Hasan al-Bashri dan Kepemimpinan yang Dzalim

Hasan al-Bashri memberikan keteladanan pada umat, menyebarluaskan ilmu ke tengah masyarakat, mensucikan jiwa- manusia

Hasan al-Bashri dan Kepemimpinan yang Dzalim [2]
Bukhara
HASAN al-Bashri (642-728) merupakan seorang pemimpin di kalangan tabi’in.Ilmunya luas, zuhud dan wara’-nya sulit dicari tandingannya, tutur katanya indah dan menghunjam ke lubuh hati banyak manusia.

Ia dilahirkan dua tahun menjelang wafatnya khalifah Umar bin al-Khattab ra.(w. 644). Ayahnya, Yasar, merupakan budak Zaid bin Tsabit ra.(w. 665) yang dimerdekakan, sementara ibunya yang bernama Khairah juga adalah budak yang dimerdekakan oleh Ummul Mukminin Ummu Salamah ra.(w. 680). “(saat ia bayi) kadang ibunya pergi untuk suatu urusan,” tulis Ibn Khallikan dalam Wafayat al-A’yan, “dan Ummu Salamah akan menyusuinya untuk mencegahnya menangis dan untuk mendiamkannya sampai ibunya kembali; disebabkan keberkahan air susu itulah ia (al-Hasan) memiliki kebijaksanaan dan keindahan tutur kata yang membuatnya terkenal di kemudian hari.”

Di usia pra-baligh ia biasa mendengarkan khutbah khalifah Utsman bin Affan ra. (w. 656) dan kadang ia mengunjungi rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Badannya yang mulai tumbuh besar memungkinkannya untuk menyentuh langit-langit rumah yang penuh berkah itu.Ia berjumpa dengan banyak Sahabat Nabi dan berguru pada banyak ulama. Di usia 14 tahun ia meninggalkan kota kelahirannya, Madinah, dan pergi menuju Bashrah. Di kota inilah ia menetap dan mengajar hingga akhir hayatnya, kota yang kemudian disandingkan pada namanya, al-Bashri.

Ia hidup di era peralihan dari masa Khulafa’ al-Rashidin kepada pemerintahan keluarga Umayyah.Pada era ini mulai terpecah kepemimpinan umara dan ulama, semakin terbuka pintu-pintu kemewahan duniawi, dan mulai bermunculan sekte-sekte keagamaan.Hasan al-Bashri tampil memberikan keteladanan pada umat, menyebarluaskan ilmu ke tengah masyarakat, mensucikan jiwa-jiwa manusia dengan nasihat-nasihat bernas yang menggerakkan jiwa. Bahkan majelisnya sempat dikunjungi beberapa rahib Kristen yang menganggap perkataannya seperti perkataan al-Masih dan mereka duduk mendengarkan hingga menangis sesenggukan.


Walaupun ia tidak berasal dari keluarga berdarah biru, tetapi ia meraih capaian yang tinggi berkat ilmu. Ia bukan seorang yang berharta, tapi diakui kedudukannya disebabkan agama. Pernah suatu kali seorang Arab badui datang ke Kota Bashrah dan bertanya pada orang-orang, “Siapa pemimpin (sayyid) kota ini?” Ketika orang-orang menyebut nama Hasan al-Bashri, orang itu bertanya apa sebabnya ia dianggap sebagai pemimpin mereka. “Karena ia tidak memerlukan apa-apa yang ada di tangan mereka (penduduk Bashrah) dari dunia mereka,” jawab orang-orang, “sementara mereka memerlukan apa yang ada padanya dari agamanya.”Orang badui tadi bergumam, “Ini baru pemimpin yang sebenarnya.”

Kharismanya begitu kuat sehingga ketika ada yang baru datang ke kota itu dan bertanya bagaimana cara ia mengenali al-Hasan, al-Sya’bi, seorang ulama lainnya, menyuruhnya pergi ke masjid jami’ (tempat al-Hasan biasa mengajar). “Kalau kamu melihat seseorang yang tak ada seorang pun sepertinya, maka dia itulah al-Hasan.”

Begitulah al-Hasan hidup di tengah penduduk Bashrah, membimbing mereka dengan ilmu dan rasa takutnya yang mendalam kepada Allah, di saat sukar dan di saat mudah, sehingga penduduk Bashrah menyintainya. Saat ia meninggal dunia di tahun 728, penduduk Bashrah berbondong-bondong ikut mengantarkan jenazahnya, sampai-sampai untuk pertama kalinya masjid jami’ kota itu kosong dari solat ashar.

Ujian Pemerintahan yang dzalim

Hasan al-Bashri mengalami masa pemerintahan yang dzalim saat Irak dipimpin oleh al-Hajjaj bin Yusuf (w. 714), sebagaimana ia juga mengalami masa pemerintahan yang adil di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 720) pada masa-masa setelahnya. Hajjaj merupakan gubernur Iraq yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah, memerintah sejak tahun 694 hingga wafatnya di tahun 714. Kepemimpinannya berhasil, tetapi ia juga terkenal dengan kedzalimannya. Tak sedikit ulama dan masyarakat yang merasakan kekejamannya, bahkan mati di tangannya.

Kepemimpinan yang dzalim dan represif biasanya menimbulkan ketidakpuasan yang bisa berujung pada pemberontakan.Ini pula yang berlaku di era al-Hajjaj. Beberapa pemberontakan terjadi dan setiap kali itu pula Hajjaj menindasnya dengan kejam.Di antara pemberontakan serius yang pernah terjadi adalah yang dipimpin oleh Abdul Rahman Ibn al-Asy’at (w. 703/4), salah seorang jenderal Bani Umayyah yang kemudian berbalik melawan kedzaliman pemerintah.

Ibn al-Asy’at melakukan perlawanan militer sekitar tahun 700, tetapi ia dan para pendukungnya akhirnya dikalahkan oleh Hajjaj.Walaupun kebanyakan ulama tidak menyetujui pemberontakan terhadap pemimpin Muslim yang dzalim, sejarah mencatat adanya beberapa ulama yang terlibat atau memberikan dukungan terhadap kalangan tertentu yang melakukan perlawanan militer terhadap pemerintah yang dzalim.

Dalam pemberontakan Ibn al-Asy’at juga tercatat adanya dukungan aktif seorang ulama besar, yaitu Said bin Jubair (w. 714). Banyak ulama lainnya yang berbeda sikap dengannya dalam masalah ini, tetapi tidak ada yang menuduh Said bin Jubair sebagai khawarij atau yang semisalnya disebabkan keterlibatannya dalam pemberontakan tersebut. Said bin Jubair menyembunyikan diri saat pemberontakan gagal dan tertangkap pada tahun kematiannya Hajjaj. Ia berdoa pada Allah agar ia menjadi orang terakhir yang merasakan kedzaliman Hajjaj. Hajjaj pun meninggal dunia beberapa hari setelah eksekusi Ibn Jubair.

Pada masa terjadinya pemberontakan Ibn al-Asy’at, al-Hasan termasuk yang didekati oleh pihak pemberontak agar bergabung bersama mereka.Namun, al-Hasan menolak.Ada beberapa pelajaran menarik yang bisa diambil dari sikap dan nasihat al-Hasan berkaitan dengan masalah ini.

Sebuah artikel mengutip Tabaqat al-Kubra karya Ibn Saad dan menceritakan bahwa beberapa orang meminta fatwa kepadanya untuk melawan Hajjaj sambil berkata, “Wahai Abu Said [panggilan al-Hasan]!Apa pandanganmu tentang (hukum) memerangi orang dzalim ini yang menumpahkan darah dan merampas harta secara tidak sah serta melakukan ini dan itu?”

Hasan al-Basri menjawab, “Saya berpendapat bahwa dia jangan diperangi. Kalau ini [yaitu adanya pemimpin yang dzalim] merupakan suatu hukuman dari Allah, maka kalian tidak akan bisa menghapusnya dengan pedang-pedang kalian. Jika ini ujian dari Allah, maka bersabarlah sampai datang ketetapan Allah, dan Dialah sebaik-baik pemberi ketetapan.” 
DALAM riwayat lain pada kitab Adab al-Hasan al-Bashri karya Ibn al-Jauzi disebutkan bahwa seorang lelaki minta pendapatnya untuk menyertai pemberontakan Ibn al-Asy’at dan al-Hasan melarangnya. Orang itu kemudian menyebutkan tentang sikap tidak suka al-Hasan terhadap Hajjaj sebelum itu.Tentang ini Hasan al-Basri menjawab, “Pada hari ini pandangan saya terhadapnya [Hajjaj] lebih buruk, celaan saya terhadapnya lebih banyak, dan kecaman saya atasnya lebih keras lagi.Tapi ketahuilah … bahwa kekejaman penguasa itu adalah hukuman (kemurkaan) di antara hukuman-hukuman Allah Ta’ala dan hukuman Allah tidak bisa dihadapi dengan pedang. Hendaknya kamu bertaqwa, menolaknya dengan doa, taubat, perubahan (diri), dan meninggalkan dosa-dosa. Jika kamu menghadapi hukuman Allah dengan pedang maka ia akan memotongmu.”
Sikap al-Hasan ini terkesan seperti sikap pasrah terhadap kedzaliman penguasa. Namun sebenarnya, al-Hasan bukannya sama sekali tidak pernah melawan kedzaliman Hajjaj. Ia juga memeranginya dengan ‘pedang’ yang lain, yaitu dengan lidahnya,serta memanahnya dengan ‘anak panah’ yang lain, yaitu dengan doanya. Yang tidak disetujuinya adalah melawan kedzaliman itu dengan pendekatan militer dan kekerasan fisik.Adapun berkenaan dengan nasihat dan kritik terhadap penguasa yang dzalim, maka itu merupakan tanggung jawab ulama dan orang-orang beriman pada umumnya, dan Hasan al-Basri menunaikan tanggung jawabnya ini.
Abul Hasan Ali al-Nadwi menulis dalam bukunya Saviours of Islamic Spirit, vol. 1: “Kekejaman Hajjaj bin Yusuf yang buas dan tak bisa ditoleransi sangat masyhur, tetapi Hasan tidak menahan lidahnya dari mengungkapkan apa yang menurutnya benar dan adil, bahkan di masa pemerintahan Hajjaj.”
Sebuah kisah bisa diangkat sebagai contoh, sebagaimana tercantum dalam Adab al-Hasan al-Bashri.Pada satu kesempatan, Hajjaj membangun sebuah istana dan al-Hasan diundang untuk melihatnya.Saat memasuki bangunan yang indah itu, al-Hasan tanpa ragu menyuarakan kritiknya.Ia menyebutkan tentang seorang penguasa yang membangun benteng yang megah serta memperindah pakaian dan kendaraannya, sampai kemudian ia dikelilingi oleh keburukan. Kemudian ia berkata, “Kami telah melihatnya, wahai orang yang terpedaya. Lalu apa, wahai orang yang paling fasiq? Adapun penduduk langit telah membencimu, sementara penduduk bumi melaknatmu.Engkau membangun istana yang bakal hancur (fana’) dan merubuhkan istana yang kekal.Engkau membangun kekuatan di negeri kesombongan, untuk menjadi hina di negeri kebahagiaan (akhirat).” Setelah itu ia keluar dan pergi.
Hajjaj marah besar saat mendengar tentang hal ini.Ia memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap dan membawa al-Hasan ke hadapannya.
Al-Hasan pun di bawa ke hadapan Hajjaj. Saat ia melangkah memasuki istana, mulutnya komat-kamit membaca sesuatu tanpa suara. Hajjaj kemudian berkata-kata dengan penuh kemarahan pada al-Hasan.Hasan al-Bashri pun menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, wahai Amir [pemimpin]. Sesungguhnya orang yang membuatmu takut yang kemudian membawa kepada keamanan bagimu adalah lebih baik dan lebih engkau sukai daripada orang yang membuatmu merasa aman yang kemudian membawa pada apa yang menakutkanmu…. Dua pilihan ada di tanganmu, kemaafan atau hukuman. Pilihlah yang lebih utama bagimu dan bertawakkallah pada Allah….”
Di luar perkiraan, Hajjaj yang semula garang dan siap menumpahkan darah tiba-tiba merasa malu,berbalik memuliakan al-Hasan,dan membiarkannya pergi tanpa diganggu.
Ada beberapa pelajaran yang biasa diambil dari sikap al-Hasan dalam menghadapi penguasa dzalim ketika itu. Pertama, ia tidak menyetujui penggunaan cara-cara kekerasan serta pemberontakan dalam menghadapinya, karena seringkali hal ini tidak menyelesaikan masalah, malah justru memperkeruh keadaan. Kedua, ia sendiri tidak bersikap ridha terhadap kedzaliman si penguasa. Ia tidak menyembunyikan ketidaksukaan dan celaannya atas perbuatan si dzalim yang memang tercela. Ia juga tidak melalaikan tanggung jawabnya untuk menasihati dan menyampaikan kritik kepada penguasa dzalim tersebut dan tidak menahan dirinya dari menyampaikan kecaman secara terbuka, jika hal itu dilihat sebagai tanggung jawab yang perlu ditunaikannya sebagai seorang ulama.
Ketiga, dan mungkin ini merupakan pelajaran terpenting, al-Hasan melihat munculnya pemimpin dzalim sebagai satu bentuk hukuman dari Allah kepada umat. Dengan kata lain, ada kesalahan di dalam diri kaum Muslimin yang ikut memberikan kontribusi dalam kemunculan pemimpin dzalim tadi. Karena itu, solusi utama yang perlu diambil adalah dengan perbaikan ke dalam diri, bukan dengan jalan memusnahkan penguasa dzalim yang ada di luar sana.
Solusinya adalah dengan bertaubat, menjauhi dosa-dosa, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Saat kedzaliman di dalam diri dihapuskan, hingga Allah ridha akan hal itu, maka kedzaliman yang menimpa umat juga insya Allah akan sirna.
Berbagai cara bisa diupayakan untuk melawan kedzaliman penguasa, tetapi jangan lupakan yang satu ini: evaluasi dan berbenah diri. Karena boleh jadi kedzaliman penguasa yang bermaharajalela di luar sana hanyalah bayang-bayang dari kedzaliman yang ada di dalam jiwa-jiwa hamba. Dan boleh jadi pemecahan masalah yang sesungguhnya justru datang dari dalam diri sekumpulan hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Tuhannya.
Ini bukanlah satu bentuk fatalisme atau sikap pasif atas kesulitan yang menimpa, melainkan satu pendekatan spiritual dalam menyelesaikan persoalan yang ada.Pendekatan ini tersembunyi dan merupakan satu jalan yang sunyi.Namun dampak yang diberikannya mungkin lebih berbunyi, walaupun tiada yang mampu mendeteksinya.
Oleh sebab itu, saat mengalami kesusahan karena kedzaliman penguasa, teruslah berjuang untuk melakukan perubahan. Tetapi, jangan lupakan apa yang dipesankan oleh al-Hasan, “Hendaknya kamu bertaqwa, menolaknya dengan doa, taubat, perubahan (diri), dan meninggalkan dosa-dosa.

Alwi Alatas
Penulis mudir PRISTAC, Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok

No comments: