Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Prod DR Hermanu Joebagio, lahir di Madiun, 3 Maret 1956. Dia adalah guru besar Sejarah Politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Menyelesaikan program doktornya di UIN Sunan Kalijaga dengan disertasi bertajuk "Politik Islam di Kasunanan Surakarta" pada 2010.

Dalam wawancara ini, Hermanu memaparkan fakta liatnya jaringan ulama di selatan (pedalaman) Jawa. Menurut dia, meski terus-menerus ditekan, misalnya dengan peristiwa pembantaian ulama semasa Raja Amangkurat I dan peristiwa kekalahan Pangeran Diponegoro, jaringan ini malah semakin solid dan kuat. Bahkan, semenjak dahulu jaringan ulama ini sudah terkoneksi dengan jaringan ulama internasional.

Wawancara ini (judul sebelumnya: 'Mengalir Bersama Sungai Santri Bengawan Solo') kami muat kembali dengan masksud merespons perkembangan isu soal keislaman dan juga dengan maksud memberikan pencerahan kepada publik. Pesannya, penyebaran Islam di Nusantara itu jelas bukan hal mudah. Tantangan politik kekuasaan selalu hadir dan berkelindan. Bukan hanya itu, tantangan sosialnya juga bukanlah perkara gampang untuk ditundukkan.

==============

Sebenarnya dari manakah asal usul jaringan ulama yang ada di selatan Jawa Tengah, atau yang memanjang dari Pacitan sampai Cilacap?

Menurut saya, asal jaringan itu berasal dari ‘satu pohon’, yakni bermula dari Maulana Malik Ibrahim (hidup pada masa awal Wali Songo sekitar abad 15 M) yang berada di Jawa Timur itu. Jadi, asal usul pemikiran pesantren berasal dari sana. Lalu, kemudian berkembang. Tapi, Islam di Jawa sudah ada sejak abad ke-10, 11 M (sedangkan Islam tiba di Sumatra sudah ada sejak abad ke-8 Masehi).

Tapi, patut diketahui Islam masuk ke Indonesia itu ada dalam dua versi. Pertama, versi Islam yang masuk ke Sumatra, dan satu versi lainnya masuk dari Campa ke Jawa. Inilah yang harus dipertimbangkan bahwa ketika Cina dan Campa masuk ke Jawa, Islam di Jawa mempunyai dua kultur, yakni kultur Arab, Cina, dan Jawa. Tiga kultur ini menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat yang ada di pesisir selatan Jawa itu. Inilah yang harus dipahami dahulu karena memang ada perbedaan masyarakat Jawa yang tinggal di pantai utara dan selatan tersebut.

Masyarakat Jawa yang tinggal di utara itu egalitarian dan kosmopolitan. Ini berbeda dengan yang di selatan. Nah, ketika Demak runtuh, masyarakat pun pindah ke pedalaman yang berada di selatan, yakni mendirikan kerajaan di Mataram Islam di Kota Gede. Jadi, ketika berada di sana, kultur Islam yang ada tidak lagi egaliter dan kosmopolitan, tetapi menuju masyarakat yang tertutup dan feodal.

Lalu jaringan ulamanya seperti apa?
Dari jaringan ulama yang tersebar itu adalah jaringan ulama yang berasal dari Giri (Sunan Giri) sebagai kelanjutan dari Maulana Malik Ibrahim tersebut. Dan kalau dibuka berbagai manuskrip,  terlihat bahwa jaringan ini pernah dihancurkan oleh Sunan Amangkurat I dan II. Namun, meski luluh lantak, jaringan ini ternyata tidak padam. Ulama yang berhasil lolos dari pembantaian itu kemudian pergi mengembara atau berkelana ke berbagai wilayah yang ada di selatan Jawa Tengah itu, seperti ke Purwokerto, Banyumas, Kedu Selatan, dan sekitarnya.

Nah, isi jaringan inilah yang tumbuh begitu kental dan sangat liat ketika menyebarkan Islam dan kemudian juga ketika mereka melawan penjajah Belanda. Selain itu, jaringan ini juga punya kecenderungan berani melawan raja atau penguasa yang pro-Belanda. Kalau sudah seperti itu, apa yang dikatakan Peter Carey itu benar bahwa bila semenjak dahulu itu Solo adalah pusat Islam.

Bukan hanya itu, orang-orang Yogyakarta ketika belajar Islam juga ke kota itu. Bahkan, Solo pernah punya raja yang sangat kuat Islamnya (sangat santri), yakni Paku Buwono IV. Raja ini pernah menginginkan menghapus perjanjian antara Paku Buwono III dan Belanda ketika ayahnya itu wafat. Nah, saat hendak membatalkan perjanjian itu, dia memanggil semua ulama yang selama ini berada dalam jaringan keraton. Jumlah ulama keraton ini banyak sekali. Mereka tersebar dan tinggal di sepanjang tepian Bengawan Solo. Namun, sayang usaha ini gagal.

Maka, kalau kita lihat dalam Babad Pakepung, di sana ada satu episode di mana para ulama itu harus dihancurkan oleh Hamengku Buwono I, Mangkunegoro I, dan oleh Belanda. Ajaran Islam dan jaringan ulama ditakuti karena dianggap berbahaya dalam konteks politik persaingan kekuasaan kolonial saat itu.

Apakah jaringan ulama itu juga membentuk berbagai pesantren?
Iya, memang begitu dari dahulu ulama-ulama itu selalu membentuk pesantren-pesantren. Di sepanjang Sungai Bengawan Solo yang membentang serta bermuara di dekat Surabaya itu berdiri banyak sekali pesantren. Jadi, Sungai Bengawan Solo bisa dikatakan sungainya para santri. Nah, Paku Buwono IV sering belajar di berbagai pesantren tersebut. Misalnya, dia pernah ‘nyantri’ di Pesantren Bekonang. Sikap santri raja ini ditunjukkan dengan selalu memakai jubah putih ketika berada di keraton.

Namun, usaha yang dilakukan Paku Buwono IV menyatukan Mataram gagal. Dan, dia kemudian diminta Belanda membunuh enam ulama utama keraton. Ketika itu terjadi, dia merasa telah mengalami kegagalan total. Menyadari kekalahan itu, dia kemudian berpikir bahwa satu-satunya jalan agar di kemudian hari bisa mewujudkan cita-citanya, dia menyatakan harus mendirikan pesantren, yakni Pesantren Jamsaren yang letaknya di sebelah selatan Keraton Solo.

Jadi, di sini para raja semenjak dahulu selalu memainkan politik agama sebagai suatu kekuatan. Dan, ini tidak hanya dilakukan Pakubuwono IV, tapi juga pihak raja lain, seperti Mangkunegara II yang hidup sezaman dengannya (awal 1800 M). Dalam buku Catatan Harian Prajurit Wanita Jawa Mangkunegara yang diterjemahkan Ann Kumar, diceritakan  kekecewaan orang Islam atas tragedi yang dialami Paku Buwono IV. Menurut catatan itu, para santri yang empati dan simpati kepada Raja Pakubuwono IV kemudian mengembara untuk menggalang kekuatan.

Tak hanya terjadi pada saat Paku Buwono IV bertakhta, tekanan terhadap jaringan ulama di selatan Jawa Tengah itu terus terjadi pada masa berikutnya. Contohnya, kemudian munculnya dalam Perang Jawa (1825-1830) tersebut. Juga pada masa Indonesia modern, yakni zaman Orde Baru, kekuatan ulama di Solo juga kembali ditekan. Situasi ini pun pada masa reformasi itu kemudian meledak menjadi kerusuhan.

Kalau begitu, jaringan ulama itu eksis mulai kapan?
Saya kira jaringan ulama di selatan Jawa itu eksis sejak Raja Amangkurat II menghancurkan semua pusat keilmuan yang ada di pesantren. Kesolidan ini makin bertambah setelah raja ini —dan kemudian disusul penggantinya— ingin melakukan proses sekularisasi. Sikap ini jelas berbeda sikap dengan leluhurnya, yakni Sultan Agung, yang justru selalu bersikap baik kepada para ulama. Dunia pesantren —terutama pesantren di Kajoran dan Tembayat— malah kemudian berkembang menjadi pusat kekuatan yang yang selalu berseberangan dengan keraton.

Jadi, sebenarnya kalau dilihat pusat-pusat pesantren di selatan Jawa, sejak zaman dahulu memang punya sejarah radikal. Itulah yang selalu menjadi problem hubungan Islam dan kekuasaan di Jawa (khususnya di Jawa Selatan). Semenjak dahulu kala sudah terfriksi dengan kekerasan atau konflik antara agama dan pihak penguasa.

Kalau begitu, bagaimanakah pesantren kemudian terus bisa eksis meski berkali-kali  dihancurkan oleh penguasa?
Melalui gerakan ‘bawah tanah’, terutama ketika mereka diberikan hak mengelola wilayah sendiri (tanah perdikan). Dan, di sini sebenarnya semenjak dahulu juga ketika terkait dengan politik kekuasan raja yang secara tersamar sebenarnya selalu membutuhkan kekuatan Islam atau ulama yang ada di berbagai pesantren. Jadi, atas jasa serta posisinya yang strategis, kemudian seorang ulama diberi tanah perdikan untuk memberikan suplai ekonomi kepada pesantrennya.

Namun, ketika kekuasaan itu mentok saat bernegoisasi dengan kekuatan ulama, pesantren itu dijadikan sasaran untuk dihancurkan. Namun di sini, bukan pihak raja yang langsung  meruntuhkannya, melainkan melalui tindakan militer oleh Belanda. Jadi, raja dalam soal ini memakai cara ‘nabok nyilih tangan’ (memukul dengan meminjam tangan orang lain —Red).

Bila melihat kenyataan ini, kerap ulama itu berusaha mencari situasi ekuilibrium politik agar mereka bisa tetap eksis. Dan, sebagai cara agar para raja dan ulama tetap bisa menjaga hubungan harmonis antarkeduanya,  munculah sosok mediator yang berasal dari para aristrokat (kaum bangsawan) yang pernah belajar di pesantren. Para aristokrat santri inilah yang kemudian menjadi pengurai masalah ketika muncul problem antara raja dan para ulama. Jadi, di sini kadang tercipta hubungan benci tapi rindu, ketika ada persoalan mereka bisa kompak, tapi ketika tak ada soal malah kerap berkonflik.

Bagaimana kemudian cara jaringan ulama terus membesar?
Para santri yang kemudian dianggap pintar dalam agama banyak yang direkrut pihak keraton dan kemudian diberi tanah perdikan untuk mendirikan pesantren. Di sana kemudian jaringan mereka terus menyebar secara luas. Misalnya, ulama Banyumas yang ada di bagian barat dari dulu sangat erat hubungannya dengan Keraton Solo (di samping juga ada juga pengaruh dari ulama Jawa Timur). Pengaruh ulama ini malah sangat mewarnai wajah kekuasaan keraton itu. Dan, jangan lupa pula jaringan penikahan antara putri raja dan putra ulama pesantren yang dari dulu sudah terjadi, semakin mengokohkan serta meluaskan pengaruh jaringan ulama itu.

Jadi, tak hanya para bangsawan yang punya darah biru, para ulama yang ada di wilayah selatan Jawa Tengah pun punya darah yang sama. Harap diketahui, Raja Paku Buwono I ibunya adalah orang pesantren. Begitu juga Raden Mas Mutahar (Pangeran Diponegoro) yang juga punya ibu dari anak seorang ulama berpengaruh. Di sini, selain terjadi kawin-mawin antaranak pesantren, anak kiai dengan santri, para ulama juga melakukan hubungan perkawinan dengan para keluarga raja. Hubungan ulama dan keraton ini terus berkelindan dan seiring berputarnya zaman kemudian memintal jaringan yang kuat.
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Prof DR Hermanu Joebagio, Guru Besar Sejarah Islam UNS.
Lalu kapan hubungan antara pesantren dan keraton terputus?
Yang memutus adalah kekuatan kolonial Belanda, seusai kekalahan Diponegoro dan munculnya era tanam paksa, hubungan itu merenggang. Pada saat yang sama, raja pun sebenarnya tak punya kekuatan politik yang signifikan lagi. Posisinya digantikan oleh para patih dan adipati yang merupakan wakil pemerintah kolonial Belanda.

Nah, ketika para bupati tersebut punya kekuatan politik, antaranak mereka saling melakukan hubungan perkawinan. Setelah era itu, yakni setelah tahun 1830 dan seiring dimulainya masa tanam paksa, tak ada lagi anak raja (bangsawan) yang menikahi anak ulama. Jadi tahun 1830 merupakan titik poin dari keruntuhan relasi antara dua kekuatan, yakni ulama (pesantren) dan raja (keraton). Dan, situasinya masih tegang sampai sekarang.

Kalau begitu, bisa dikatakan peran dan posisi politik bernilai penting dalam penegakan eksistensi jaringan ulama?
Memang demikian. Ini tecermin dari situasi sosial antara tahun 1830-1870 ketika terjadi situasi yang sangat kacau di Jawa. Bahkan, kekacauannya bisa disebut endemik. Selama kurun itu terjadi pemberontakan yang terus-menerus meski skalanya kecil. Dan, yang melakukannya adalah para santri di pesantren. Dan selama kurun itu, pihak yang menjadi mediator tumbuhnya konflik adalah para aristokrat (bangsawan) yang dulu pernah ditugaskan raja untuk belajar di pesantren.

Penyebaran pengaruh pesantren dan kaitannya dengan kekuasaan di Jawa itu bisa terlihat dalam Serat Centini. Di sana tersirat dengan jelas bahwa setelah penghancuran kekuatan ulama pada masa Raja Amangkurat, kekuatan ulama malah makin kuat dan luas, bukan malah melemah dan hilang.

Bagaimana dengan jaringan internasional yang ada di selatan Jawa Tengah itu, sebab di desa Somalangu Kebumen ada pesantren yang sudah sangat tua dan punya hubungan jaringan dengan Yaman dan Makassar?
Sejak peristiwa Palihan Negari tahun 1755, posisi Makkah mempunyai intervensi terhadap Islam Indonesia. Bila sebelum itu hubungan Makkah dan Islam di Jawa hanya sekadar relasi, mulai saat itu hubungan keduanya telah masuk secara sangat kuat dalam soal politik. Di situ karena Abd Al-Shammad Al Palimbani sudah mengirimkan surat untuk mengingatkan kepada Paku Buwono III, Hamengku Buwono I, dan Mangkunegoro I  agar ketiga raja ini melakukan ‘perang sabil’ melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Jadi, fakta ini mengonfirmasi bahwa para mufti di Makkah saat itu sudah punya pikiran bahwa Belanda atau bangsa Eropa akan menghancurkan Islam. Dan, mulai saat itu tarekat mengalami proses radikalisasi sebagai sarana melawan kekuatan penjajah. Maka, dalam konteks politik tarekat tak mistik lagi, tapi menjadi sangat rasional.

Maka, bila di pesantren tua di Kebumen dikeahui sejak akhir 1400-an M punya relasi dengan dunia internasional, memang begitu keadaannya. Relasi internasional itu malah sifatnya kini sudah kuat sekali. Dan, jaringan itu terus berhubung satu sama lain, bahkan sampai detik ini ulama tetap terhubung dengan ulama-ulama bukan tak hanya Yaman, melainkan Arab Saudi, Mesir, Sudah, dan Maroko.

Apa risikonya?
Risikonya adalah mudah tersebarnya ideologi transnasional. Dan, ini susah dihentikan karena jalinan jaringannya sudah sangat lama dan mengakar. Maka untuk mencegahnya, haruslah datang dari kaum Muslim sendiri, yakni bagaimana menerapkan ajaran Islam secara kontekstual, bukan tekstual.

Pemerintah pun harus pula memberikan sarana dan perhatiannya. Jangan biarkan pesantren dan kaum Muslim terus hidup merana. Berdayakan mereka dan lepaskanlah dari kepenatan hidup serta kemiskinan. Bantulah pesantren sebaik mungkin.

Harus diakui, sampai kini di wilayah selatan Jawa Tengah itu saya melihat Islam sebagai kekuatan yang tidak pernah diberdayakan oleh negara. Bahkan, Islam kerap dimusuhi seperti pada zaman Soeharto yang lebih memilih mengakomodasi kekuatan militer dan Cina. 

No comments: