Dakwah Tidak Biasa Abah Ali

Dakwah Tidak Biasa Abah Ali Ada pelaku kriminal. Ada pecandu narkoba dan penjudi. Bagaimana berdakwah kepada mereka? SUATU hari Abah Ali (52 tahun) bertemu dengan seorang pelarian. Tidak jelas pelarian apa. Muhammad Ali menolak menjelaskan. “Itu privacy orang,” katanya.
Yang pasti, lanjut Abah, demikian biasa dipanggil, pelarian itu bingung. Abah kemudian mengajak ke rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dia menumpahkan segala persoalannya. Abah rupanya mampu menjadi pelita dalam kegelapan. Satu persatu diurai dan diberi jalan keluar. Beberapa waktu kemudian, pelan-pelan dia berubah menjadi lebih baik. “Atas izin Allah,” Abah menambahkan.
Perubahan itu mengejutkan teman-teman dia. Lalu terjadilah getok tular (cerita berantai). Beberapa kawan dia kemudian mengikuti jejaknya. “Awalnya satu lalu empat dan terus bertambah,” kata Abah yang juga pengasuh Pesantren Ta’amirul Islam Solo ini.

Pendekatan Khusus
Dimulai tahun 2011, sekarang ada sekitar 30 orang. Sebagian besar mereka adalah orang-orang jalanan. Abah menyebut mereka sebagai orang-orang “istimewa”.
Mereka tinggal di rumah Abah, yang disebutnya base camp. Rumah itu tak jauh dari Pesantren Ta’amirul. Tepatnya di Jalan KH Samanhudi no. 3, Solo.
Mereka berasal dari berbagai kalangan, latar belakang, daerah dan masalah.
“Ada yang desersi polisi dan TNI, ada pelaku kriminal mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Ada pecandu narkoba dan penjudi,” jelas Abah.
Mereka datang dari berbagai daerah. Ada dari Solo dan sekitarnya. Ada juga dari Madiun, Lampung, dan Surabaya. Selain itu, dari Kalimantan dan Nusa Tenggara Barat.
Dari sisi umur, sebagian besar 24 tahun keatas dan sudah berkeluarga.
Mereka semua tinggal di base camp tanpa dipungut biaya. Tak sedikit tampilan jamaahnya Abah ini menyeramkan. Banyak yang bertato. Salah satunya ada yang sekujur tubuhnya ditato. Kaki, tangan, badan, kepala dan wajah. Bahkan matanya pun ditato. Namanya Roni Bodak. “Penasaran saja ingin merasakan,” katanya soal matanya yang ditato dalam sebuah tayangan video di medsos.
Untuk membina mental, setiap Senin malam mereka mengaji bersama Abah. Tak hanya mereka, yang datang ke pengajian juga masyarakat Solo lainnya, sehingga jamaahnya meluber hingga jalan raya.
Lalu, apa yang diajarkan?
“Ngaji al-Qur`an,” kata Abah yang pernah lima tahun belajar di Ma’had Al-Haramain, Arab Saudi, miliknya Syaikh Malaky. Namun, ada satu yang ditekankan Abah.
“Saya selalu bilang kepada teman-teman, kalau mau belajar hidup enak, saya tidak tahu. Kalau ingin hidup sukses dan makmur, saya juga tidak tahu caranya. Bukan di sini tempatnya. Anda salah tempat. Tapi jika agar (setelah) mati enak, ayo belajar sama-sama,” jelas Abah, “sebab bukan hanya kalian yang butuh (setelah) mati enak, saya juga butuh.”
Abah sebenarnya tidak bermaksud membuat majelis taklim khusus orang-orang “istimewa” itu. “Tapi Allah mengirimnya orang-orang seperti itu, ya sudah saya terima saja,” kata alumni Pesantren Gontor, Ponorogo ini.
Abah juga tak pernah mengundang mereka. Justru mereka yang datang sendiri untuk bergabung. Ada kekhawatiran menyelimuti Abah jika menolak.
“Bila tidak saya terima, ya jika ada tempat lain yang bisa mengarahkan mereka. Jika tidak ada, saya merasa ikut berdosa,” jelas ayah tujuh anak ini.

Kuncinya Ikhlas
Tentu saja tidak mudah membina orang-orang “istimewa” seperti itu. Tidak banyak ustadz atau kiai yang bisa menyentuh mereka. Perlu pendekatan khusus. “Secara umum metode yang saya terapkan, saya tidak suka memerintah. Saya hanya memberi contoh, saya senang mengajak,” katanya.
Soal aturan, Abah tidak bikin neko-neko. Mereka sudah dewasa. Sudah bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan sendiri. Semua “santri” boleh keluar dan pulang kapan saja. Tanpa izin. “Aturannya cuma satu. Apa yang Allah perintahkan dan halalkan, laksanakan. Apa yang Allah larang, tinggalkan. Sudah, itu saja,” kata Abah. Sederhana tapi bermakna luas.
Abah merasa tidak ada tantangan dari para santri asuhannya. Tantangannya justru datang dari diri sendiri. “Tantangannya, saya ikhlas atau tidak.”
Ikhlas dalam pengertian, karena Allah semata. Bukan lantaran dorongan yang lain. Tentu ikhlas dalam ukuran manusia. “Saya ikhlas, dalam pengertian ini (semoga) menjadi amal jariyah saya jika sudah mati,” jelas Abah.
Demikian juga dalam hal kesulitan. Abah merasa tidak ada kesulitan. Lagi-lagi, ia lebih melihat kepada dirinya sendiri. “Mungkin saya kurang ikhlas atau salah niat,” katanya.
Abah mengibaratkan bibit tanaman. Mereka datang sudah membawa bibit baik. Jika kemudian bibit itu tidak tumbuh, bisa jadi karena salah menyiram. “Mestinya pakai air, saya pakai bensin. Atau saya salah caranya,” Abah memberi perumpamaan.
Abah mengakui, yang namanya manusia biasa, dirinya kadang merasa lelah atau mood-nya kurang bagus. Pada saat bersamaan mereka datang membawa segudang masalah. Dalam kondisi seperti itu, ia berusaha berhusnuzan kepada Allah. “Mereka datang (ke saya), berarti hatinya sudah digerakkan oleh Allah,” katanya. Husnuzan seperti itulah yang mampu membangkitkan semangatnya Ali kembali.
Fauzi (bukan nama sebenarnya) merasa nyaman tinggal di base camp. “Abah itu merangkul, bukan menyalah-nyalahkan,” kata pria yang tangannya penuh tato itu.
Iman (bukan nama sebenarnya) juga merasakan hal yang sama. “Beliau itu menyayangi kita semua,” kata Iman, asal Madiun ini.
Tentu saja di balik kekurangan ada kelebihan. Itulah yang dimanfaatkan Abah. Mereka, katanya, punya loyalitas, jaringan, pengalaman dan sensitifitas pada lingkungan tinggi. Kalau mereka menganggur bahaya.
Untuk menyalurkan potensi mereka, Abah lalu mendirikan search and rescue (SAR). “Saya bilang, dulu kalian suka mengganggu orang, sekarang giliran kalian bantu orang lain,” kata Abah.
SAR ini diterjunkan saat ada bencana alam atau kecelakaan lalu lintas. Dengan SAR pikiran positif tumbuh di dalam diri mereka. “Dulu mereka punya perasaan menjadi sampah masyarakat, sekarang merasa bermanfaat,” jelas Abah.
Abah terbukti sudah berhasil mengentas mereka ke arah kehidupan yang lebih baik. Namun dengan rendah hati Abah mengakui keberhasilan itu bukan karena dia. “Mereka berhasil karena dirinya sendiri,” pungkas pria kelahiran Solo ini.*Bambang Subagyo

No comments: