Ainun Jalut; Meruntuhkan Mitos Kedigdayaan Tartar di Bulan Ramadhan

Kondisi umat yang sedemikian lemah ini tentu sangat memuluskan jalan Tartar menguasai wilayah umat Islam. Jatuhnya wilayah Khawarizmi Syah (617 H) hingga runtuhnya Baghdad (656 H)
 Ainun Jalut; Meruntuhkan Mitos Kedigdayaan Tartar di Bulan Ramadhan PADA awal abad ketujuh Hijriah (603-657), Bangsa Tartar (Mongol) menjadi momok seantero negeri Islam, bahkan dunia pada umumnya. Keganasan dan kebiadaban bangsa yang sedang “naik daun” ini begitu mengerikan dan di luar nalar kemanusiaan. Siapa pun akan dibabat habis oleh mereka.

Pada bulan Pebruari 1258, tentara Mongol  dibawah kepemimpinan Jenderal Hülegü atau Hulagu Khan (Khan pertama dari Dinasti Khan yang menguasai wilayah Persia) melampiaskan kebengisan mereka dan menaklukan wilayah yang dikuasai kaum muslimin di Timur Tengah.

Pada Januari 1260, pasukan Mongol bergerak ke arah barat. Aleppo bernasib sama dengan Bagdad. Pada bulan Maret, Damaskus membuka pintu-pintu gerbangnya bagi orang Mongol dan bertekuk lutut. Tak lama setelah itu, orang Mongol merebut kota-kota di Palestina, yaitu Nablus (dekat situs kuno Syikhem) dan Gaza.

, dan memerintahkan kepadanya agar tidak menghancurkan setiap daerah yang menyerah tetapi sebaliknya membumihanguskan setiap daerah yang memberikan perlawanan.

Dalam perang yang disebut Perang Ain Jalut atau the Battle of Ain Jalut (Spring of Goliath) Hulagu  menaklukkan Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, menaklukkan Kekhalifahan Ayyubiyyah di Suriah dan terakhir menundukkan Kekhalifahan Mameluk di Mesir.


Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut lenyap dibumihanguskan Mongol.

Perpustakaan Baghdad (saat itu Baghdad terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia) yang penuh dengan buku-buku sejarah, kedokteran dan astronomi dan lainnya dijarah dan semua bukunya dilempar ke Sungai Tigris, para saksi mata mengatakan Sungai Tigris berubah warnanya menjadi hitam dikarenakan saking banyaknya buku yang terendam sehingga tintanya luntur.

Khalifah Al-Mus’tasim ditangkap dan disuruh melihat rakyatnya yang sedang disembelih di jalan-jalan dan hartanya yang dirampas. Kemudian setelah itu khalifah dibunuh dengan cara dibungkus dengan permadani dan diinjak-injak dengan kuda sampai mati. Semua anaknya dibunuh kecuali satu yang masih kecil dijadikan budak dan dibawa ke Mongol.

Sejarawan Islam, Abdullah Wassaf memperkirakan pembantaian warga kota Baghdad mencapai beberapa ratus ribu orang. Ian Frazier dari majalah The New York Worker memberi perkiraan sekitar 200 ribu sampai dengan 1 juta orang. (Wikipedia)

Imam Ibnu Atsir (555-630 H) seorang ulama sejarah kenamaan pada masa Abbasiyah, sampai mengatakan bahwa Tartar adalah tragedi besar kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya (Ibnu Atsîr, al-Kâmil fî al-Târîkh, X/333).


Di samping itu, ulama kelahiran Jazirah Ibn Umar (sekarang wilayah Turki) ini sampai berkomentar bahwa kerusakan yang dibuat oleh Tartar tidak ada bandingannya sebelumnya, melainkan setaraf dengan kelakuan Yajuj dan Majuj yang membuat kerusakan besar di akhir zaman. Ciri fisiknya pun sudah dilansir Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sejak lima belas abad yang lalu:

«لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا قَوْمًا نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا قَوْمًا صِغَارَ الْأَعْيُنِ، ذُلْفَ الْآنُفِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ»

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian memerangi kaum yang mengenakan sandal dari rambut. Dan tak akan terjadi hari kiamat hingga kalian memerangi suatu kaum yang matanya sipit, hidung pesek dan wajah mereka seperti tameng untuk perang.” (HR. Abu Daud).

Dalam al-Qur`an sendiri mereka (Yajuj wa Majuj) meiliki dua indikator. Pertama, hobinya membuat kerusakan (QS. Al-Kahfi [18]: 94). Kedua, mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi (QS. Al-Anbiya [21]: 96). Kalau melihat kompas, arah tinggi adalah atas. Sedangkan yang atas (dalam kompas) adalah: utara. Barangkali mereka adalah bangsa dari arah utara yang bermata sipit. Wallahu alam. Yang jelas, indikator itu tersebut dalam al-Qur`an. Saat itu, Tentara Mongol seakan dianalogikan sebagai Yajuj dan Majuj pada zamannya yang hobinya merusak dan datang dari arah utara yang bermata sipit. Dengan demikian, potensi demikian bisa jadi akan selalu ada sampai Yajuj wa Majuj sebenarnya muncul di akhir zaman.

Al-Muwaffaq Abdul Lathif juga berkomentar cukup pedas terhadap bangsa yang dirintis Jengis Khan ini, Seolah-olah mereka tidak menginginkan harta benda dan kekuasaan. Yang mereka inginkan hanyalah genosida spesies manusia. (Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-Alâm, 43/27). Bagaimana tidak ganas, hobi mereka adalah membunuh dengan sangat sadis. Pembunuhan yang tidak pandang bulu. Kakek-kakek, ibu-ibu, anak-anak dan orang dewasa menjadi sasara kebiadaban mereka. Kepala manusia ditumpuk hingga membentuk piramida, ibu hamil perutnya dibedah dan dikeluarkan bayinya dan kekejaman lainnya







Kondisi Internal Umat Islam
Tampilnya Tartar di panggung sejarah dunia sampai dimitoskan menjadi bangsa digdaya, bukanlah terjadi sekonyong-konyong. Selain faktor eksternal berupa hasutan tentara Salib terhadap Jengis Khan untuk menghancurkan eksistensi Islam melalu tangan tentara Mongol, di tubuh internal umat Islam sendiri kondisinya juga begitu memprihatinkan. Sebab, umat Islam hanya bisa dikalahkan ketika kekebalan tubuh internal mereka lagi menurun dan rentan.
Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku Qishshatu al-Tatâr min al-Bidâyah ilâ Ain Jâlût (2006: 376-386) mendiagnosa sepuluh penyakit akut yang menggerogoti tubuh umat kala itu.
Pertama, tidak memiliki identitas (kepribadian) Islam yang jelas. Kedua, perpecahan umat Islam. Ketiga, gaya hidup mewah dan terpesona dunia. Keempat, meninggalkan etos jihad. Kelima, mengabaikan persiapan materil militer. Keenam, krisis keteladanan (kepemimpinan). Ketujuh, adanya para pemimpin berwala (loyal) dan bekerjasama dengan musuh-musuh umat Islam. Kedelapan, frustrasi. Kesembilan, menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Kesepuluh, ketiadaan musyawarah.
Kondisi umat yang sedemikian lemah ini tentu sangat memuluskan jalan Tartar menguasai wilayah umat Islam. Jatuhnya wilayah Khawarizmi Syah (617 H) hingga runtuhnya Baghdad (656 H) sebagai bukti nyata bahwa penyakit-penyakit yang mendera umat Islam sedemikian kronis. Kemenangan berturut-turut ini tentu saja membuat Tartar besar kepala dan jemawa sehingga menyebar mitos bahwa Mongol adalah bangsa digdaya yang tidak mungkin dikalahkan. Bahkan, bangsa yang mendengar nama Tartar, sudah ciut lebih dulu.
Runtuhnya Mitos Kedigdayaan Tartar di Bulan Ramadhan
Setelah berhasil membumihanguskan Baghdad (atas kerjasama dengan Menteri Syiah Muayyiduddin Alqami), destinasi serbuan selanjutnya adalah Mamalik Mesir. Sebelum serbuan Tartar (dibawah pimpinan Kitbugha) dilancarkan, mereka mengirim utusan untuk menggertak dan menakut-nakuti Dinasti Mamalik. Mengingat dinasti Mamalik pada waktu itu dipimpin oleh Sultan berusia belia. Namanya: Nuruddin Ali. Dengan terpaksa Saiduddin Quthz mengambil alih kendali untuk menghadapi serbuan Tartar.
Menghadapi ancaman demikian, Saifuddin Quthz sama sekali tidak gentar. Malahan, utusan itu dibunuh karena dianggap sebagai spionase Kitbugha untuk menyerang Mamalik. Tentu saja perbuatan Saiduddin ini membuat orang Tartar naik pitam dan akan segera melakukan penyerbuan. Dalam kondisi demikian, kita bisa melihat bagaimana kepiawaian figur Saifuddin Quthz ini. Sultan yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Muhammad Khawarizmi Syah ini dengan cekatan menstabilkan kondisi masyarakat.
Beliau membuat langkah-langkah strategis: bersinergi dengan ulama (waktu itu menggaet ulama kawakan Izz bin Abdussalam yang berusia 80 lebih), menyatukan umat, membesarkan jiwa mereka, menggalang dana (dimulai dari sendiri dan pejabat), menyulut kembali ruh hihad, dan taktik perang yang sangat cerdas. Sultan Saifduddin memilih strategi menyerang, dan memilih Ainun Jalut sebagai medan pertempuran. Menariknya, beliau bukanlah tipikal pemimpin yang pandai berkoar, tapi turung langsung ke medan perang yang membuat semangat umat ikut berkobar.
Pada akhirnya, mitos kedigdayaan Mongol (yang menjadi negara adikuasa dalam waktu yang cepat dan singkat), seketika runtuh pada 25 Ramadhan 658 Hijriah atau bertepatan dengan 6 September 1260 Masehi. Ramadhan menjadi momentum luar biasa yang semakin memupuk perjuangan mereka. Bulan agung ini mengingatkan mereka pada pertempuran Badar Kubra, Fathul Makkah, Pembebasan Andalusia dan lain sebagainya. Lawan yang dihadapi Mongol kali ini, sama sekali berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya. Dinasti Mamalik memiliki pemimpin yang kuat, persatuan umat yang mantap, serta didukung dengan ulama rabbani yang tidak takut mati. Dalam jiwa mereka hanya ada dua kemungkinan: hidup mulia atau mati syahid. Maka tidak mengherankan jika kemenangan gemilang bisa digapai mereka. Wallâhu alam.

Mahmud Budi Setiawan

No comments: