Kenangan Pertempuran Laut Terhebat Sepanjang Perang Dunia Kedua

Kini, kenangan pertempuran itu bukan milik mereka semata, tetapi juga milik kita. Sepatutnya, kita bersama mereka menjaga repihannya di lantai laut Nusantara.

Kenangan Pertempuran Laut Terhebat Sepanjang Perang Dunia KeduaPara pengunjung menyaksikan model kapal perang USS Houston dalam pameran bertajuk "Pertempuran Laut Jawa" yang digelar secara tetap di Museum Bahari, Pasar Ikan, Jakarta. Setelah Pertempuran Laut Jawa 27-28 Maret 1942, kapal tipe perusak berat milik Amerika Serikat itu tumbang dihajar torpedo Jepang pada Pertempuran Selat Sunda, 1 Maret 1942. Dari 1061 awaknya, hanya 368 yang selamat—dan segera menjadi tawanan perang. Tak hanya miniatur kapal yang dipamerkan, tetapi juga alat ukur jarak, teropong, teleskop, bendera sinyal, peralatan makan awak kapal, serta buku sejarah tentang pertempuran tersebut. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
Cahaya berpendar dari deretan jendela lebar di bekas gudang rempah milik VOC. Saya berada di tengah lautan pelaut kulit putih yang membanjiri ruang dalam. Semakin malam, ingar-bingar bercampur aroma bir impor kian mengangkasa hingga ke langit-langit kayunya.
Namun, ini bukan sekadar pesta kelasi yang usai dalam semalam.
Mereka adalah para perwira angkatan laut asal Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Belanda. Hari itu, tepat 75 tahun silam, leluhur mereka yang tergabung dalam ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) bertarung melawan Jepang dalam Pertempuran Laut Jawa pada 27-28 Februari 1942. Pertaruhan besar untuk Jawa itu dicatat sebagai pertempuran laut terhebat sepanjang Perang Dunia Kedua. Hingga 1 Maret 1942, sejumlah 2.100 pelaut Sekutu telah meregang nyawa, termasuk 220 awaknya yang asal Indonesia. Sekutu memiliki 14 kapal (9 kapal perusak) dalam pertempuran itu, sementara Jepang sebanyak 28 kapal (14 kapal perusak).
Hari itu, tepat 75 tahun silam, leluhur mereka bertarung melawan Jepang dalam Pertempuran Laut Jawa pada 27-28 Februari 1942. Pertaruhan besar untuk Jawa itu dicatat sebagai pertempuran laut terhebat sepanjang Perang Dunia Kedua.
Pertempuran Laut Jawa membawa nama Laksamana Muda Karel Doorman. Sejak awal Februari 1942, dia menjadi komandan skuadron “Striking Force” ABDACOM. Pada 26 Februari petang, armada empat kebangsaan dalam skuadron itu telah bersiaga meninggalkan Surabaya untuk kiprah pamungkasnya.
Pada dini hari 28 Februari 1942, sang laksamana muda tewas bersama tenggelamnya kapal penjelajah “De Ruyter” karena —nasib sial dan—torpedo Jepang yang di luar dugaan berjangkauan jarak jauh. Sebuah kebanggaan seorang pelaut apabila bisa tenggelam bersama kapal yang dinakhodainya. Sejak saat itu armada Sekutu kian tercerai-berai. Hari berikutnya, pada 1 Maret 1942, serdadu-serdadu Jepang telah mendarat di Pantai Kragan, Eretan Wetan, dan Merak. Mereka bergerak cepat masuk ke pedalaman. Dalam hitungan seminggu, imperium Hindia Belanda itu pun tamat.
(Simak "27-28 Februari 1942, Pertempuran Laut Jawa")
Kenangan atas pertempuran laut tersebut dikisahkan kembali dalam sebuah pameran tetap di Museum Bahari, Jakarta, yang bertajuk Pertempuran Laut Jawa. Pada Senin malam, 27 Februari 2017, pameran ini dibuka oleh Duta Besar Kerajaan Inggris Moazzam Malik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Jenderal TNI Luhut Binsar Panjaitan, dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Catur Laswanto.
Seorang pelaut Australia tengah ...Seorang pelaut Australia tengah membaca sejarah Pertempuran Laut Jawa di Museum Bahari sembari menenggak sebotol bir "London Pride". (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
Prakarsa perhelatan akbar ini datang dari negara-negara yang terlibat pertempuran—Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Belanda. Penggarapannya didukung oleh US Navy, Australian National Maritime Museum, United Kingdom National Museum, National Maritime Museum di Belanda, dan Tokyo Keizai University di Jepang.
“Inggris dan Indonesia telah berbagi sejarah, khususnya sejarah bahari,” kata Moazzam Malik. Kelindan sejarah dua negeri kepulauan ini telah bermula sejak masa Thomas Stamford Raffles hingga pecahnya Perang Dunia Kedua. Dari sejarah, ungkapnya, kita bisa melihat masa depan. Dia pun melihat Indonesia sebagai negara maritim yang berkembang.
Michael Harvey, dari Australian ...Michael Harvey, Australian National Maritime Museum, tengah memberikan penjelasan tentang kerusakan HMAS Perth kepada ahli arkeologi bawah air dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Shinatria Adhityatama. Mereka bekerja sama dalam "HMAS Perth Project". (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
"Ini adalah pertempuran laut terbesar dalam suasana Perang Dunia Kedua," ujar Malik. Dia menambahkan bahwa Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Belanda berkomitmen dalam mendukung perjalanan Indonesia sebagai negara maritim. “Saya meyakini bahwa pameran ini merupakan bagian komitmen dan keinginan untuk mewujudkan agenda maritim untuk masa depan.”
Sementara itu Luhut Binsar Panjaitan mengatakan di depan hadirin bahwa dirinya bangga dengan pameran ini karena mengingatkan tentang banyak peristiwa sejarah terjadi di Indonesia. “Saya berharap kegiatan ini memicu pemahaman baru tentang sejarah maritim di negeri ini,” ujarnya. “Saya pikir ini contoh bagus bagaimana menjaga ingatan kita kepada para pahlawan. Saya juga sungguh berharap, kesempatan ini membawa kita lebih dekat karena maritim sangat penting bagi siapa pun.”

Saya berjumpa Michael Harvey di depan panil pameran yang bertajuk “Pengumpul Rongsokan dan Perlindungan”. Lelaki berambut pirang itu merupakan Assistant Director of Public Engagement and Research, Australian National Maritime Museum. “Kami bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional beberapa tahun ini,” ujarnya ramah. “Dalam waktu dekat ini kami akan menyelam bersama ke situs HMAS Perth.”
Pengunjung mengamati panil yang ...Pengunjung mengamati panil yang menerangkan Laksamana Karel Doorman, Komandan American-British-Dutch-Australian Command (ABDA). Pada 28 Februari 1942 kapal HNLMS De Ruyter yang dipimpin Laksamana Karel Doorman tumbang terkena serangan Jepang. Jumlah korban Belanda dan Indonesia dalam pertempuran itu 920 orang. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
HMAS Perth merupakan kapal bertipe penjelajah ringan milik Australia yang meninggalkan Pertempuran Laut Jawa, namun berhasil diterjang serangan Jepang sehingga tenggelam di ujung barat laut Jawa pada 1 Maret 1942. Harvey mengungkapkan pada 1970-an lonceng kapal itu telah diselamatkan dan kini berada di Australian War Memorial, Canberra. “Apabila diperlukan, kami bersedia membuat replikanya untuk museum ini (Museum Bahari),” ujarnya.
Australian National Maritime Museum dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dalam proyek arkeologi kelautan terkait HMAS Perth. Keduanya melakukan survei sonar dan penyelaman. Mereka juga memantau kapal ini dan memberi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan tentang repihan Perang Dunia Kedua dan upaya perlindungannya. Pertempuran Selat Sunda menentukan takdir kapal perang itu. Kini, jika kita tidak berupaya, nasib repihannya ditentukan penambang besi tua.
“Jadikan kapal-kapal ini sebagai media untuk mempererat persahabatan dengan negara lain untuk kemajuan Indonesia.”
Shinatria Adhityatama, ahli arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan kesannya kepada saya tentang pembukaan pameran ini terkait dengan arkeologi bawah air. “Ini langkah baru atau babak baru bagi arkeologi bawah air dan maritim Indonesia,” ungkapnya. Alasannya, upaya pelestarian dan penelitian repihan kapal-kapal Perang Dunia Kedua akan lebih mudah apabila Indonesia menjalin kerja sama dengan negara-negara pemilik kapal, demikian hemat Shinatria. “Jadikan kapal-kapal ini sebagai media untuk mempererat persahabatan dengan negara lain untuk kemajuan Indonesia.”
Salah satu panil dalam pameran ...Salah satu panil dalam pameran yang menggambarkan jalannya Pertempuran Laut Jawa pada 27-28 Februari 1942, yang dilanjutkan dengan Pertempuran Selat Sunda 1 Maret 1942. Kelak, pertempuran ini mengubah takdir Nusantara. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
November tahun lalu, publik internasional dikejutkan oleh amblasnya repihan empat kapal perang—milik Inggris dan Belanda—yang bersemayam di lantai Laut Jawa sejak Pertempuran Laut Jawa. Polemik pun berujung saling tuding. Sebagian berpendapat Indonesia paling bertanggung jawab atas lenyapnya ‘kuburan perang’ yang berada di wilayahnya. Namun, sebagian ada juga yang menuding bahwa negara-negara pemilik kapal itulah yang paling bertanggung jawab.
“Kalau soal siapa yang bertanggung jawab, saya kira dua-duanya ya,” kata Priyatno Hadi yang turut hadir dalam pembukaan pameran ini. Dia dikenal sebagai seorang senior di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang telah menekuni arkeologi bawah air bertahun-tahun. Kendatipun milik negara lain, ungkapnya, kapal-kapal itu tenggelam di Indonesia akibat dari peristiwa yang sangat berkait dengan sejarah Indonesia pula. “Lepas dari politik zaman dahulu, perang sudah lewat,” ujarnya. “Sekarang bagaimana kita mengelola warisan budaya.”
Sebuah alat pengukur jarak ...Sebuah alat pengukur jarak optik (stadimeter) turut dipamerkan sebagai salah satu koleksi terbaru di Museum Bahari. Alat ini dibuat pada 1890-an oleh Bradley Allen Fiske, perwira Angkatan Laut AS, yang  dipakai sepanjang Perang Dunia Kedua. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)
Kita, sebagai bangsa Indonesia, mungkin sekedar menjadi penonton dalam laga Perang Asia Timur Raya . Bahkan, banyak dari kita yang melalaikan peristiwa Pertempuran Laut Jawa yang kelak mengubah nasib Nusantara.
Priyatno turut tergugah sisi insaninya lantaran banyak juga pelaut-pelaut Jawa yang bertugas sebagai awak kapal Belanda. “Memang kapal-kapal itu berasal dari negara lain. Namun, korban di dalam itu bernama Suparto-Suparji-Suparno. Itu orang-orang kita semua!” ujarnya.
“Memang kapal-kapal itu berasal dari negara lain. Namun, korban di dalam itu bernama Suparto-Suparji-Suparno. Itu orang-orang kita semua!” ujarnya.
Angkatan Laut Belanda merekrut para pemuda dari berbagai pulau di Indonesia. Pada 1942, sekitar 20 persen jumlah awak pada kapal penjelajah dan perusak adalah pemuda Indonesia. Kendati mereka bekerja bersama pelaut Belanda, mereka tidur di ruang terpisah dan menyantap hidangan khusus orang Indonesia. Sebagian besar berpangkat rendah, hanya sebagian kecil yang menjadi bintara.
Kemudian Priyatno membandingkan Indonesia dan negara lain dalam perkara  penghormatan kepada warganya. “Kenapa hanya mereka yang mau menghargai para pahlawan, tentara angkatan laut mereka,” ujarnya, “tetapi kita belum ke arah sana.”
Suasana malam pembukaan pameran ...Suasana malam pembukaan pameran peringatan 75 tahun Pertempuran Laut Jawa di Museum Bahari, Jakarta. 27 Februari 2017. Pembukaan ini sekaligus menandai peresmian pameran tetap tentang peristiwa bersejarah itu. Tampak perwira Royal Australian Navy berjalan semringah bersama perwira TNI-AL. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

No comments: