Hijrah; Api Sejarah yang Tak Boleh Padam

Para ulama pensyarah hadits menjelaskan: "Jika sebuah negeri telah berubah menjadi kawasan Islam, maka hijrah fisik tidak wajib lagi hukumnya"
Hijrah; Api Sejarah yang Tak Boleh Padam
Dijadikannya Muharram sebagai awal penanggalan dalam Islam, karena di dalamnya ada momentum tepat yang layak direnungkan dan semangat yang patut diabadikan dalam sejarah, yaitu peristiwa hijrahnya Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dari Makkah ke Madinah.
Inilah yang melatar belakangi Khalifah ‘Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anh menjadikannya titik tolak penentuan awal bulan Hijriyyah. Walaupun data lain menyebutkan, hijrahnya kaum Muslimin terjadi awal bulan shafar sebagaimana informasi Al-Manshurfuri yang dipetik Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiqul Makhtum.
Api sejarah dan spirit perjuangan yang tetap harus menyala; peristiwa hijrah benar-benar menginspirasi setiap insan yang sadar akan tanggung jawabnya dalam menggali dan memelihara mutiara-mutiara terpendam yang terkandung di dalamnya.
Di antara percikan ‘ibrah dan hikmah itu, menurut para ahli sierah adalah:
Pertama, kesabaran dan keteguhan hati dalam mempertahankan cita-cita sekalipun kesulitan dan rintangan datang silih berganti.

Kedua, adanya kesediaan berkorban dalam segala hal; mulai dari korban kesenangan diri, korban perasaan, korban harta benda, korban rumah tangga dan bahkan adakalanya meminta pengorbanan fisik.
Ketiga, yakin adanya harapan, yaitu cita-cita dan kemauan yang tak pernah lelah, tidak kenal kata mundur, apalagi putus asa, dan selalu memiliki jiwa optimisme.
Dr. M. Abdurrahman Baishar, sebagaimana dipetik Allaahu yarham M. Yunan Nasution (Tokoh Masyumi) dalam Mutiara Hijrah, bahwa ada banyak mutiara terpendam dalam peristiwa hijrah yang mencerminkan kesiapan fisik dan mental untuk melakukan perubahan; bersedianya berkorban demi mempertahankan ‘aqiedah melukiskan kemantapan iman yang bersemi dalam jiwa panutan ummat Rasul dan para shahabatnya, resiko penderitaan yang dialami dikarenakan hijrah merupakan wujud keberanian yang luar biasa dalam menegakkan agama Alloh, jiwa yang suci dan pikiran yang jernih merupakan manifestasi hubungan yang dekat antara hamba dengan Tuhannya, kemenangan yang diraih kaum Muslimien merupakan buah yang dipetik dari langkah-langkah perjuangan (khittah) yang selama itu meteka lakukan serta hancurnya kebatilan menjadi symbol perlawanan ahlul haq dalam mengikis nilai-nilai kejahiliyahan dan peperangan melawan kemungkaran.
Semua itu menunjukkan, betapa hijrah memiliki arti ma’nawy yaitu berlaku abadi sepanjang masa.
Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hijrah belum berakhir sehingga berakhirnya taubat, dan taubat tidak akan berakhir sehingga matahari terbit dari sebelah Barat.” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 17030 dan Abu Daawud dalam Sunan 2/ 337 no. 2479 Bab Fil Hijrah Hal Inqatha’at dari shahabat Abu Hindun al-Bajalli dan Mu’awiyah radhiyallaahu ‘anhumaa)
Muhammad ‘Abdullah al-Khathib dalam Min Fiqhil Hijrah memberikan komentar: “Ucapan Rasulullaah ini mengisyaratkan bahwa hijrah dalam arti luas tanpa dibatasi waktu, berlaku sepanjang zaman dan sudah merupakan sunnatullaah bagi manusia. Adapun dalam maknanya yang khusus, seperti halnya hijrah dari Mekkah ke Medinah dan kembali lagi membebaskan Makkah dari cengkraman musuh-musuh dakwah. Inilah yang dikenal peristiwa Fathul Makkah“.
Setelahnya Kota Makkah kembali aman dan stabil, maka terhapuslah kezhaliman di negeri ini, maka tidak ada lagi hijrah melainkan bagaimana memelihara semangat jihad (ruuhul jihaad) dan ketulusan niat. Para ulama menyebut hijrah fisik ini dengan sebutan hijrah hitsiy atau badaniy.
Para ulama pensyarah hadits menjelaskan: “Jika sebuah negeri telah berubah menjadi kawasan Islam, maka hijrah fisik tidak wajib lagi hukumnya. Karena tetapnya hukum wajib hijrah, apabila di sebuah negeri seorang Muslim tidak dapat lagi menunaikan agamanya.” (Musthafa Sa’ied al-Khan dan Musthafa al-Bugha, Nuzhatul Muttaqin, 1992: 22).
Dalam tutur katanya yang populer, Nabi bersabda: “Tidak ada hijrah setelah dibebaskannya Kota Mekkah, melainkan kesungguhan dan niat. Apabila kalian diperintahkan bersungguh-sungguh untuk berperang, berangkatlah kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Shahabat ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anh).
Semoga spirit itu masih menyala lapangkan jalan amal seiring dengan batu ujian (ibtilaa) yang akan terus ada. Wallaahul musta’aan.*/H.T. Romly Qomaruddien, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah

No comments: