Iskandar Muda Penguasa Selat Malaka

SULTAN Iskandar Muda yang berkuasa selama hampir tiga dekade (1607-1636) dan berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaannya
Iskandar Muda Penguasa Selat Malaka
KETUA DPRA, Tgk Muharuddin berziarah ke Kompleks Makam Iskandar Muda di Baperis, Banda Aceh, Rabu (1/8). 
Oleh M. Adli Abdullah
Peue ka taköt prang Yahudi
Nibak Nabi asay mula
Peuekatakot prang sabi
Teuntee (tuan Teu) Ali neuböh panglima
Bak si uroe raja meuprang
Malem Dagang neuboh panglima.

SULTAN Iskandar Muda yang berkuasa selama hampir tiga dekade (1607-1636) dan berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaannya, wafat pada 29 Rajab 1046 H bertepatan 27 Desember 1636 M. Ketokohan Iskandar Muda bukan hanya dikenang oleh masyarakat Aceh. Sultan juga tokoh yang tak akan dilupakan dalam sejarah Asia Tenggara. Tindakannya mengukuhkan kedaulatan Islam dan memersatukan Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dari ancaman kolonialisme barat di Asia Tenggara terus tercatat dalam memori sejarah.
Hikayat Malem Dagang (H.K.J Cowan, De Hikajat Malém Dagang: Atjèhsch heldendicht, Leiden: Koninklijk Instituut voor de Taal Land-en Volkenkunde van Nederl. Indië, 1937) mengisahkan perang melawan kolonialisme barat ini dengan bait syair berikut: Peue ka taköt prang Yahudi, Nibak Nabi asay mula. Peue ka takot prang sabi, Teuntee (tuan Teu) Ali neuböh panglima. Bak si uroe raja meuprang, Malem Dagang neuboh panglima (H.K.J Cowan: 1937: 38).
Satu demi satu negeri di Selat Malaka ditakluki oleh Iskandar Muda karena negeri-negeri ini berkawan dengan musuh, baik itu Portugis maupun Belanda. Sehingga menyebabkan penduduk Aceh sudah berkurang karena perang yang mencapai 132 tahun dengan Portugis, dimulai sejak kedatangan Portugis ke Pedir pada 1509 hingga Malaka ditawan oleh Belanda pada 1641.


Perang Aceh-Portugis
W Linehan seorang sejarawan Asia Tenggara dalam bukunya tentang Pahang, A History of Pahang, W Linehan: 1936) menulis tentang peristiwa Perang Aceh dengan Portugis ini sebagai berikut: “The whole territory of Acheh was almost depopulated by wars. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. Having ravaged the kingdoms of Johor, Pahang, Kedah and Deli, he transported the inhabitants from those places to Acheh, to the number of twenty-two thousand persons.” (Seluruh Aceh telah mengalami kekurangan penduduk karena perang. Sultan menakluki Johor, Pahang, Kedah, dan Deli. Dia mengangkut penduduk negeri tersebut ke Aceh berjumlah dua puluh dua ribu orang).

Usaha Sultan Iskandar Muda ini menyatukan Sumatra dan Semenanjung ini bertujuan: Pertama, menguasai Selat Malaka; Kedua, menguasai semenanjung seperti Johor, Pahang, Perak, Kedah dan Patani agar tidak dikuasai oleh Portugis dan Belanda, sehingga ancaman penjajah barat terhadap dunia Islam di Asia Tenggara dapat ditangani;
Ketiga, menyerang Portugis dan merampas Melaka, bahkan Iskandar Muda mengirim 20 ribu tentara untuk mengusir penjajah Portugis di Melaka, walau akhirnya gagal. Banyak dari tentara Aceh yang dikirim ini syahid dan dikebumikan di bukit Cina, termasuk ulama kharismatik Aceh saat itu Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani yang syahid pada Senin, 12 Rajab 1039 H/1627 M. Makamnya masih terawat hingga kini yang berlokasi di kampung Ketek, tidak jauh dari makam beliau terdapat makam Panglima Pidie. Mereka ini syahid dalam melawan Portugis dan pengkhianat bangsanya;
Dan, keempat, menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk eksport ke Eropa melalui pelabuhan Bandar Aceh. (Anthony Reid, Introduction: A New Source for Seventeenth Century Aceh, dlm Takeshi Ito (ed), Aceh Sultanate: State, Society, Religion and Trade The Dutch Sources, 1636-1641, Leiden: Brill, 2015: 2).
Selama menjadi Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-penjajahan asing dan sikap ini tampak terwujud di dalam menghadapi bangsa-bangsa asing yang datang ke Aceh. Ia selalu bersikap tegas dan berwibawa sebagai raja dari sebuah kerajaan “merdeka”.
Kerja keras beliau membangun perekonomian Aceh unggul sebagai pusat perdagangan yang diperhitungkan di Asia Tenggara dengan menguasai Selat Melaka, setiap kapal dagang yang lewat Selat Melaka wajib berhubungan dengan Kerajaan Aceh, yang berada di mulut Selat Melaka ini. Posisi Aceh ini kemudian digantikan oleh Pulau Pinang dan Singapura yang dikuasai oleh Inggris dan Batavia (Jakarta) yang dikuasai oleh Belanda setelah posisi Aceh melemah.

Perlu belajar
Ada hal yang menarik kita perlu belajar dari masa lalu: Pertama, Aceh ini memiliki visi pertahanan keamanan yang tinggi. Betapa raja waktu itu sudah memikirkan bagaimana membangun pertahanan kerajaan yang harus didukung oleh posisi negeri maritim sekitarnya. Dengan demikian, membangun maritim tidak terbatas pada daerah yang terbatas, melainkan harus menjangkau daerah yang bisa menyertai dalam pembangunan tersebut.

Kedua, dalam aspek ekonomi sebagai modal dalam pembangunan, tidak dilepaskan dari pertahanan dan keamanan. Hal ini dapat dimaknai sebagai wujud dari menjaga kedaulatan ekonomi dan politik, sehingga keadaan ini yang menampakkan wibawa dan kekuatan bagi bangsa-bangsa lain.
Apa yang menjadi semangat Sultan Iskandar Muda ini, sebenarnya dapat diwujudkan kini dalam membangun Aceh yang terletak di mulut Selat Malaka, seperti Sabang yang terletak di pintu gerbang Selat Malaka. Sabang sudah seharusnya “naik kelas” setelah 17 tahun ditetapkan sebagai pelabuhan bebas Sabang dengan UU No.37 Tahun 2001.
Kenyataannya Sabang masih “tetap jalan di tempat” yang wujud hanya wisata cilet-cilet ala backpacker, walaupun telah ada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), tetapi yang ada hanya sibuk mengurus proyek dan gaji yang wah, bukan menjadikan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Aceh ke depan pascaotonomi khusus dan migas 2027.
Sedih melihat yang ada hanya tulak kisah di media dan sangat memalukan. Marilah di hari ultah Iskandar Muda ini, kita belajar dari semangat beliau mengurus negeri bukan berebut posisi strategis yang ada di Aceh dengan mengabaikan semangat membangun negeri.
Momentum 27 Desember perlu dikenang sebagai hari yang penuh hikmah, atas keperkasaan Sultan Iskandar Muda yang telah berhasil menempatkan Aceh sejajar dengan bangsa-bangsa beradab lainnya sepanjang sejarah. Momentum ini harus mengisi semua memori bangsa Aceh pada masa kini dan ke depan. Supaya generasi Aceh tidak kehilangan identitasnya. Kehilangan identitas suatu generasi sama halnya dengan hilangnya harga diri sebuah bangsa. Nah!
Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL., Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh, Email: bawarith@unsyiah.ac.id

No comments: