Kritik Sarjana Muslim Al Biruni kepada Ilmuwan Hindu India

Al Biruni melakukan rihlah ilmiah hingga ke wilayah India pada masa itu. Sains Islam (ilustrasi)

Al Biruni melakukan rihlah ilmiah hingga ke wilayah India pada masa itu. Sains Islam (ilustrasi)

Al Biruni melakukan rihlah ilmiah hingga ke wilayah India pada masa itu
 Rihlah ke India membuka jalan bagi Al Biruni untuk mendalami seluk-beluk wilayah dan karakteristik penduduk India. Hal tersebut akhirnya menjadikannya sebagai perintis disiplin indologi modern.

Al Biruni tidak hanya menguasai bahasa Persia dan Arab, tetapi juga Ibrani, Suriah kuno, dan Sanskerta. Karena itu, dirinya tidak mengalami kendala yang berarti dalam berkomunikasi dengan penduduk India. 

Dalam menulis tentang kondisi geografis, demografis, dan sosio-kultural India, ilmuwan Muslim tersebut dapat dikatakan melampaui zamannya. Tidak seperti kebanyakan penulis catatan perjalanan pada masanya, ia menggunakan perspektif yang objektif, bahkan berkeadilan dalam melihat masyarakat yang dikajinya. MS Khan dalam artikelnya, Al Biruni and the Political History of India (1976) mengatakan, Al Biruni memiliki semangat yang besar untuk selalu mengejar kebenaran objektif. Karena itu, nada tulisan dalam berbagai buku karyanya kerap tidak menunjukkan keberpihakan (impartial), termasuk tatkala mendeskripsikan India.

Tak jarang Al Biruni mengajak para penulis lainnya untuk menulis tanpa prasangka sebelumnya (free of prejudices) dalam menelaah tentang berbagai bangsa dan umat agama non-Muslim. 

Menurut Khan, para ilmuwan dan sejarawan modern mengangkat Al Biruni sebagai Bapak Antropologi dan Bapak Indologi disebabkan kecenderungannya untuk selalu objektif dan imparsial dalam menulis.

Di samping itu, gaya kepenulisan Al Biruni ialah kronologis. Dalam hal ini, lanjut Khan, sarjana Muslim dari era keemasan Islam tersebut beberapa kali mengkritik kaum cendekiawan Hindu pada masanya. Sebab, mereka kurang begitu tertarik pada historiografi atau penulisan sejarah yang rasional, objektif, dan kronologis.

Sayangnya, orang-orang India (Hindu) tidak begitu memperhatikan urut-urutan (peristiwa) sejarah. Mereka kurang hati-hati dalam menghubungkan secara kronologis, misalnya, suksesi kepemimpinan raja-rajanya. 

“Saat dicecar mengenai informasi atau gagap menjelaskan (mengenai sebuah peristiwa masa lalu Red), mereka cenderung akan mendongeng,” ujar Al Biruni dalam karyanya, Kitab fii Tahqiq maa li'l Hind min Ma'qulatin Maqbulatin fil 'Aql aw Mardhula.

Dengan hanya melihat judul kitab itu, pembaca dapat menyadari betapa telitinya Al Biruni dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi. Secara harfiah, judul tersebut berarti Kajian atas apa-apa yang disampaikan India, apakah berterima secara rasional atau mesti ditolak. 

Alhasil, Sang Penulis mencatat berbagai macam informasi yang diterimanya mengenai India dan masyarakatnya. Akan tetapi, dalam penyajiannya ia menjelaskan, mana yang dapat dipercaya sebagai fakta historis dan mana yang patut diragukan kebenarannya.

Metode yang dipakainya itu tak ubahnya seorang sejarawan profesio nal masa kini. Memang, lanjut Khan, ilmuwan yang namanya kini diabadikan sebagai sebuah kawah di bulan itu membedakan antara penyelidikan ilmiah dan sejarah. Dalam melakukan yang pertama itu, seorang saintis dapat bersikap sepenuhnya objektif. Sebab, objek kajiannya dapat diidentifikasi secara empiris. Berbeda dengan penelitian sejarah.

Di dalamnya, tidak ada ruang untuk merasionalkan fenomena-fenomena yang ditemukan, sekalipun melalui pendekatan filosofis. Karena itu, menurut al-Biruni, metode yang pas untuk menulis historiografi di samping kronologi ialah komparasi. Cara itu pula yang dipilihnya ketika menulis tentang perbandingan agama-agama serta aneka bangsa dan masyarakat. 

Dengan demikian, dia dapat sampai pada kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Tak mengherankan bila dunia modern pun menggelarinya sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama dan Bapak Sosiologi Komparatif. 

Maka dari itu, dalam meneliti India pun ia membandingkannya dengan peradaban atau kebudayaan lain yang pernah dipelajarinya. Sebut saja, Yunani Kuno, Majusi (Zoroastrian), Kristen, Yahudi, Maniisme, dan Sufisme. Dalam pengamatannya, kebudayaan India tak jauh berbeda dengan beberapa dari tradisi-tradisi tersebut. Sebagai contoh, panteisme juga ditemukan dalam kepercayaan Hindu dan Yunani.

Komparasi juga dilakukannya ketika menjelaskan fenomena kasta dalam masyarakat India. Menurut dia, pola yang sama juga ditemukan pada bangsa Persia, yang meyakini bahwa manusia terbagi ke dalam strata sosial sejak lahir. Tentunya al-Biruni tidak melewatkan topik sumbangsih peradaban India bagi khazanah ilmu pengetahuan.  

Contoh utamanya adalah sistem angka India yang dibaca secara deretan, dari kiri ke kanan. Sistemanka, demikian namanya, jauh lebih praktis dibandingkan sistem bilangan Romawi.

sumber : Harian Republika

No comments: