Seruan Guru Mansur kepada Rakyat Betawi: ‘Rempuglah’

Pada periode waktu yang sama atau masa yang disebut sebagai era pergerakan nasional, Guru Mansur juga gencar mendesak pemerintah kolonal agar hari Jumat ditetapkan sebagai hari libur bagi umat Islam.
Tanggal 31 Desember 1878, Mohammad Mansur dilahirkan di tanah Betawi, tepatnya di Kampung Sawah (Sawah Lio) atau yang kini termasuk wilayah administratif Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Mohammad Mansur ternyata masih punya pertalian darah dengan wangsa Mataram atau Kesultanan Mataram Islam yang tahun 1628 dan 1629 pernah menyerang VOC/Belanda ke Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645).
Hubungan darah antara Guru Mansur dengan keluarga besar Mataram bisa dirunut dari Raden Abdul Mihit, pendiri Masjid Jami Al-Mansur di Kampung Sawah yang dibangun pada 1717. Raden Abdul Mihit adalah putra Pangeran Cakrajaya (Tjakrajaya) Nitikusuma IV atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Cakrajaya Adiningrat.
Menurut Alwi Shihab dalam buku Betawi: Queen of the East (2004:107), Pangeran Cakrajaya masih terjalin ikatan kekeluargaan dengan seorang Tumenggung Mataram yang ke Batavia untuk terus berusaha melakukan perlawanan terhadap penjajah meskipun jarang menemui keberhasilan.
Raden Abdul Mihit, merasa perlawanan secara fisik tidak cukup efektif karena Belanda memiliki pasukan dan persenjataan yang lebih banyak dan lengkap. Maka itu, ia mencari jalan lain, yakni dengan mendirikan masjid dan menyampaikan ceramah yang menggelorakan semangat umat Islam untuk menentang penjajahan (Shihab, 2004:107).
Nah, ayahanda Mohammad Mansur, yakni Imam Abdul Hamid, adalah cicit Raden Abdul Mihit yang tidak lain merupakan putra Pangeran Cakrajaya dari Mataram itu. Mansur melanjutkan perjuangan leluhurnya dengan bergerak melawan Belanda melalui dakwah yang berpusat di Masjid Jami Al-Mansur Kampung Sawah.
Pergaulan Luas Sang Ulama Besar
Selaras dengan garis takdir keluarganya, Guru Mansur juga bukan ulama sembarangan. Sejak usia 16 tahun, ia sudah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di tanah suci, Mansur juga berguru kepada para ulama besar, termasuk Syaikh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syaikh Umar Bajunaid Al Hadrami, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Said Al Yamani, dan Syaikh Umar Sumbawa.
Mansur memperdalam ajaran Islam di Arab selama 4 tahun. Kemudian pulang ke tanah air dan sempat singgah di Aden/Yaman, Benggala/Bangladesh, Kalkuta/India, Burma/Myanmar, Malaya/Malaysia, juga Singapura.
Di tanah air, Mansur membantu ayahnya berdakwah. Di lingkungan keluarga besarnya, Mansur dikelilingi oleh para ulama besar seperti Syaikh Jumnaid Al- Batawi, KH Mahbub bin Abdul Hamid, KH Thabrani bin Abdul Mugni, H. Mujtaba bin Ahmad, dan lainnya.
Dari sinilah, Mansur menjalin relasi dan berhubungan baik dengan tokoh-tokoh Islam nasional ternama termasuk Syekh Ahmad Syurkati, juga KH Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Muhammad Natsir, KH. Mas Mansur, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, dan masih banyak lagi.
Mansur pernah aktif di Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa-Islam terbesar di Indonesia. Ia sempat menjadi Rais Syuriah NU di Batavia dan mengikuti Muktamar NU ke-3 di Surabaya pada 1928, kemudian mendirikan madrasah NU pada 1930. Tahun 1951, nama madrasah itu diganti menjadi Chairiyah Mansuriyah dan masih eksis hingga kini.
Tanggal 12 Mei 1967 atau setengah abad silam, Guru Mansur wafat dalam usia 88 tahun. Ulama besar panutan umat Islam dan masyarakat Betawi sekaligus pejuang yang gigih membela republik ini adalah kakek buyut dari salah satu ustadz kekinian terpopuler di Indonesia, Yusuf Mansur. []
Sumber: Tirto

Foto: Tirto

No comments: