Empat Pandangan Hamka tentang Khilafah

Empat Pandangan Hamka tentang Khilafah
BUYA HAMKA
Dalam kitab-kitab fikih pun, juga dibahas masalah khilafah yang disejajarkan dan disinonimka dengan konsep “siyasah” atau “imaamah”SAAT ini, di jagad maya atau obrolan dunia nyata ketika disebut kata “khalifah” atau “khilafah”, rasanya terdengah tabu. Yang frontal menolak segera menampiknya seolah-olah dalam sumber primer dan khazanah Islam tidak ada yang namanya khilafah.

Ada juga yang mendukung, tapi dalam pengertian yang sesuai dengan ideologinya. Terdapat juga yang masih proporsional dalam menyikapinya.

Melihat fenomena itu, penulis jadi tertarik menggali bagaimana pandangan ulama nusantara mengenai idiom “khalifah” atau “khilafah”. Dalam hal ini, secara khusus menelaah tentang pandangan Buya Hamka mengenai kata “khalifah”. Semoga, ke depan bisa dilanjutkan dengan ulama nusantara lainnya.

Untuk melihat pandangan Hamka tentang topik ini, bisa dibaca –di antaranya– dalam Tafsir Al-Azhar yaitu ketika beliau menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 30. Di situ beliau menulis judul khusus tentang khalifah.

Untuk mengetahui maknanya secara bahasa, menurut beliau perlu mengkaji terlebih dahulu tugas khalifah. Dalam hal ini beliau berpijak pada sejarah dan beberapa sumber ayat al-Qur`an. Peristiwa sejarah misalnya kejadian menyangkut Abu Bakar yang pasca wafatnya Nabi diangkat menjadi khalifah; yang berarti pengganti Nabi.

Sedangkan ayat-ayat mengenai khalifah –selain al-Baqarah ayat 30– beliau juga menyebut ayat-ayat lain misalnya surah Shad ayat 26 yang menyatakan bahwa Nabi Daud dijadikan khalifah oleh Allah di bumi. Khalifah di sini berarti pengganti atau alat dari Allah untuk untuk melaksanakan hukum Tuhan dalam pemerintahannya. Atau bisa diartikan beliau (Daud) ditakdirkan sebagai pengganti bagi raja-raja sebelumnya.

Ayat lain yang dibahas adalah surah Yunus ayat 14, yang menggambarkan bahwa anak cucu atau keturunan sebagai khalifah. Sedangkan dalam surah An-Naml ayat 62 ditegaskan bahwa dalam seluruh manusia adalah khalifah di bumi. Dari beberapa acuan itu, Hamka mengartikan khalifah sebagai pengganti.

Kemudian berbicara tentang khalifah, tidak bisa dipisahkan dengan kata “khilafah”. Meski dalam al-Qur`an yang disebut hanya kata “khalifah”, namun bisa dipahami bahwa kata “khilafah” sebagai pekerjaannya atau aplikasinya sudah terindikasi atau terkandung di dalamnya.

Ketika penulis membaca buku-buku Hamka, khususnya yang berjudul “Keadilan Sosial dalam Islam” (1951: 15-18), ada tajuk khusus yang mengarah pada makna “khilafah” sebagai sistem pemerintahan. Beliau menulis judul khusus “Bentuk Pemerintahan Islam”.

Pada pembahasan ini, berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 30, terlebih dahulu menulis tugas atau tanggung jawab manusia dalam pandangan Islam. Menyitir kisah Adam, tugas manusia adalah sebagai khalifah di bumi.

Di sini Hamka memberi pengertian, “Chalifah jaitu orang jang diserahi melandjutkan kehendak2 orang jang meng-chalifahinja.” Jadi, berdasarkan pertimbangan surah Al-Baqarah ayat 30 tadi, manusia yang hidup di bumi ini mempunyai tanggung jawab berat sekaligus mulia sebagai “khalifatullah” di bumi yang tak mampu diemban oleh malaikat atau makhluk yang lain. Tugas yang berat ini juga dikuatkan dalam surah Al-An’am ayat 165.

Diutusnya para Nabi dan Rasul –menurut pandangan Hamka—yang membawa beberapa kitab, untuk memudahkan menjalankan tugas kekhalifaan. Para Nabi dan Rasul itu menuntun peri-kemanusiaan supaya dapat menjalankan kewajibannya yang berat dan mulia itu. Dengan tugas “khalifah” ini, dinaikkanlah dejarat kemanusiaannya. Dengan ini, papar Hamka, “Tidak ada lagi satu manusiapun jang boleh mengambil tempat istimewa untuk merendahkan manusia jang lain.”

Lebih lanjut, Hamka melontarkan pertanyaan reflektif, “Apakah nama jang akan tuan berikan kepada dasar ini? Akan tuan beri nama Demokrasi?” Jawab beliau, “Lebih tinggi dari demokrasi.” Meski ajaran positif terkandung dalam Islam, tapi sistem dalam Islam melebihi itu.

Jadi, meminjam istilah Hamka, filsafat ajaran “Khalifatullah”-lah yang menumbuhkan keyakinan dalam hati Muslimin bahwa urusan negara dengan agama tidak pernah terpisah. Demikian juga, urusan kerja usaha jiwa dan badan, rohani dan jasmani tidak terpisah. Ini bisa dilembari dalam surah An-Nur ayat 55.

Setelah sudah jelas bahwa tugas manusia itu, maka kata Hamka, tidaklah susah lagi untuk mencari bentuk pemerintahan. Tulis beliau, “Bentuk pemerintahan disuatu negara atau wilajat, ialah menurut bentuk pertumbuhan ketjerdasa masjarakat itu. Manusia adalah chalifah. Sebab itu maka Tuhan membiarkan fikiran chalifahnja tumbuh sendiri. Setelah Rasulullah wafat, beliaupun tidakk suka menentukan siapa akan penggantinja. Melainkan diserahkannja kepada jang tinggal, memilih sendiri bentuk pemerintahan jang disukainja. Hanja satu jang penting jang djadi adjaran prinsipiel, jaitu SJURa!”

Dari pandangan Hamka mengenai khalifah dan sistem kenegaraan ini, ada fakta menarik yang perlu diangkat dan disimpulkan di sini.

Pertama, tidak ada yang tabu dalam penggunaan istilah khalifah bahkan khilafah. Dalam kitab-kitab fikih pun, juga dibahas masalah khilafah yang disejajarkan dan disinonimkan dengan konsep “siyasah” atau “imaamah” yang secara spesifik dimasukkan dalam Fikih Daulah atau Siyasah. Yang menarik di nusantara pun, misalnya dalam kesultanan Yogyakarta, dipakai gelar “Kalipatullah” atau “Khalifatullah”. Artinya, sejak dulu tidak ada yang tabu dalam penggunaan istilah ini.

Kedua, khalifah adalah tugas penting yang diembankan sejak awal kepada manusia sejak Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Tugas ini –meski berat– pada hakikatnya adalah untuk memuliakan dan meninggikan derajatnya. Diutusnya para Nabi dan Rasul adalah di antaranya untuk memudahkan tugas kekhilafaan yang telah dibebankan kepada manusia.

Ketiga, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah menjelaskan secara baku bentuk kekhilafahan dalam pengertian pemerintahan. Hal itu diserahkan kepada masyarakat Muslim dan kuncinya yang jadi prinsip adalah tidak meninggalkan prinsip musyawarah (syura). Dengan sudut pandang ini, maka tidak mengherankan jika dalam khazanah sejarah Islam bentuknya berbeda-beda pemerintahannya –meski sering menggunakan kata khalifah atau khilafah—tapi fakta yang tak bisa ditutupi adalah mereka tetap menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber pemerintahannya. Wallahu a’lam.

Terakhir, tulisan tentang pandangan Hamka tentang “khalifah” ini hanya sebagai pengantar atau pembuka. Karena, baru diambil dari dua buku beliau. Bisa jadi, dalam buku-buku beliau yang lain, ada penambahan makna dan semakin memperjelasnya. Maka dengan segenap kerendahan hati, penulis tidak merasa ini sudah final, bisa diteliti oleh penulis atau peneliti lain yang konsen dalam pembahasan ini, utamanya terkait pandangan Buya Hamka.* Mahmud Budi Setiawan

No comments: