Kisah Para Wali: Awal Mula Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Belajar Tasawuf

Kisah Para Wali: Awal Mula Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Belajar Tasawuf
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani (471-561 H) ulama besar yang populer dengan karomah dan kemuliaannya. Foto/dok islam.nu.or.id
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani (471-561 H), ulama besar yang dijuluki pemimpin para wali (Sulthanul Auliya) kelahiran Persia (Iran). Beliau dikaruniai kedalaman ilmu tauhid, fiqih, sunnah Nabi dan ilmu makrifat. Sehingga banyak para wali, syeikh, ulama, dan ahli zuhud menaruh hormat pada beliau.

Dalam Manaqib (biografi) yang dipublikasikan oleh Pustaka Pejaten beliau bernama lengkap adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syeikh Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jilani adalah keturunan Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Adapun ibunda beliau adalah seorang ibu yang istimewa, yaitu Fatimah binti Abi Abdillah Al-Shuma'i, keturunan Sayyidina Husein. Syeikh Abdul Qadir A-Jilanicukup populer dengan karomah dan kemuliaannya. 

Sebelum Syeikh Abdul Qadir lahir, ayahandanya pernah bermimpi bertemu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersama sejumlah sahabat, para Mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: 

"Wahai Abu Shalih, Allah akan memberi amanah seorang anak laki-laki, yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan."

Abu Shalih wafat ketika putranya masih teramat muda, sehingga Syeikh Abdul Qadir diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya. Syeikh Abdul Qadir lahir tahun 471 Hijriyah di daerah Aal-Jil (disebut juga Jilan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran (Persia). Ada yang menyebut tahun 470 Hijriyah (1077 Masehi). Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal Imam at-Tamimi. 

Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Nidzamiah, Baghdad. Sang Imam Al-Ghazali ternyata lebih memilih uzlah (mengasingkan diri) dan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala. 

Di daerah itu beliau melewati masa kecilnya sampai usia 18 tahun. Kemudian hijrah ke Baghdad pada tahun 488 H sampai masa akhir hayatnya. Syeikh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya sedang, berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang. 

Warna kulitnya sawo matang, kedua alisnya bersambung, suaranya keras dan lantang, mudah bergaul, punya derajat mulia dan ilmu pengetahuan luas. Binar mata Syeikh Abdul Qadir terpancar dalam lingkungan yang terkenal dengan kedalaman ilmu pengetahuan. Ayahandanya adalah salah seorang tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga dikenal dengan karomahnya adalah putri dari Abdullah Al-Suma'i, seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan zuhud. Maka bersemilah nuansa keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat di dalam dirinya. 

Awal Mula Belajar Tasawuf
Dalam Manaqib itu, Syeikh Abdul Qadir Jilani menceritakan kisah pengembaraannya ke pinggiran Kota Baghdad. Beliau bercerita, di sekitar Mudzafariyah, seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku: "Hai Abdul Qadir."

Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berkata: "Katakan padaku apa yang kau minta kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?"Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku.

Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat dengan Allah. Kelak, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Syeikh Hammad ad-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.

Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ke padepokan tasawuf milik Syeikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan padepokan itu mengetahui kedatangan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani melalui ilham. Syeikh Hammad memerintah agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan.

Setibanya di depan pintu padepokan, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau berhadas besar sehingga pergi untuk mandi dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali beliau tertidur dan berhadas lagi, hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan berwudhu dengan air yang nyaris membekukan tubuh.

Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan beliau pun masuk ke dalamnya. Syeikh Hammad bangkit untuk mengucapkan salam kepada beliau. Dengan penuh suka cita, Syeikh Hammad memeluk beliau dan berkata: "Anakku, Abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan jalan ini."

Syeikh Hammad menjadi guru pertama beliau dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syeikh Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita: "Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia, Syeikh Hammad memberiku penjelasan. Kadangkala aku dimintanya mencari ilmu dari ulama lain, mengenai akidah, hadis, fiqih dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya: "Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan untukmu."

Di saat yang lain ia berkata: "Demi Allah, dari mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu (alim) daripada engkau?"

Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan: "Kau adalah ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini?"

Syeikh Hammad menegur dan menenangkan mereka: "Sungguh memalukan! Aku bersumpah, tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syeikh Abdul Qadir Jilani) dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung."

Syeikh Abdul Qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah. Lantas dengan keseriusan dan kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh ulama yang selalu membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan belajar mambaca Al-Qur'an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu Al-Khitab Mahfudz Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang lainnya, sampai fasih dalam pembacaannya.

Beliau belajar hadis dari ulama ahli hadis di zamannya seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga belajar ilmu Fiqih dari para fuqaha yang masyhur di zamannya seperti Abu Sa'id Al-Mukharrimi. Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam. Ilmu syari'at, tarekat, bahasa dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru besar mazhab Hambali. Allah Ta'ala memberikan hikmah dengan perantaraan lisannya yang memberikan wejangan dalam berbagai majelisnya.

Walaupun Syeikh Abdul Qadir belajar tasawuf kepada Syeikh Hammad ad-Dabbas, tapi yang memberikan jubah darwis (simbol dari jubah Rasulullah adalah Abu Sa'ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama besar pada zamannya di Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jilani.

Wallahu Ta'ala A'lam
(rhs) Rusman H Siregar

No comments: