Ketika Abu Hanifah Berdebat dengan Seorang Khawarij dan Kelompok Sesat

Ketika Abu Hanifah Berdebat dengan Seorang Khawarij dan Kelompok Sesat
Ilustrasi/Ist
Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah dikenal pandai dan cerdas. Kepandaian dan kecerdasannya ini banyak diunjukkan dalam berbagai kasus.

Suatu ketika ada seorang Khawarij bernama adh-Dhahak asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata, “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”

“Bertaubat dari apa?” ujar Abu Hanifah balik bertanya.

“Dari pendapat Anda yang membenarkan diadakannya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah," jawab Ad-Dhahak.

“Maukah Anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?” ajak Abu Hanifah.
“Baiklah, saya bersedia,” ujar Adh-Dhahak.

Abu Hanifah berkata: “Bila kita nanti berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”

Adh-Dhahak: “Pilihlah sesuka Anda.”

Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata: “Engkau menjadi hakim di antara kami.” Selanjutnya kepada orang pertama beliau bertanya: “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”

“Ya saya rela,” jawab Adh-Dhahak.

Abu Hanifah: “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertahkim?”

Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata, “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”

Abu Hanifah: “Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”

Jahm: “Bagaimana bisa Anda memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?”

Abu Hanifah: “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).”

Jahm: “Anda menghakimi saya secara sepihak?”

Abu Hanifah: “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.

Jahm: “Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan.”

Abu Hanifah: “Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada saya?”

Jahm: “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”

Abu Hanifah: “Keraguan dalam keimanan dalam kufur.”

Jahm: “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”

Abu Hanifah: “Silakan bertanya!”
Jahm: “Telah sampai kepadaku tentang seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”

Abu Hanifah: “Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”

Jahm: “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya?”

Abu Hanifah: “Bila Anda beriman kepada Al-Quran dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Al-Quran dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”

Jahm: “Bahkan saya mengimani Al-Quran dan menjadikannya sebagai hujjah.”

Abu Hanifah: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu saja darinya. Kitabullah dan hadis Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?’

Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS. Al-Maidah: 83-85)

Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah: 136)

Allah menyuruh mereka untuk mengucapkan dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Ucapkanlah, Laa ilaaha ilallah, niscaya kalian akan beruntung.”

Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekadar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”

Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya dengan sekadar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya:

“Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)

Kemudian:

“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)

Juga firman Allah Ta’ala:

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)

Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka mayakini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml: 140

Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.

Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Quran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
(mhy) 
Miftah H. Yusufpati

No comments: