Melacak Jejak Mante

Melacak Jejak Mante
TIM liputan khusus Harian Serambi Indonesia bersama anggota Indonesia Off-road Federation (IOF) Aceh dan Radio Antar Penduduk (RAPI) Aceh melihat lokasi yang diduga tempat munculnya makhluk misterius di kawasan perbukitan Desa Siron Blang, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Senin (3/4).

Sepertinya, inilah tantangan di awal abad ini. Bisakah orang memberi kata pasti, apakah benar suku Mante, yang semula hanya mengisi legenda sejarah itu, masih ada di zaman ini?

Heboh besar tentang isu ini bermula ketika belum lama berselang media sosial menyiarkan temuan sosok misterius. Ada yang menyebut penampakan itu merupakan suku Mante yang melintas di sekitar hutan Krueng Jreue, Aceh Besar.

Orangpun berdecak, kagum. Banyak yang mau tahu kebenarannya. Dan, dengarlah, begitu banyak pula yang ‘mengarang-ngarang’, menambah bumbu cerita. Sehingga sulit menyimpulkan di manakah kebenaran dan di mana pula kebohongan. Sehingga sampai hari ini kisah orang Mante yang sejak semula penuh misteri menjadi semakin misterius. Andai pun demikian, adanya perhatian Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa dan jajarannya yang berniat melakukan penelitian, sedikit memberI harapan. Namun, keberadaan suku Mante yang sejak berabad-abad lampau menjadi bagian dari kronika sejarah, dapatkah diperjelas pada masa sekarang?

Liputan Khusus Serambi hari ini mencoba menelusuri jejak literatur dan menghimpun cerita-cerita mengenai itu. Sebuah tim juga diturunkan Serambi untuk meneliti kembali hutan seputaran Krueng Jreue di Aceh Besar. Konon, di tempat itu, menurut kisah para pengendara sepeda motor, ada penampakan sosok misterius yang kemudian berkembang dugaan sebagai orang Mante. Hanya sekilas, lalu lenyap ke dalam hutan, tanpa bekas. Peristiwa itu terekam video para pemotor. Lalu, tersiarlah ke mana-mana, menembus cakrawala virtual.

Setelah itu, berkembanglah pertanyaan, apakah di tengah kehidupan modern seperti sekarang ini masih tersisa sosok kehidupan primitif dalam aroma kepurbaan?

Begitulah awal ceritanya, sehingga sekitar 40 tahun yang lalu, Sjamsul Kahar, wartawan senior Serambi Indonesia ‘menyusup’ dalam dua kali ekspedisi menyisir pedalaman Aceh. Kisah ekspedisi itu pernah ditulis dalam laporan Mencari Jejak Mante di pedalaman Aceh. Agaknya laporan itu menjadi masukan penting sekarang ini, karena itulah Serambi mendaur ulang tulisan tersebut.(*)

Ekspedisi ke Masa Lampau
Inilah perjalanan paling membekas. Kisahnya ditulis kembali, meskipun 40 tahun telah berlalu. Lintas kenangan ini, terangkai dari dua kali ekspedisi. Tentu saja, berupa napak tilas dari dua kali perjalanan ke pedalaman Aceh yang pernah diikuti dalam kisaran tahun 1976.

Adalah Ir Sutami, Menteri PU zaman itu, Gubernur Aceh A Muzakir Walad, lalu berselang waktu kemudian Gubernur Aceh Prof Dr Ibrahim Hasan menjadi orang penting yang tercatat dalam ekspedisi itu. Luar biasa! Kedua ekspedisi itu niscaya ibarat perlawanan menantang alam. Mobil-mobil yang berkekuatan besar harus menerobos hutan belantara, mendaki gunung, bertarung dengan maut di bibir jurang Leuser.

Begitulah, yang namanya jalan, dan jembatan dari Takengon ke Blangkejeren zaman itu, sama sekali memang belum ada. Karenanya, dalam memoar Ir Sutami disebutnya sebagai lintasan yang paling mengerikan di dunia. Itulah kawasan Aceh Tengah, Gayo Lues nan sejuk permai di negeri Antara.

Ekspedisi itu, ibarat membuka lembar sejarah. Lintasan yang berjarak kurang lebih 140 km itu adalah sisa jalan pasukan kuda militer Belanda pimpinan J.B. Van Heutsz dan Van Daalen. Jalan kuda itu dibangun sekitar tahun 1893 dan telah menelan ribuan nyawa manusia. Di sanalah belantara hutan yang lebat. Bukit-bukit batu mengitari pergunungan. Lalu lihat,jurang-jurang terjal dan nun jauh di bawah sana terhampar lembah hijau dan sungai Lawe Alas.




Ekspedisi itu memang sedang menuju ke masa depan dengan cita-cita besar membangun jalan dan jembatan yang sesungguhnya. Tapi saat itu penulis membayangkannya sebagai perjalanan menuju masa lampau. Ingin dicari, di manakah dalam celah-celah sejarah ini, misteri suku Mante mengambil tempat?

***

Ketika mobil yang membawa wartawan berhasil tembus ke Ise-ise, cerita tentang Mante mulai terkuak. Pemilik sebuah gubuk yang juga menjadi kedai dengan ramah mulai menjawab. “Manusia Mante? Dulu saya pernah melihat. Mereka turun dari gunung sana,” ujarnya sambil menunjuk.

Tapi cerita itu tak sepenuhnya berlanjut. Si tukang warung saat itu hanya melihat orang-orang Mante. Setelah tahu terperogok manusia lain, secepat kilat mereka lari masuk ke hutan. “Tapi kalau mau tau cerita yang lengkap, tanya saja sama Aman Darus pengangkut jangkat. Darus dan teman-temannya sesekali bisa berpapasan dengan orang Mante di jalan, bahkan mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat,” tambahnya.

Pengangkut jangkat biasanya akan melintas di Ise-ise. Mereka membawa barang-barang kebutuhan untuk para pemukim. Biasanya dibarter saja. Pengangkut jangkat bergerombol. Atau setidaknya, ada dua tiga orang. Mereka adalah pria-pria tangguh. Sangat cekatan dan penuh energi untuk menembus hutan dan gunung.

Seibarat dengan pawang hutan, pengangkut jangkat hafal lika-liku di sepanjang lintasan. “Baru kemarin Aman Darus lewat menuju arah Blang Kejeren,” ujar si tukang warung. Biasa, tambah si tukang warung, pembawa jangkat akan kembali lewat di sini sekitar empat hari mendatang. Harapan bertemu dengan Darus lenyap sudah. Kami harus bertolak meninggalkan Ise-ise menyusul rombongan menteri yang sudah lebih dahulu menuju Blang (sebutan untuk Blangkejeren, Red). Lagi pula, begitu kata si tukang warung, kalau ingin ke Blang harus lebih awal, sebelum air sungai Ampar Kolak meninggi. Jadi, kami tak mungkin menunggu Darus.

Warung di Ise-ise itu, satu-satunya persinggahan sepanjang perjalanan menuju Blangkejeren. Dulu, kedai itu adalah bekas bivak Belanda sebagai pos Kompi Pasukan Marsose. “Saya pernah bertugas di sana sampai dua tahun,” ujar J.H.J. Brendgen, Kolonel pensiunan Marsose, pada suatu hari di Banda Aceh.

Brendgen belakangan menjadi Ketua Yayasan Peutjoet yang mengurus kompleks pemakaman Belanda di Banda Aceh. Dialah yang membuka cerita tentang suku Mante dan seluk beluk kehidupan di lembah Leuser itu. Dalam masa tugas itu, Brendgen pernah melihat orang-orang Mante. Mereka terlihat kerdil, sering disebut sebagai orang kate. Hidup mereka liar dan primitif, tapi tidak buas.

Brendgen menuturkan hal itu, pada awal tahun 70-an. Waktu itu saja dia tidak yakin, apakah suku Mante itu masih ada, apalagi mereka hidup nomaden suka berpindah-pindah. Walhasil, penuturan Brendgen tinggal di bivak Ise-ise ditelan oleh sejarah.

Ketika mobil kami sampai di tepi sungai Ampar Kolak, nasib memang lagi tidak baik. Air sungai sedang meninggi dan mengalir deras, tak mungkin diseberangi. Jika ingin menyeberang, tak ada jalan lain, mobil harus masuk ke sungai, merayap sampai ke seberang. Tapi kondisi petang itu tidak memungkinkan. Kami harus menanti air sungai surut. Para pencari rotan yang juga akan menyeberang, menuturkan air biasanya surut setelah dua jam ke depan. Artinya, bisa jadi sehabis Magrib.

Menyeberang Ampar Kolak, adalah juga bagian yang mendebarkan dari perjalanan ini. Air yang begitu deras, sempat menyeret posisi mobil yang sedang ‘berenang’. Tapi, akhirnya kami selamat. Mobil sampai ke seberang, meskipun harus mengarungi kubangan lumpur dan hutan ilalang.

Ketika mobil semakin dekat ke Blang, Alhamdulillah ada orang yang menjemput. Kami dipandu sampai ke sebuah bangsal yang diterangi oleh lampu petromak. Panitia menyediakan makanan seadanya. Nasi yang sudah dingin, sayur kol, ikan asin, dan sambal. Suatu hal lagi yang tak bisa dilupakan adalah hidangan itu harus dimakan sambil menyingkirkan laron yang berterbangan di bawah cahaya petromak.

Malam itu kami tertidur pulas keletihan. Besok paginya baru kami tahu bahwa kami tidur di atas meja-meja kayu tanpa alas. Untung ada bantal yang sudah mengeras, itulah persediaan yang ada, dan Alhamdulillah, kami tertidur nyenyak.

Pagi itu, menjadi sangat penting artinya. Setidaknya, sebagai jawaban untuk ekspedisi ke masa lampau. Di sebuah warung kopi saya bertemu dengan pak Gurfen, pawang hutan yang kaya dengan berbagai pengalaman. Pak Gurfenlah yang menuturkan tentang kehidupan orang Mante itu.

Suku itu, sangat sulit ditemui. Mereka hidup berpindah tempat, dari hutan yang satu ke wilayah gunung yang lain. Biasanya mereka memilih tempat di lembah-lembah pinggiran sungai. Penciumannya sangat tajam. “Saya pernah mengintip kehidupan mereka, kebetulan saya berada di tempat yang melawan angin,” ujar Pak Gurfen. “Tapi mereka bisa tahu juga, dalam sekejap mereka menghilang. Gerakan cepat sekali, menggendong anaknya sambil berlari melompat-lompat semirip kijang,” ujar dukun besar itu.

Waktu itu, Gurfen bertemu di kawasan hutan tak berapa jauh dari Kampung Badar. Mereka menghilang. Tapi lama kemudiannya Gurfen bertemu dengan mereka di kawasan Isaq. Tubuh orang Mante pendek-pendek, tapi kekar dan tegap. Makanannya buah-buah hutan dan jenis sayur yang ada. Mereka juga memakan ikan dan ayam hutan. Terkadang ada juga yang makan jenis daging yang dibakar. Namun makanan mentah juga mereka libas saja.

Mante yang perempuan, kulitnya biasa saja. Tidak berbulu seperti kaum laki-laki. Mereka umumnya menutup bagian vitalnya dengan daun-daun. Khusus yang perempuan menutupnya dengan rajutan ilalang. Tapi Pak Gurfen tak pernah tahu bahasanya. Yang pernah didengar, mereka suka mengeluarkan suara seperti burung-burung, suara lutung, atau semirip suara lolongan srigala.

Bagaimana mereka berkomunikasi sesamanya, tak bisa dijelaskan. “Saya kira suara-suara primitif yang mereka bunyikan, sekarang telah lenyap ditelan sejarah. Saya, sudah lama tidak bertemu mereka,” kata Gurfen, pada hari itu dalam tahun 1976. Itu lama sekali sudah! Akankah mereka dicari?

No comments: