Bilangan Rakaat Sholat Tarawih, Begini Pendapat Imam Mazhab dan Ulama

Bilangan Rakaat Sholat Tarawih, Begini Pendapat Imam Mazhab dan Ulama
Ilustrasi/Ist
BERBEDA dengan ibadah puasa , ibadah tarawih membuka berbagai perbedaan cara (kaifiyah) di antara berbagai golongan umat Islam yang ada. Imam mazhab seperti Imam Syafi’i , Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal misalnya melakukan salat tarawih dengan 20 rakaat dengan satu witir. Sementara itu Imam Malik melakukan 36 rakaat dengan ditutup salat witir.

Beberapa ulama atsar dan sahabat Nabi bahkan ada yang tidak membatasi jumlah rakaat salat tarawih.

Berikut pendapat empat Imam Mazhab serta para ulama:

Mazhab Hanafi
Imam Hanafi pernah ditanya tentang apa yang telah dilakukan Umar radiaullahu anhu (melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat), maka beliau menjawab: “Salat Tarawih itu sunnah muakad. Apa yang dilakukan Umar bukanlah berdasarkan kemauan sendiri, ia juga tidak dianggap melakukan bid’ah dalam hal ini. Ia tidak memerintahkan hal itu (salat Tarwih dua puluh rakaat) kecuali berdasarkan sumber yang ia miliki dan berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.”.

Imam Hanafi juga dalam kitab Fathul Qadir bahwa disunahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadan sesudah Isya’, lalu mereka salat bersama imamnya lima istirahat, setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir.

Mazhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.

Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk salat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan salat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadan 23 rakaat”.

Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.

Mazhab As-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “Salat malam bulan Ramadan itu, secara sendirian lebih aku sukai, dan saya melihat umat di Madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di Makkah dan mereka witir 3 rakaat.

Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa salat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadan.

Mazhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “Salat malam Ramadan itu 20 rakaat, yakni salat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.

Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia salat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia salat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan salat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu salat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.

Pendapat Ulama
Sementara, Ibn Hibban (wafat 354 H) dalam Fiqhus Sunnah mengatakan, sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.”

Sedangkan Al Kamal Ibnul Humam mengatakan, dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, sedangkan sisanya adalah mustahab.

Pendapat lainnya disampaikan Al Subkhi dalam Al-Hawi. Ia berkata, “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin salat sedikit atau banyak. Boleh jadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11 raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’at dari pada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.”

Di sisi lain, Ibn Taimiyah berpendapat, boleh salat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh salat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh salat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. "Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya,” katanya.

Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang salat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul SAW di Ramadhan dan di luar Ramadhan-maka ini yang lebih utama.

Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40.

Dan jika ia salat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.” [Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48]

Al Tharthusi (451-520 H) berkata, para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata, ”Mungkin Umar bin Khattab pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam salat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan.

Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’at atau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”

Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh Yazid Ibn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.

Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka salat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya.

Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, salat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu . Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145].

Al Hafidz Ibn Hajar berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11 raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka. Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]

Sedangkan Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan: “Di antara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang adalah salat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil.

Hadis-hadis shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa salat malam itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah sahih dari Nabi, bahwa beliau salat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebih sedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan.

Ketika ditanya tentang sifat salat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup salat yang ia kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]

Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu salat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya.
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: