Misteri Raden Fattah, dalam pusaran konflik menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit ?

Dalam upaya meningkatkan hubungan baik dengan kelompok Islam, Maharaja Majapahit Sri Adi-Suraprabhawa (1466-1468), mengangkat Raden Fattah sebagai Pecat Tandha di Bintara, yakni pejabat bawahan adipati Demak.
Tidak lama diangkat sebagai Pejabat Kerajaan Majapahit, Raden Fattah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Agung di Bintara Demak. Pendirian Masjid ini, ditandai candra sengkala, “Naga Mulat Salira Wani”, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.

Konflik Keluarga Majapahit
Pada tahun 1468 M, terjadi huru hara di Ibu Kota Majapahit. Sri Adi Suraprabhawa tidak kuasa melakukan perlawanan. Dengan tubuh penuh luka, ia mengungsi menuju Daha, namun ia mangkat di perjalanan.
Pengganti Sri Adi Suraprabhawa adalah keponakannya bernama Bhre Kretabhumi. Pengangkatan Bhre Kretabhumi, ternyata mendapat banyak penolakan. Mereka yang menolak diantaranya Ario Damar (Ario Dillah), Adipati Palembang dan Dyah Ranawijaya, putera Sri Adi-Suraprabhawa.
Konflik semakin meruncing, ketika tahun 1470 M, Bergota (Semarang) yang merupakan sekutu Palembang, mendapat serangan dari Matahun yang didukung Mataram dan Demak. Akibat serangan ini, Bhatara Katwang Yang Dipertuan Samarang, gugur dan digulingkan dari kekuasaannya.
Penyerangan ini, kemudian dibalas oleh Adipati Palembang Ario Dillah, dengan mengirimkan sekitar 10.000 balatentara, dibantu Raden Patah yang membawa pasukan dari Bintara (Glagah Arum), serta Raden Kusen bersama prajurit dari Terung dan Surabaya, dalam waktu singkat, Bergota (Semarang) berhasil dikuasai.
Kemenangan gemilang ini, menjadi alasan bagi Ario Dillah, untuk mengangkat Raden Fattah sebagai Adipati Demak, untuk menggantikan pejabat lama yang gugur dalam peperangan.

Perebutan Takhta Majapahit
Kekalahan sekutu Bhre Kretabhumi di Semarang, membuat wibawa Maharaja Majapahit semakin merosot. Bhre Kretabhumi kemudian melakukan siasat merangkul lawan dengan mengakui Raden Fattah sebagai adipati Demak, selain itu Raden Fattah dinyatakan sebagai putera angkatnya dan dianugerahi gelar Arya Sumangsang.
Di daerah pedalaman diam-diam sedang terjadi penyusunan kekuatan besar-besaran yang dilakukan oleh Dyah Ranawijaya. Dyah Ranawijaya tidak sekadar berambisi menuntut hak sebagai pewaris takhta Majapahit, tetapi ia juga menganggap Bhre Kretabhumi bertanggung jawab atas kematian ayahandanya, Sri Adi Suraprabhawa.
Pada tahun 1478 M, yang dikenal sebagai “Sirna Hilang Kertaning Bhumi”, Dyah Ranawijaya membawa ratusan ribu tentara dari Daha, melakukan serangan besar-besaran terhadap ibukota Majapahit.
Selama tiga hari tiga malam ibu kota Majapahit dimangsa keganasan perang. Menjelang hari keempat, sejauh mata memandang hanya ada tumpukan abu hitam dan asap tipis yang mengepul di antara mayat manusia.
Dengan binasanya Bhre Kretabhumi serta luluh lantaknya ibu kota Majapahit, Dyah Ranawijaya mengangkat diri menjadi maharaja Majapahit, dan menggunakan gelar kebesaran Sri Prabu Natha Girindrawarddhana.
Peristiwa serangan Dyah Ranawijaya ke ibukota Majapahit ini, sering kali di salah artikan sebagai serangan yang dilakukan Demak dibawah pimpinan Raden Fattah. Padahal putra angkat Bhre Kretabhumi ini sama sekali tidak terlibat dalam peperangan.
Referensi :
1. Majapahit
2. Masjid Agung Demak
3. Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar, tulisan Agus Sunyoto
4. Misteri Pasukan “Lebah Emas”, dalam kemelut kekuasaan Kerajaan Majapahit ?
5.
WaLlahu a’lamu bishshawab

Catatan Penambahan :

1. Berdasarkan manaqib (sejarah), Raden Fattah lahir pada tahun 1448 M bertepatan dengan 1570 Saka. Ibunya dikenal sebagai Dwarawati Putri Campa. Sementara itu, di dalam buku Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara tulisan Slamet Muljana, diperkirakan Putri Champa wafat pada 1448 M. Hal ini bermakna, tidak lama Raden Fattah dilahirkan, ibundanya wafat
2. Berdasarkan tahun kelahiran Raden Fattah, diperkirakan ayahanda Raden Fattah adalah Prabu Kertawijaya. Prabu Kertajaya lahir sekitar tahun 1390 dan memerintah Majapahit dalam periode 1447-1451.
Raden Fattah diungsikan ke Palembang, kemungkinan dikarenakan faktor keamanan dan pengasuhan, dimana Raden Fattah sejak bayi sudah ditinggal oleh ibu kandungnya. Ketika hijrah ke Palembang, Raden Fattah dibawa oleh Ratna Subanci (yang sering disalah pahami oleh sebagian orang sebagai ibu kandungnya).

Ratna Subanci adalah salah seorang selir Kertawijaya, yang setelah diceraikan Kertawijaya kemudian diperistri oleh Adipati Ario Dillah (memerintah Palembang, 1445-1486). Kelak dari perkawinan ini melahirkan Raden Kusen Adipati Terung.
3. Dalam versi yang lain, ayahanda Raden Fattah adalah Penguasa Negeri Champa, dimana akibat kemelut yang terjadi di negeri Champa, istrinya bernama diungsikan ke Majapahit dalam keadaan mengandung.
Berdasarkan catatan Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar dan Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba’alawi, ibunda Raden Fattah bernama Nyai Condrowati binti Raja Brawijaya. Kemungkinan Raja Brawijaya yang dimaksud adalah Kertawijaya, atau dapat juga dikatakan Raden Fattah adalah cucu dari Kertawijaya (sumber : majeliswalisongo).

Dalam naskah Mertasinga, Ratna Subanci (Banyowi) menikah dengan tokoh kepercayaan Ario Dillah bernama San Po Talang (Arya Palembang). Di kemudian hari, San Po Talang juga menikah dengan putri Raden Ario Dillah (sumber : diskusi facebook).

Kisah San Po Talang, yang datang ke Nusantara mencari Sunan Gunung Jati kemungkinan terjadi kekeliruan dan terkontaminasi dengan cerita Pai Lian Bang, yang baru datang ke Palembang, sekitar 30 tahun kemudian.
4. Nama kecil Raden Fatah adalah Raden Hasan, sejak kecil telah mendapat bimbingan dari ayah angkatnya Ario Dillah. Pada saat usia 14 tahun (tahun 1462), Raden Fattah berkelana merantau ke Pulau Jawa dan berguru kepada Kanjeng Sunan Ampel di Surabaya.
Artikel Sejarah Nusantara :

No comments: