Kisah Tentang Imam Syafi’i, Imam Besar Kelahiran Gaza

Imam Syafi’i adalah salah satu dari empat imam besar yang warisannya mengenai masalah peradilan dan yurisprudensi hukum Islam. Imam Syafi’i lahir di kota Gaza di Palestina pada tahun 767 M.
Nama kecilnya adalah Mohammad Ibn Idris.Imam Syafi’i merupakan keturunan keluarga Hasyim dari suku Quraish yang juga menjadi keluarga MuhammadSAW.
Rantai leluhur Imam Shafi’i terdiri dari sebagai berikut: Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i Ibn Saa’ib Ibn Ubayd Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Muththalib Ibn Abd Munaf Qurayshi Muttalibi Hashimi.
Kehidupan Awal
Ayah Imam Syafi’i meninggal di Ash-Sham saat masih kecil. Setelah kematian ayahnya, ibu Imam Syafi’i pindah ke Makkah, saat Imam Syafi’i baru berusia dua tahun. Akar keluarga ibu Imam Shafi’i berasal dari Yaman dan ada juga beberapa anggota keluarga di Makkah, tempat di mana ibunya percaya dan berharap agar dia mendapat perhatian dengan baik.
Imam Syafi’i menghabiskan tahun-tahun awal pembentukan karakternya di Makkah dan memperoleh pendidikan agama di kota-kota di Makkah dan Madinah. Di Makkah, Imam Syafi’i belajar di bawah Mufti Muslim Ibn Ibn Khalid Az-. Dia dibesarkan di antara suku Banu Huzayl di Makakh yang sesuai dengan banyak suku Arab di era itu sangat berpengalaman dalam seni puisi, sebuah tradisi yang disampaikan kepada Imam Syafi’i yang juga menjadi sangat mahir dalam hal itu.
Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan akut. Ini karena ibunya tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Meski begitu, gurunya sangat terkesan dengan kemampuannya sehingga dia menganggapnya sebagai siswa formal dengan biaya tanpa biaya tambahan.
Seperti dilansir Saudii Gazette.com, saking miskinnya, ibunya tidak bisa membelikannya kertas karena keadaannya ekonominya begitu buruk. Alhasil. Sosok remaja Mohammad Ibn Idris terpaksa menggunakan tulang, batu dan daun kelapa untuk menulis tugas belajarnya.
Tapi kekurangan tersebut bukan untuk mencegahnya memperoleh pengetahuan. Mohammad muda Ibn Idris tidak hanya menghafal seluruh teks, tapi juga mampu memahami konteks dan sejarah etimologis yang terkait dengan berbagai ayat Alquran pada usia 10 tahun.
Sedangkan ketika berusia 15 tahun dia telah mampu mengumpulkan kedalaman dan ketelitian pengetahuan ajaran Islam. Melihat kemampuan anak didiknya itu, maka Mufti Makkah pada waktu itu kemudian memberi wewenang kepadanya untuk mengeluarkan fatwa.
Secara kronologis, Imam Mohammad Ibn Idris lahir hamper 57 tahun setelah kelahiran Imam Malik,. Untuk itu, maka karya monumental Hadith Mu’atta dari Imam Malik oleh Imam Syafii atau Mohammad Ibnu Idris pelajari bersama dengan Alqur’an di usia dini seperti yang disebutkan di atas.
Teologi bukanlah satu-satunya keahliannya, namun Imam Syafi’i juga mahir mengajar tentang puisi, linguistik, dan silsilah. Murid-muridnyapun berasal dari beragam disiplin ilmu.
Mengenai siapa yang menjadi guru Imam Syafi’i, di masa asal masa belajarnya pamannya sendiri, yakni Sufyan Ibn Uyaynah Makki salah satu gurunya. Sedangkan para guru lainnya antara lain adalah Muslim Ibn Khalid Zanji, Haatim Ibn Ismail, Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Yahya, Hishaam Ibn Yusuf Sinani, Marwan Ibn Mu’aawiyah, Muhammad Ibn Ismail, Dawood, Ibn Abdul Rahman, Ismail Ibn Ja’far dan Hisham Ibn Yusuf.
Sedangan guru Imam Syafii yang paling terkenal adalah pendahulunya, yakni Imam Malik, pencetus mahzab Maliki yang juga merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran terkemuka dalam Islam.
Jadi, Imam Syafi’i tidak hanya belajar dari buku Imam Malik yang sangat terkenal, Mu’atta sejak usia dini, namun seperti yang dilansir beberapa orang, dia juga mendapat kehormatan saat berada di kota Madinah, untuk belajar langsung di tangan tuan mazhab pemikiran itu.
Setelah berguru ada ulama terkemuka, maka Mohammad Ibn Idris (Imam Syafi’i) kemudian melanjutkan untuk memunculkan aliran pemikirannya sendiri yang sekarang dikenal mahzab Syafi’i .
Kontribusi paling penting dari Syafi’i kepada badan akademis pengetahuan Islam adalah pembentukan dasar-dasar yang kuat tentang prinsip-prinsip fikih Islam. Pemikirannya mengenai ajaran Islam itu kemudian diwujudkan dalam sebuah buku penting, yakni karya Al-Risala yang dianggap oleh banyak orang sebagai karya akademis terpenting di bidang ini., yakni pinsip-prinsip fikih Islam.
Pada zamannya, saat itu pemikiran Imam Syafo’i dibenak banyak orang saat itu sebagai ‘ajaran revivalis’. .Proses cara kajian penelitiannya adalah dimulai dengan mencari makna harfiah dari sebuah ayat Alquran dan kemudian beralih ke hadits terkait (tradisi Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu kemudian berkembang menjadi sebuah konsensus pendapat semua orang terpelajar yang berkumpul (Ijma) yang menerapkan penalaran dengan analogi (Qiyas).
Setelah mengkaji soal fiqih, Imam Syafi’i juga dinobatkan sebagai pelopor gagasan untuk membuat perbedaan antara aplikasi peradilan mengenai pertimbangan hukum (Istihsan) dan penalaran hukum murni dengan analogi (Qiyas).
Sedangkan terkait dengan kemurahan hati Imam Syafi’i terjadi dalam banyak peristiwa. Salah satunya kisahya yang terkenal adalah terkait dengan kemurahan hatinya di bulan Ramadhan saat dia hendak pindah ke Makkah.Saat itu, kalau perjalanannya sampai di perbatasan Makkah, dia terkejut dengan kehidupan warganya yang sangat miskin. Keadaan ini berbanding terbalik dengan posisi dirinya yang bisa dibilang cukup kaya karena dia mempunyai uang hingga 10.000 dirham. Uang sebanyak itu merupakan jumlah uang yang sangat besar pada masa itu.
Melihat kesengsaraan itu hati Imam Syafi’i pun terketuk. Dan tak tanggung-tanggung dia kemudian memberikan seluruh uangnya itu, sampai-sampai dia harus meminjam sejumlah uang di Makkah untuk membiayai hidupnya sendiri.
Sikap kedermawanan Imam Syafi itu ternyata dia contoh dari karakter Nabi Muhammad SAW. Rupanya Imam Syafi’i selama ini telah bertekad mencontoh tindakan Rasullah yang selalu memberikan pakaian, makanan, dan uang secara ekstensif di bulan Ramadhan.
Sampai akhir hayatnya, imam Imam Syafi’i berada di perkumpulan orang terpelajar. Dilaporkan dia pun menghabiskan hari-hari terakhirnya di sebuah lembaga pendidikan yang dikelola Abdullah Ibnul Hakam, seorang sarjana terkenal pada masanya.
Imam Syafi’i diperkirakan meninggal usia 54 tahun, pada sebuah hari Jumat di bulan Rajab di tahun 204 H (820 M). Gubernur Mesir waktu itu mengakui keunggulan akademisnya dengan tidak hanya menghadiri pemakamannya tapi benar-benar memimpin doa-doa sewaktu pemakaman tersebut. Tempat peristirahatan terakhir Imam Syafi’i diperkirakan berada di kaki perbukitan gunung Mukatram.(kl/rol)
Penulis: Muhammad Subarkah (Redaktur Republika Online

No comments: