Muslim dalam berdiplomasi selama Perang Salib berlangsung. Tulisan ini merupakan Ihwal Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2015. Inilah ulasannya.
***
Paus Innocent III kala itu memutuskan untuk mengirimkan surat kepada para penguasa Eropa, setelah Perang Salib III gagal merebut kembali Al–Quds dari Shalahuddin Al–Ayubi. Ia menyeru kepada para penguasa untuk melakukan serangan terhadap Mesir. Gerakan ini dikenal dengan Perang Salib IV.

Namun sayang, seruan itu tidak memperoleh sambutan dari para penguasa Eropa karena mereka sedang dirundung konflik internal. Hanya sejumlah pejabat saja yang menyambut seruan tersebut. Maka dibentuklah pasukan guna melakukan serangan terhadap Mesir.


Akibat tidak didukung kekuasaan, pasukan ini tidak memiliki cukup biaya untuk melakukan pelayaran ke Mesir. Sedangkan pihak Bunduqiyah, kota perdagangan Eropa (Venesia) mematok biaya sebesar 85 ribu mark perak untuk bisa mengantarkan pasukan itu menyeberang Laut Tengah.

    Inovasi Militer Muslim Di Masa Perang Salib (1)

Di Bunduqiyah ada seorang politikus yang cukup dikenal, Henry Dandolo. Meski telah berumur 80 tahun, pria ini cukup piawai dalam diplomasi. Dandolo pun memanfaatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan bagi Bunduqiyah. Sampai pada akhirnya, Bunduqiyah dan pasukan Salib sepakat bahwa pihak Bunduqiyah bersedia mengantar pasukan Salib ke Mesir dengan dua syarat. Pertama, pasukan Salib harus merebut kota Zara dari Hungaria, sebuah kota yang diklaim oleh pihak Bunduqiyah sebagai wilayah mereka. Kedua, pasukan Salib harus melakukan serangan ke Konstantinopel, setelah Alexios III Angelos pemimpin Bizantium mempersempit ruang gerak para pedagang Bunduqiyah.

Inilah yang menyebabkan kegagalan perang Salib IV, yang tujuan awalnya menyerang Mesir berbelok menuju Konstantinopel. Karena setelah pasukan Salib melakukan serangan ke wilayah tersebut, kabar mereka tidak terdengar lagi dan tidak pernah ada pelayaran pasukan Salib ke Mesir di waktu itu.

Pada hakikatnya, pihak Bunduqiyah sebenarnya enggan mengantarkan pasukan Salib ke Mesir, karena mereka telah memiliki hubungan diplomasi secara baik dengan Sultan Adil Al-Ayubi, penguasa Mesir. Pihak Bunduqiyah sengaja membelokkan pasukan Salib dari Mesir.

Menjalin Hubungan yang Baik

Sultan Adil Al-Ayubi sendiri telah memperlakukan Bunduqiyah secara istimewa. Di Iskandaria, para pedagang Eropa dari kota tersebut memperoleh fasilitas, sehingga mereka bisa melakukan aktivitas dengan nyaman. Pihak Mesir telah menyediakan mereka funduq, sebagai sarana untuk tinggal sementara. Di situ juga mereka bebas melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan dan diberi kebebasan menjalankan kebiasaan seperti ketika mereka tinggal di negeri sendiri. Mereka pun dibebaskan dari berbagai bentuk pajak.

Para pedagang Bunduqiyah ke Mesir membawa besi, kayu, budak, bahkan senjata. Hal ini tentu amat menguntungkan pihak Mesir. Di samping memperoleh bahan-bahan penting bagi Mesir, aktivitas perdagangan pun pindah dari Eropa ke pelabuhan-pelabuhan Timur dan ini mengancam ekonomi negara-negara Salib. Sebab itulah, pihak gereja mengeluarkan keputusan larangan melakukan aktivitas perdagangan dengan umat Islam di Timur. Namun keputusan tersebut diabaikan oleh para pedagang Eropa.
Perhatian terhadap para pedagang Eropa ini dirasakan sejak masa Shalahuddin Al–Ayubi. Terutama sejak mereka berbondong-bondong berlayar ke negeri-negeri Timur setelah berdirinya beberapa kekuasan Salib di Syam. Dalam surat yang ditujukan kepada Khalifah Al–Mustadhi` Abasiyah, Shalahuddin menyampaikan, “Mereka (para pedagang) itu membawa ke negeri kita alat perang dan jihad, mereka mendekati kita dengan profesi mereka. Saya telah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan mereka dan membangun hubungan damai sesuai kehendak kita meski ada yang tidak mereka sukai. Kita bisa mempengaruhi mereka dan mereka tidak berpengaruh kepada kita.” (Ar–Raudhatain, 1/243).

    Inovasi Militer Muslim Di Masa Perang Salib (2)

 Kesediaan pasukan Salib berbelok menyerang Konstantinopel terjadi karena pengaruh hubungan diplomasi yang telah dibangun Shalahuddin Al-Ayubi dengan pihak Bizantium sejak masa Manuel Comnenus (1180 M). Shalahuddin Al-Ayubi menulis untuk Khalifah Abasiyah, bahwa Bizantium merupakan musuh yang mengancam namun setelah itu menyampaikan, “Kami tidak keluar dari Mesir hingga datanglah kepada kami utusan mereka dengan membawa dua surat, salah satunya menunjukkan kecenderungan berdamai dan perubahan dari permusuhan menuju perjanjian.” (Ar–Raudhatain, 1/242,243).

Di masa Andronikos I dikirimlah utusan Bizantium ke Shalahuddin yang menyetujui dibantuknya persekutuan antara kedua belah pihak. Namun Andronikos I diturunkan dari jabatannya dan digantikan Ishak Angelos. Di masa Ishak Angelos ini sampailah kepada mereka jawaban Shalahuddin mengenai bentuk koalisi yang ditawarkan.

Hubungan diplomasi Bizantium-Shalahuddin Al–Ayubi tercium oleh para penguasa Salib dan kekuasaan Kristen Eropa. Shalahuddin berhasil merusak hubungan antara Bizantium dengan penguasa-penguasa Eropa lainnya, juga dengan para penguasa Salib di Syam. Dengan demikian kekuasaan Salib di Syam terisolasi dan tidak memperoleh bantuan dari Bizantium. Sehingga dalam pertempuran Hittin tidak ada satu prajurit pun yang berasal dari Bizantium yang tertumpahkan darahnya, yang akhirnya Al–Quds kembali dalam pangkuan umat Islam.

Karena hubungan diplomasi ini, setelah Shalahuddin Al–Ayubi berhasil merebut Al–Quds, pihak Bizantium memberi informasi mengenai persiapan para penguasa Eropa dalam rangka menggelar Perang Salib III. Hal ini terungkap dari tulisan Shalahuddin Al–Ayubi yang dikirim kepada saudaranya Saiful Islam di Yaman, “Para informan di Iskandaria, penguasa Konstantinopel, serta front Maghrib memperingatkan bahwa musuh telah mengumpulkan para pejabat dan mencoba melakukan perlawanan, mereka marah dan Allah menambah kemarahan mereka.” (Ar–Raudhatain, 2/159).

Pengaruh hubungan Bizantium-Shalahuddin juga berdampak pada perang Salib III. Philip Augustus penguasa Perancis dan Richard penguasa Inggris memilih perjalanan laut melalui Sisilia dan tidak memilih jalan darat yang melalui wilayah Bizantium. Hanya Frederic Barbarosa penguasa Jerman yang memilih jalan darat. Dan, pihak Bizantium mengabarkan akan hal itu kepada Shalahuddin. Pihak Bizantium meminta maaf akan kejadian itu, dan mempersilakan Shalahuddin untuk berkunjung dan menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Jami’ Konstantinopel untuk mengobati kekecewaan Shalahuddin. (Ar–Raudhatain, 2/159).

Pasukan Frederic Barbarosa sendiri gagal melakukan serangan setelah melalui wilayah Bizantium, karena ia berhadapan dengan pasukan kesultanan Saljuk dan pasukannya tercerai-berai. Frederic Sendiri tewas hanyut saat mencoba untuk menyeberang sungai.

Namun karena jauhnya jarak, Bizantium tidak bisa memberikan bantuan militer kepada Shalahuddin demikian pula sebaliknya. Shalahuddin Al–Ayubi sendiri menilai Bizantium tidak berani berhadapan langsung dengan para penguasa Salib. Sehingga koalisi tersebut tidak bertahan lama.*

Rep: Thoriq

Editor: Cholis Akbar

No comments: