Mengenang ‘Gulja’s Massacre’ 5 Februari 1997

Aksi pembantaian aparat China ini menewaskan lebih 100 orang, 4000 ditangkap dan dari jumlah itu, 200 orang menghadapi hukuman mati Mengenang ‘Gulja’s Massacre’ 5 Februari 1997
Youtube: Gulja Massacre

KEMARIN , tanggal 5 Februari 2019 di mata kebanyakan masyarakat muslim Indonesia adalah hari yang biasa saja. Hari selasa sebagaimana selasa-selasa lainnya, menjalankan rutinitas masing-masing entah itu pedagang yang sibuk dengan dagangan ataukah para anggota tim sukses paslon pilpres dari kedua kubu yang juga semakin gencar menjual ’dagangan’nya menjelang April 2019 nanti.
Tanggal biasa yang tak begitu berarti, mengingat di Indonesia tidak ada peristiwa besar yang patut diingat atau perayaan yang harus dirayakan.
Namun berbeda di Istanbul, banyak masyarakat Turki dan diaspora Uighur berpartisipasi pada sebuah acara khusus berjudul; “Şubat Şehıtler Gecesi” (Malam Syuhada Februari) digelar di daerah Zeytinburnu (salah satu distrik di Istanbul) tepatnya di gedung Kültür ve Sanat Merkezi (Culture Convention Centre/Gedung Pertemuan milik distrik Zeytinburnu).
Organısasi Pemuda Turkistan Timur (New Generation of East Turkistan Movement), Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Turkistan Timur (Maarif Institute for Sosial and Research) bersama beberapa ormas dan lembaga wakaf masyarakat Uighur yang diaspora di Istanbul bertindak sebagai penyelenggara acara besar ini dengan bantuan dari elemen masyarakat Turki yang menyayangi dan membantu mereka layaknya Anshar dan Muhajirin di era Nabi Muhammad ﷺ.
Hedayatullah Oğuzhan selaku pimpinan umum persatuan semua lembaga dan aktivis Uighur di Turki dan Eropa membuka acara ini dan menekankan soal perjuangan HAM masyarakat muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang harus tetap disuarakan dan tetap berlanjut hingga akhir.
Acara berjudul; “Şubat Şehıtler Gecesi” (Malam Syuhada Februari) digelar di Zeytinburnu (ISTIMEWA)
Acara peringatan tersebut diisi oleh beberapa penampilan pembacaan puisi, dzikir dan doa untuk para syuhada’ korban dan juga kesaksian nyata dari korban yang masih hidup dan acara tambahan lainnya.
Perhelatan akbar itu berjalan penuh hikmat dan dipenuhi oleh sesak tangis yang tak lagi berlinang air mata karena bola mata mereka sudah ‘kering’ akibat lamanya dan beratnya penderitaan dan diskriminasi puluhan tahun.
Hari itu begitu amat berbeda dalam ingatan umat Islam non Indonesia, yaitu etnis Uighur ataupun masyarakat Turkistan Timur (Xinjiang, China Barat), khususnya penduduk muslim di Kota Gulca (dibaca; Gulja, nama Chinanya adalah Yining). Merujuk kepada sebuah tragedi yang menyisakan pilu amat dalam bagi mereka di tahun 1997.
Muslim Indonesia hampir dipastikan banyak yang tidak tahu-menahu soal pelanggaran berat HAM yang terjadi di daerah yang jauhnya ribuan kilometer dari Indonesia ini. Bisa jadi, nasionalisme terkadang berpotensi menjadikan seorang muslim kurang aware terhadap persoalan ataupun musibah yang menimpa saudara muslim lain di luar negara dan wilayah nasionalisme suatu bangsa.
Saat itu, pada tanggal 5 Februari 1997 di kota Gulca ada sebuah kerusuhan yang bermula dari protes masyarakat yang menyuarakan tuntutan HAM, terutama soal kebebasan beragama.
Kala itu ribuan orang Uighur berkumpul untuk melakukan aksi damai di Kota Ghulja di prefektur Ili di Turkestan Timur sebagai tanggapan atas agresi Tiongkok yang terus menerus dan larangan organisasi sosial Uighur, yang dikenal sebagai Mäshräp, kegiatan berkumpul untuk acara budaya.
Namun pihak aparat keamanan China justru menjawab aksi damai tersebut dengan dhalim dan sadis hingga menelan korban yang tak bersalah dalam jumlah besar. Aparat China bersenjatakan lengkap menghujani dan membrondong masyarakat sipil yang didalamnya juga banyak terdapat anak-anak, wanita dan lansia dengan timah panas secara brutal dan ganas.



Aksi ini dibatalkan oleh pasukan keamanan China yang menewaskan sedikitnya lebih 100 orang dan banyak lainnya terluka. Sebanyak 4000 ditangkap dan dari jumlah itu, 200 orang menghadapi hukuman mati, kutip laporan World Uygur Conggres (WUC), Februari 2017.
Channel 4 News yang berpusat di Inggris menurunkan sebuah investigasi dan tajuk berita terkait kejadian naas ini. Di awal mula pemberitaannya, mereka juga menjelaskan bahwa diskriminasi dan pelanggaran HAM berat telah dan senantiasa dilakukan pemerintah China terhadap masyarakat Xinjiang yang mayoritasnya adalah muslim etnis Uighur.
Korban tewas pembataian Gulja 1997, Youtube: Gulja Massacre
Masa lalu daripada wilayah Xinjiang ini pun turut menjadi salah satu faktor atas represi yang dilakukan China. Xinjiang adalah sebuah wilayah independen dan dulunya adalah sebuah negara Islam yang bernama Republik Islam Turkistan Timur. Namun dianeksasi oleh China pada zaman berkuasanya Mao Zedong.
Lebih jauh, wartawan Channel 4 News ini mewawancarai salah satu warga Uighur di Gulca terkait kekerasan dan kegilaan represif aparat China di Gulca tahun 1997 tersebut. Banyak bukti temuan atas pelanggaran berat HAM dalam tragedi ini. Pemenjaraan yang banyak berujung kepada maut lantaran berat dan pedihnya penyiksaan serta eksekusi puluhan aktivis yang ditengarai sebagai dalang dari aksi damai tersebut di depan khalayak dilakukan China.
Kemudian, situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah China dengan dalih ancaman keamanan untuk semakin menzhalimi dan melanggar hak-hak asasi masyarakat Xinjiang pada umumnya dan bukan hanya daerah Gulca.
Di Kashgar banyak wanita dan anak-anak dan bahkan lansia dipenjara dan mengalami penyiksaan di penjara. Masyarakat pun untuk amat sangat tertekan dan takut, bahkan sekedar berkumpul lebih dari 4 orang saja tak berani.
Pasca musibah pembantaian ini, China masih terus melakukan kontrol keras terhadap populasi Uighur bahkan sering mengakibatkan pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil serta penangkapan sewenang-wenang terhadap ribuan orang setiap tahun.*/Reza, mahasiswa Istanbul University program TÖMER.
Investigasi Lapangan Anggota Kongres Nasional RRC
Sebanyak 4000 ditangkap dan dari jumlah itu, 200 orang menghadapi hukuman mati, kutip laporan World Uygur Conggres (WUC)

Lembaga Amnesty International pun mengecam dan menghimbau kepada pemerintah China untuk bertanggung jawab dan mengakui kezhaliman mereka pada peristiwa ini, namun China tak bergeming dan justru menyalahkan para demonstran sebagai biang keladi.
Amnesty International merilis sebuah laporan investigasi lapangan dengan kode arsip ASA17/001/2007 yang dilakukan oleh seorang wanita uighur dari anggota Kongress Nasional Republik China bernama Rebiya Kadeer.
Rebiya Kadeer yang saat ini hidup di Amerika dalam pengasingan ini pun turun langsung dan melakukan investigasi di sana untuk menguak fakta di balik peristiwa. Beliau tiba di Gulca tepat 2 hari pasca peristiwa, yaitu pada tanggal 7 Februari 1997 pagi dan setelah beberapa saat beliau berhasil menemui 30 keluarga Uighur sebagai saksi dan korban yang kurang lebih berjumlah 100 orang totalnya.

Aksi damai umat Islam justru disambut dengan pembantaian
Beliau langsung menemui salah satu sahabat uighurnya di sana dan di sore harinya ia diajak untuk berkunjung ke rumah milik muslim uighur lain yangmana diketahui bahwa 2 anaknya telah dibunuh saat aksi damai 5 Februari beberapa saat lalu. Anak gadis orang tersebut pun juga ditangkap dan tidak diketahui bagaimana kondisinya dan dimana rimbanya.
Tepat di saat Rebiya hendak mewancarai keluarga tersebut, tiba-tiba saja personal militer China dan polisi mendobrak masuk dan menjambak orang tersebut lalu menendang dengan kuat, menghantamkan laras sepatunya. Semua diteriaki agar menunduk dan angkat tangan.
Rebiya yang mencoba untuk berbicara dengan baik pun tak dipersilakan untuk bergerak ataupun bicara. Rebiya dilucuti pakaannya dan diperiksa. Kemudian setelah tak ditemukan apapun, pakainannya pun dikembalikan. Rebiya diberitahu oleh militer tersebut untuk pergi ke kantor keamanan terdekat bila ingin mengetahui info terkait.
Ia pun bergegas ke kantor polisi. Bukan jawaban yang ia dapatkan tapi justru untuk tidak menginvestigasi ataupun mendatangi rumah lainnya ancaman serta perintah pergi dari Kota Gulca secepatnya. Bila bersikeras, ia akan dijadikan pihak yang bertanggungjawab atas setiap warga yang akan dibunuh setelah menjadi informan kesaksiat untuknya dan bahkan bisa jadi dirinya sendiripun akan dibunuh bila kondisi semakin memburuk.
Setelah itu Rebiya keluar dari kantor polisi, di jalan ada seseorang misterius yang secara cepat melempar sebuah kertas di depannya. Dipungutnya kertas itu dan tulisannya meminta Rebiya mengunjungi pemukiman bernama Yengi Hayat. Rebiya pun bergegas ke sana dan ia dapati banyak sekali rumah-rumah terbuka pintunya dan tak ada satupun orang di dalamnya. Meja makan masih utuh dengan makanan dan hidangan. Ia coba meengetuk satu persatu rumah di sana, akan tetapi banyak yang kosong.
Rebiya akhirnya bertemu seorang muslim dari etnis Hui yang menceritakan bahwa kebanyakan tetangga Uighurnya dibunuh pada saat demonstrasi dan diangkut dengan truk tentara China.
Rebiya meminta muslim Hui ini untuk menunjukkan warga Uighur di situ yang masih ada, namun ia enggan karena mereka semua menghindar menggigil ketakutan. Akhirnya dia menunjukkan Rebiya seorang wanita sepuh muslim Uzbek berumur 60 tahun.

Wanita Uzbek ini bersikap santai meskipun ia tahu bahwa Rebiya diikuti dan diawasi oleh keamanan China. Ia pun mempersilakan Rebiya masuk dan menyuguhkan teh sembari bersaksi atas apa yang terjadi pada 5 Februari 1997 beberapa hari lalu.
Ia mengatakan bahwa polisi dan militer membawa banyak sekali jenazah, dan korban luka pukulan ataupun tembakan dalam muatan sesak truk tentara ke penjara di Yengin Hayat namun ia sama sekali tak melihat ada yang keluar dari sana.
Wanita Uzbek ini menjelaskan ada sekitar 1.000 an muslim Uighuryang dijebloskan penjara padahal penjara Yengin Hayat ini hanya berkapasitas 500 orang saja. Ia bersaksi bahwa banyak korban dikubur di tempat pembuangan sampah dan dibawa keluar kota agar tak tercium keberadaannya.
Rebiya pun menemui warga lain bernama Abdushukur Hajim yang menyaksikan demo damai itu dari kejauhan dan tidak ikut aktif di dalamnya. Ketika di rumahnya, Rebiya pun ditangkap kembali oleh pihak kepolisian dan Rebiya tetap saja kekeuh untuk melanjutkan investigasi.
Akhirnya pada penangkapan terhadap dirinya yang ketiga kali, ia diancam dan dihancurkan mentalnya dengan diperlihatkan footage video berisikan penyiksaan, penganiayaan brutal dan gila terhadap masyarakat muslim Uighur di Gulca. Ia melihat film horror itu dengan bergidik ngeri. Ia melihat bagaimana polisi dan militer China membawa anjing-anjing ganas meranggas badan para demonstran baik itu anak-anak maupun wanita. Kemudian, banyak anak kecil yang tersungkur dengan serangan gil anjing ganas tersebut. Hal itu diperparah dengan tembakan senjata pasukan keamanan.
Beberapa masih hidup, dan sebagian demonstran mati di tempat.
Video itu juga menampilkan adegan naas lainnya. Seorang gadis muda Uighur yang lari dan berteriak “Semetjan” memanggil manggil seorang lelaki yang sedang sekarat dan berlumuran darah diseret dalam bak truk tentara China. Ketika ia mendekat ke truk maka aparat China menembak dengan tepat kepala gadis muda ini dan menjambak rambutnya lalu melemparkan jasadnya ke truk tersebut di samping jasad lelaki yang ia teriaki tadi.
Dalam footage video lainnya ia juga diperlihatkan adanya tank di jalanan, dan penembakan terhadap bayi Uighur berumur 5-6 tahun dan seorang ibu-ibu yang menggendong anak. Ia melihat ada tiga macam tentara dengan seraga dan senjata berbeda. Rebiya melihat juga ada tentara yang berteriak; “Tembak ! Tembak !” Namun salah seorang tentara lainnya menimpali, “Jangan tembak!
itu China atau Uighur ? Jangan sentuh warga dari etnis China, tapi bunuhlah Uighur !”
Rebiya pun setelah mengalami penangkapan beruntun oleh pihak militer China Di Gulca pada saat investigasinya itu pun pulang ke Urumqi. Sepuluh hari pasca kepulangannya dari Gulca tersebut, ia didatangi oleh seorang wanita dan dua orang pria asal Gulca yang ingin memberikan laporan dan kesaksian nyata. Hal ini mereka lakukan lantaran mereka melihat bahwa China tidak hanya menzhalimi para demonstran saja tapi ke semua masyarakat Gulca. Salah satu dari ketiga orang tersebut pun menceritakan bahwa keanggotaan ayahnya dalam partai Komunis sebagai partai petahana pun tak menjamin keselamatan diri dan keluarganya. Maka dari itu ia bertekad memberikan kesaksiannya atas kekejaman China pada peristiwa 5 Februari 1997 itu sebelum ia diseret juga oleh China.
Ini adalah secuil saja dari fakta pelanggaran HAM yang amat berat yang dilakukan oleh pemerintah China. Adapun yang belum terkuak tentu jauh lebih mengerikan pastinya. Belum lagi dengan peristiwa lainnya seperti 5 Juli 2007 di Urumqi dan perlakuan-perlakuan lainnya sejak aneksasi China atas Turkistan Timur di tahun 1949 ini.
PBB dan semua negara di dunia harusnya ikut bertanggung jawab untuk mengusut tuntas dan memberikan intervensinya terkait kezhaliman dan kebiadaban China di Xinjiang.
“Sudah dua puluh tahun sejak para pemrotes Uighur yang damai turun ke jalan-jalan Ghulja untuk memprotes pembatasan keras terhadap keyakinan agama mereka dan diskriminasi terbuka yang dilakukan otoritas Tiongkok. Namun, dalam intervensi selama dua puluh tahun itu, alih-alih mencari cara untuk menangani keluhan Uighur, para pejabat Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan penindasan yang dihadapi orang-orang Uighur biasa, ”kata Direktur Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) Omer Kanat dalam sebuah pernyataan saat peringatan 20 tahun pembantaian Ghulja sebagaimana dikutip Turkistantimes,Februari 2017.
“Sampai negara China menerima perannya dalam pelanggaran HAM berat, kematian Ghulja akan tetap menjadi noda pada sejarahnya,” tambah Kanat.
Mengingat dunia sudah memasuki era globalisasi dan perdamaian pasca perang dunia kedua, adalah aib kemanusiaan di abad ke-20 jika pelaku kejahatan berat ini tidak segera di usut dan diberikan solusi demi tegaknya keadilan.*/Reza, mahasiswa Istanbul University program TÖMER

No comments: