Sultan Ottoman Abdul Hamid II: Tak akan Saya Jual Palestina

 Sultan Ottoman Abdul Hamid II konsisten mempertahankan Palestina.

Sultan Ottoman Abdul Hamid II konsisten mempertahankan Palestina.

Foto: Wikipedia
Sultan Ottoman Abdul Hamid II konsisten mempertahankan Palestina
– Palestina termasuk wilayah yang berada di bawah kekuasaan Dinastti Ottoman pada abad ke-16. Saat Yavuz Sultan Selim mengalahkan penguasa Mamluk Kansu Gavri dalam Pertempuran Marj Dabiq pada 1516, Suriah dan Palestina bergabung dengan Ottoman. Yavuz Sultan Selim memasuki Yerusalem pada 29 Desember 1516

Di bawah pemerintahan Ottoman, wilayah Palestina diorganisasi menjadi tiga bagian, yaitu Yerusalem, Gaza, dan Nablus. Selama 401 tahun, Ottoman menguasai Palestina.

Dulunya, Palestina merupakan wilayah yang sangat penting bagi penganut tiga agama samawi, yakni umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Ketika pasukan Barat menginvasi pada abad ke-19, kekacauan yang tidak pernah berakhir dimulai di Palestina dan wilayah lain di Timur Tengah.

Orang-orang Yahudi menyebar ke seluruh dunia setelah Romawi membakar Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Mereka harus menanggung siksaan kemanapun mereka pergi.

Sejak itu, mereka telah menunggu seorang juru selamat yang akan mengumpulkan mereka dalam satu negara. Karena kedatangan mesias yang telah lama ditunggu-tunggu ini tertunda, beberapa idealis Yahudi muncul untuk mendirikan sebuah negara Israel. Ini dimulai pada kelompok yang disebut zionis berkumpul di Basel, Swiss 1897.

Wilayah yang dijanjikan

Zionis meminta bantuan Inggris untuk mewujudkan impiannya. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak ditanggapi dengan serius. Kaum zionis mendapat penawaran wilayah Uganda, Siberia, dan Siprus tapi mereka tidak setuju. Mereka hanya menginginkan Palestina, rumah bagi ratusan ribu orang Arab yang disebut tanah perjanjian dalam kitab Taurat.

Menanggapi ini, Ottoman segera mengambil tindakan pencegahan. Jauh sebelum zionis bertindak, pada 1871, Ottoman mendeklarasikan 80 persen Palestina sebagai milik negara. Sultan Abdul Hamid II yang ketika itu memimpin, meningkatkan tindakan pencegahan terhadap pemukiman Yahudi di Palestina. 

Pada 1883, dia membatasi akuisisi tanah Palestina dan memutuskan untuk mengambil wilayah strategis itu. Kemudian pada 1900, dia membatasi masa tinggal orang Yahudi di wilayah Palestina menjadi 30 hari.

Dia melarang akuisisi wilayah untuk orang Yahudi asing di wilayah Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina. Dinyatakan bahwah wilayah Utsmaniyah bukanlah daerah pemukiman bagi orang-orang yang diasingkan dari Eropa.

Tidak ada ruang untuk persetujuan

Pemimpin Gerakan Zionis, Theodor Herzl meminta bantuan Sultan Abdul Hamid II untuk mendapatkan wilayah Palestina. Saat permintaannya ditolak, dia menyampaikan tawarannya kepada sultan melalui teman dekatnya, Phillip Newlinsky dari Polandia pada bulan Mei 1901.

Mereka menawarkan untuk membayar hutang luar negeri Utsmaniyah dan memberikan propaganda kepada Sultan Ottoman di Eropa. Imbalannya, mereka meminta pembukaan tanah Palestina menjadi pemukiman Yahudi dan mengalihkan pemerintahan kepada orang-orang Yahudi. Mendengar itu, sultan menolak keras.

“Saya tidak akan menjual apa pun bahkan satu inci pun dari wilayah Palestina karena wilayah ini bukan milik saya melainkan milik semua rakyat Ottoman. Rakyat saya memenangkan tanah ini dengan darah mereka.”

Herzl tak pantang menyerah. Dia mengulangi tawarannya sekali lagi pada tahun berikutnya tapi jawabannya tetap sama. Sultan bukan seorang anti-Semit. Istilah itu tidak memiliki tempat dalam budaya Muslim-Turki.

Dia hanya dikenal sebagai pemimpin yang pendekatannya realistis daripada emosional dalam mengatasi masalah. Saat itu, Utsmaniyah adalah rumah bagi populasi Yahudi terbesar di dunia yang hidup bebas. Thessaloniki yang kemudian menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman, kemudian menjadi kota Yahudi terbesar di dunia.

Tahap kedua

Dilansir Daily Sabah, Selasa (25/5) kaum Muda Turki yang menggulingkan Sultan Abdul Hamid II pada 1909 mengasingkan sultan ke Thessaloniki dan memenjarakannya di rumah seorang bankir Yahudi bernama Allatini. Sementara itu, Turki Muda mengizinkan orang Yahudi untuk menetap di Palestina.

Mereka mengaku, orang Yahudi membantunya dalam merebut kekuasaan sehingga orang Yahudi pantas mendapat imbalan. Berjalannya waktu, kelompok tersebut membuat kesepakatan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour pada tahun 1917.

Dengan Deklarasi Balfour, terlihat Inggris memberikan lampu hijau kepada sebuah negara Yahudi di tanah Palestina. Ketika tentara Ottoman di bawah komando Mustafa Kemal dikalahkan di Suriah, Palestina diduduki oleh Inggris pada tahun 1918. Ini menyebabkan tanah yang dikuasai Turki Muda diambil alih oleh Inggris. Setelah pendudukan Inggris, pemukiman Yahudi di Palestina meningkat.

Masa-masa sulit

Dalam sepucuk surat dari Sultan Abdul Hamid II yang termasuk dalam Shadhili Tariqa kepada Shadhili Sheikh Abu 'Shamat Mahmud 22 September 1913.

Dalam surat itu, dia mengatakan “Saya berhenti menjadi khalifah karena penindasan dan ancaman oleh Turki Muda. Kelompok ini menuntut saya menyetujui pendirian negara Yahudi di Palestina.

Saya menolak keras. Mereka akhirnya menawarkan 150 juta keping emas Inggris. Saya menolak juga dan saya mengatakan ‘Saya tidak akan pernah setuju dengan Anda bahkan jika Anda tidak menawarkan 150 juta emas Inggris tapi semua emas di seluruh dunia.

Saya melayani komunitas Muslim selama lebih dari 30 tahun. Saya tidak mengecewakan nenek moyang saya. Saya berdoa kepada Allah, saya tidak menerima untuk mendirikan negara baru di tanah Palestina di atas Negara Ottoman dan komunitas Islam.”

Pada tahun 1947, lebih dari setengah populasi di Palestina adalah orang Yahudi dan sebagian besar wilayah menjadi milik mereka. Setelah menguasai wilayah, langkah selanjutnya adalah kemerdekaan. PBB mengonfirmasi terkait pendirian negara Yahudi pada 1948.

Tentara Arab sekutu dikalahkan melawan Israel pada 1948, 1967 dan 1973. Saat itulah pandangan Sultan Abdül Hamid dipuji sekali lagi. Dia tetap menjadi sosok yang dicintai di negara-negara Arab. 

Sumber: dailysabah, dailysabah   

No comments: