Cinta, Falsafah Hidup Buya HAMKA

Acara bedah buku
Acara bedah buku
, Siang itu di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1969. Jakarta masih belum melupakan masa lalu penuh kekangan di Orde Lama. Meskipun pada saat yang sama, masa depan di bawah Orde Baru tampak samar-samar. 
Dalam suasana demikian, sekelompok pengarang menyelenggarakan diskusi. Pembicara yang dihadirkan cukup istimewa. Dialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, HAMKA. 
Sastrawan Angkatan 66, Taufiq Ismail, merekam kenangan dari diskusi itu dalam bukunya Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit. Seusai paparan, ungkap Taufiq Ismail, sastrawan-ulama tersebut ditanya oleh beberapa peserta mengenai dua hal. 
Pertama, tentang pendapatnya soal pelarangan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Untuk diketahui, dalam rezim Orde Baru karya-karya pengarang kelahiran Blora tersebut menjadi haram bagi publik. Tidak cukup demikian. Presiden Soeharto juga menggiring Pramoedya dan para tertuduh komunis lainnya ke Pulau Buru, “gulag”-nya Asia Tenggara.  
Kedua, bagaimana sikap Buya HAMKA terhadap diri Pramoedya yang telah menghancurkan nama baiknya dalam masa silam. Selama beberapa tahun, melalui media massa pro-komunis dan dengan bahasa caci-maki, Pramoedya menulis di Lentera dan Bintang Timur. Pram mengecam sosok kelahiran 1908 tersebut sebagai pengarang-plagiat. 
Puncaknya ialah ketika Buya HAMKA dituduh berkomplot akan membunuh presiden Sukarno kala itu. Hampir tiga tahun lamanya tokoh Masyumi dan Muhammadiyah tersebut dibui tanpa melalui pengadilan. Buya HAMKA baru mulai menghirup udara bebas setelah Orde Lama tumbang pada 1966.
Apa jawaban Buya HAMKA atas dua pertanyaan itu? 
Ia menegaskan tidak setuju dengan pelarangan buku-buku sastra karya Pramoedya. Terkait serangan pada diri pribadinya di masa Orde Lama, Buya HAMKA mengatakan, sudah memaafkan semua pihak yang terlibat.  
“Falsafah hidup saya adalah cinta,” ucap Buya HAMKA. 
Taufiq Ismail mengingat, hadirin di Teater Arena TIM terdiam hening mendengarkan jawaban itu. Keikhlasan yang memancar  dari kata-kata sastrawan dan ulama besar tersebut. Banyak pula hadirin yang menitikkan air mata, termasuk salah satu peserta, novelis Iwan Simatupang.

Pada 1970, Buya HAMKA menulis kata pengantar untuk cetakan ke-12 buku karyanya, Tasawuf Modern. Itu merupakan pengembangan dari artikel-artikelnya di Pedoman Masyarakat. Dalam kalam pembuka itu, Buya HAMKA melukiskan bagaimana penderitaannya dituduh sebagai pengkhianat negara. 
Tanggal 27 Januari 1964, pukul 11.00 siang, ia dijemput paksa dari kediamannya. Dengan kondisi tersekap, ia dibawa ke lokasi tempat interogasi, yang diperkirakannya berada di Sukabumi, Jawa Barat.
Selama 15 hari, Buya HAMKA diintimidasi untuk mengakui perbuatan yang bahkan tak pernah terpikirkan sama sekali, apalagi dilakukannya. Ia dituduh mengkhianati Indonesia, bersekongkol dengan Malaysia, dan menghendaki kematian Bung Karno. Dalam interogasi itu, ia merasa mentalnya jatuh. Tidur pun tidak diperbolehkan. Para petugas interogasi mengancamnya dengan pistol. 
Satu hal yang awalnya mengherankan Buya HAMKA. Sebagai tahanan, saat itu ia dijauhkan dari segala benda-benda tajam. Mengertilah akhirnya Buya Hamka waktu itu mengapa mereka melakukannya. 
Sebab, orang yang mentalnya runtuh begitu rentan melakukan perbuatan yang tak disangka. Termasuk mengakhiri nyawa sendiri. Dala kondisi demikian, ia merasa bisikan setan itu nyata. 
“Yang datang itu ialah setan! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau-silet. Kalau pisau kecil itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita,” tulis Buya HAMKA.
Satu jam lamanya tekanan psikologis itu dialaminya. Perang hebat antara perdayaan iblis dan iman yang telah dipupuk bertahun-tahun di dalam kalbu. Tetapi alhamdulillah, tulis Buya Hamka kemudian: “iman saya menang.”
***
Orde Lama runtuh. Pada 16 Juni 1970, Kafrawi Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto saat itu, datang ke kediaman Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari keluarga Bung Karno. 
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” tulis Bung Karno dalam pesannya.
“Jadi beliau sudah wafat?” tanya Buya HAMKA kepada Kafrawi.
“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenasahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.” 
Buya HAMKA terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. 
Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. 
Sesuai wasiat Sukarno, Buya HAMKA pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.
Dalam sebuah kesempatan kemudian, Buya HAMKA memuji jasa-jasa presiden Sukarno. Di antaranya, pembangunan Masjid Baitul Rahim di Istana Negara serta Masjid Istiqlal. 
Satu hal yang tak terlupakan. Buya HAMKA menyebutkan bahwa di dalam proses penulisan karyanya, Tafsir al-Azhar, ada andil Bung Karno. Sebab, tafsir itu diselesaikan saat ia berada di penjara.
“Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”

No comments: