Ibnu Arabi, Kecantikan Perempuan Berkaitan dengan Realitas Ketuhanan

Ibnu Arabi, Kecantikan Perempuan Berkaitan dengan Realitas Ketuhanan
Ilustrasi/Ist
PADA tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi haji. Setelah menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah ia di Makkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para mistikus (sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid'ah dan keburukan di Mesir. Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.

Idries Shah dalam bukunya berjudul The Sufis menyebut ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. 

Berbagai pengalaman spiritualnya di Makkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik, diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam. 

Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal yang memandangnya sebagai skandal.

Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia, bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara sekaligus. 

Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula nilai kesenangannya. 

Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah pengakuan bahwa "seorang cantik adalah karya seni Ilahi". 

Ia tidak mampu memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini adalah problema umum dari pernyataan sufi dalam suatu pilihan kata-kata yang sangat terbatas. 
Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama (ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih dalam. 

Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya tersebut ke dalam pandangan ortodoks. Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. 

Meskipun demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.

Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di luarnya. 

Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:

Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka'bah bagi orang-orang yang salat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur'an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku. 

Menurut Idries Shah, orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, "Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi." Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema "cinta", Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.*
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: