Februari 1949, Mengenang Kisah Syahidnya Imam Hasan Al-Banna

 

Akhir 1948, pasukan bersenjata Ikhwanul Muslimin (IM) memukul mundur pasukan Zionis-Israel dari Palestina. Ini membuat Zionis dan negara Barat kalang kabut dan mendesak PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama tiga pekan. Tentu saja, langkah PBB ini merupakan bentuk dukungan lembaga internasional tersebut kepada Zionis. Secara diam-diam, Zionis-Israel pun bisa kembali menyusun kekuatan dan menyiapkan persenjataan yang lebih lengkap. Dalam pertempuran selanjutnya, tentara Zionis yang sudah kembali kuat berhasil memukul mundur milisi IM yang berasal dari Mesir, Yordania, Iraq, dan sejumlah negara Arab dengan persenjtaan yang seadanya.
Tak lama setibanya di Mesir, penguasa negeri Sphinx tersebut malah menjadikan IM sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya. Ulama-ulamanya dikriminalisasi, para ustadz dan khotib Jum’at dilarang untuk berceramah menyinggung-nyinggung politik dan kekuasaan. Rezim Mesir memecah-belah ulama, yang mau tunduk pada keinginan penguasa dan bersikap lembek terhadap kemungkaran dibina dan dijadikan ulama-ulama besar, sedangkan para ulama yang meniti jalan Rasul SAW, yang sungguh-sungguh membela Islam, ditangkapi dan dipenjarakan. Selain melarang organisasi induknya, pemerintah Mesir juga membekukan semua organisasi sosial dan amal IM. Para Ikhwan yang bersikap kritis dan melawan, langsung ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan teroris atau makar.

Hasan Al-Banna (tengah) di pos Qatnah dalam jihad melawan Zionis 1948. Sebelah kiri Ustadz Muhamad Sibale.
Aktivis Islam akhirnya tiarap. Tak banyak yang bisa diperbuat. Tiba-tiba pemerintah Mesir menawarkan perundingan di Kantor Syubaanul Muslimin. Dengan niat baik demi tetap berlangsungnya dakwah, Hasan Al-Banna ditemani ustadz Abdul Karim, Ipar laki-laki sekaligus pendamping setianya, pergi ke tempat tersebut. Tiba di kantor Syubaanul Muslimin, keduanya duduk menunggu. Namun setelah menunggu sekian lama, utusan dari pemerintah tak kunjung datang, bahkan hingga hari malam. Hasan Al-Banna dan yang lainnya menjalankan sholat Isya di kantor tersebut. Selesai sholat beliau duduk menunggu sebentar, namun yang diharapkan ternyata tak datang juga.
Akhirnya, Hasan Al-Banna menganggap memang tidak ada niat baik dari pemerintah. Beliau kemudian menyuruh Muhammad Laitsi untuk memanggil taksi untuk pulang. Pukul 08.15 waktu Kairo, Hasan Al-Banna bersama Abdul Karim keluar kantor tersebut. Jalan raya sudah gelap dan sepi. Mereka masuk ke sebuah taksi. Hasan Al-Banna masuk di belakang dan Ustadz Abdul Karim duduk di sebelah kanannya. Namun, beliau bangkit meminta untuk pindah tempat duduk. akhirnya, Hasan Al-Banna duduk di kanan dan ustadz Abdul Karim di kiri.
Tiba-tiba entah datang dari mana, dua lelaki tidak dikenal menyetop taksi dengan menghalangi jalannya. Tanpa banyak cakap, salah seorang di antaranya berjalan mendekati jendela tempat ustadz Abdul Karim duduk, dan memintanya membuka pintu taksi. Namun Ustadz Abdul menolak dan menahan pintunya. Dalam keremangan terlihat lelaki itu mengeluarkan pistol dan mengarah ke bagian dadanya. Ustadz Abdul Karim segera menghindar sehingga peluru mengenai sikut tangan kanannya. Terjadilah perkelahian antara keduanya, namun Ustadz Abdul Karim tak mampu berbuat banyak karena sudah kehabisan darah.

Hasan Al-Banna bersama KH. Agus Salim, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI berkat jasa dari Hasan Al-Banna dan IM
Lelaki yang lain yang juga berpistol mendekati Hasan Al-Banna. Dia juga memaksa membuka pintu taksi namun dihalangi. Akhirnya setelah kunci pintu itu ditembak, pintu taksi pun terbuka. Ia mengarahkan moncong pistol ke arah Hasan Al-Banna. Namun dengan cepat Hasan Al-Banna berlari menyelamatkan diri dengan berlari ke belakang, namun sebuah mobil lain sudah menunggu dan mendekatinya. Dari mobil tersebut terdengar berondongan tembakan mengarah ke tubuhnya. Dengan menahan sakit, Hasan Al-Banna berlari lagi kembali ke arah taksi dan memasukkan ustadz Abdul karim ke dalam taksi. Kaki Ustadz Abdul Karim menjulur ke luar pintu karena sudah tidak bisa digerakkan.
Dengan berteriak, Hasan Al-Banna memanggil Ustad Muhammad Laitsi yang mendekat dan berkata kepadanya,”Tulislah nomor mobil itu, 9979!″
Tiba-tiba seorang ellaki tinggi besar sudah berada di dekat mereka dan menyeringai, “Apakah kalian mau mencatat nomor mobil yang barusan saya naiki? Nomornya 9979.” Kemudian dia langsung pergi.
Hasan Al-Banna segera kembali masuk ke dalam kantor Syabanul Muslimin untuk meminta pertolongan. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Akhirnya dengan taksi yang sama mereka membawanya ke rumah sakit terdekat. Awalnya sopir taksi menolak, namun akhirnya mau juga mengantar setelah dipaksa.
Di depan rumah sakit, sambil terus menahan sakit dari luka tembak yang dideritanya, Hasan Al-Banna membawa ustadz Abdul Karim dari mobil dan memasukannya ke dalam. Dokter datang untuk mengobati Hasan Al-Banna. Namun, beliau berkata,”Obati dulu Ustadz Abdul Karim karena kondisinya sangat parah.” Padahal yang paling parah dia sendiri.
Dokter pun mendatangkan ranjang pasien dan memindahkan keduanya ke salah satu kamar. Di kamar perawatan mereka dibiarkan saja tergeletak dan tidak dilakukan pertolongan medis yang cepat layaknya gawat darurat. Malah yang datang seorang Wakil Raja bernama Brigadir Jenderal Mustafa Wasfy. Dengan tertawa sinis dia berkata, ”Kalian belum mati juga wahai teroris?” Lantas dia pun pergi.
Dokter akhirnya datang dan menyuruh perawat melepaskan baju Hasan Al-Banna, namun dengan segala sisa tenaga, beliau cepat bangkit dari atas kasur dan membuka bajunya sendiri. Bukan segera menolong, dokter malah menanyakan hal-hal yang sifatnya administratif seperti nama dan alamat. Hasan Al-Banna langsung berteriak, “Cepat obati Ustadz Abdul Karim! Beliau kondisinya sangat serius!”
Kemudian datang lagi Brigjen Muhammad Washfy untuk yang kedua kalinya. Ia bertanya pada dokter, “Bagaimana kondisi Hasan Al-Banna?.”Dokter menjawab kondisinya tidak terlalu serius.
Setelah itu, dalam batas kesadaran, Hasan Al-Banna mengetahui jika dirinya dipisah ruangan dengan Ustadz Abdul Karim. Mereka meletakkan Ustadz Abdul Karim dalam sebuah kamar yang di dalamnya sudah terdapat satu pasien, dan Hasan Al-Banna di kamar satunya lagi.
Entah apa yang selanjutnya terjadi. Yang jelas, Brigjen Muhammad Washfy memang diutus pemerintah untuk memastikan kematian Hasan Al-Banna. Dokter tidak diijinkan melakukan pengobatan dan membiarkan darah Hasan Al-Banna mengucur habis. Akhirnya, ruh sucinya naik kepada Sang Pencipta, mengadukan semua kezhaliman para taghut.
Kezaliman pemerintah tak sampai disitu saja. Ketika Hasan Al-Banna meninggal, mereka juga tidak mau menyerahkan jasad Al Banna kepada ayahnya, kecuali setelah dia berjanji menguburnya sendiri tanpa menghadirkan siapa pun. Sang ayah yang sudah renta, berusia di atas 90 tahun itu, seorang diri memandikan dan mengkafani anaknya yang syahid. Polisi melarang jasad Al Banna dibawa laki-laki. Maka kemudian jasad sang syahid dibawa oleh empat perempuan yang berjalan dengan kepungan barisan tank dan ratusan polisi dan tentara. Dengan cara seperti inilah akhirnya tokoh pembaru Islam abad 20 dikebumikan. Sungguh, jangan lupakan sejarah, Sejarah masa lalu akan berulang kembali di masa kini. [rd/eramuslim]

No comments: