Nasehat Ali Bin Abu Thalib dan Kisah dari Al Hasan Al Bashri: Jangan Tergesa-gesa

Nasehat Ali Bin Abu Thalib dan Kisah dari Al Hasan Al Bashri: Jangan Tergesa-gesa
Bertakwalah kepada Allah SWT, bersikap sabar, dan tidak tergesa-gesa. Ilustrasi/Ist/mhy
ADA sebuah petuah emas Khalifah Ali bin Abi Thalib ra di zaman fitnah yang perlu kita renungkan dan kita amalkan hari-hari ini, yaitu:

Dari Ali bin Abi Thalib a berkata: “Janganlah kalian menjadi orang yang tergesa-gesa, gegabah menyiarkan berita dan menabur benih, karena di belakang kalian bencana yang sangat parah, dan perkara-perkara bagaikan ombak yang dahsyat menghantam”. (Diriwayatkan Al Bukhari dalam Adabul Mufrad: 327 dan dishahihkan al Albani).

Tergesa-gesa adalah berasal dari was-was setan. Dari Anas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul Cambuk Hati Sahabat Nabi menjelaskan dalam atsar ini, sahabat Ali mengingatkan kepada kita dari tiga perkara yang sering dilanggar oleh kebanyakan manusia saat fitnah melanda sehingga malah menimbulkan api fitnah semakin membara.

Tiga perkara tersebut adalah:

Pertama, tergesa-gesa, sembrono, ngawur, tanpa memperhatikan konsekwensi perbuatan, karena orang yang seperti itu rawan tersungkur dalam kesalahan dan penyimpangan.

Kedua, gegabah menshare berita tanpa tabayyun dan kehati-hatian padahal berita belum tentu benar. Anggaplah memang benar semestinya dipikirkan dulu apakah menyebarkannya mengandung kemaslahatan atau justru mengandung kerusakan.

Ketiga, menyalakan api fitnah dan menabur benih-benih kerusakan seperti namimah (adu domba), perpecahan dan permusuhan diantara kaum muslimin.

Sebuah Kisah
Selanjutnya, Al Hasan Al Bashri bercerita, ada seorang pria meninggal dunia lalu meninggalkan seorang anak dan seorang budak. Dia pun berwasiat menyerahkan budak tersebut pada anaknya. Bekas budak tadi memang sangat giat merawat anak dari tuannya. Akhirnya anak tersebut menyukai budak tadi dan dia pun menikahinya.

(Suatu saat), anaknya berkata pada budaknya, “Siapkan aku untuk mencari ilmu“. Budaknya lalu menyiapkannya. Dia lalu mendatangi seorang yang alim dan bertanya padanya.

Orang alim itu lalu berkata padanya, “Jika engkau akan berangkat maka beritahulah aku, engkau akan kuajari.” Anak itu berkata, “Saya akan berangkat, ajarilah aku“.

Alim itu menasehatkan padanya, “Bertakwalah kepada Allah, sabarlah, dan jangan engkau terburu-buru“.

Al Hasan Al Bashri berkata, dalam nasehat alim di atas ada seluruh kebaikan.

Anak itu hampir tidak pernah melupakan tiga nasehat dari alim tersebut.

Ketika dia pulang menemui keluarganya lalu memasuki rumah, ternyata ada seorang pria yang tidur bersitirahat di samping seorang wanita. Wanita itu pun ikut tidur!

Anak itu berkata, “Saya tidak sabar menunggu untuk membunuhnya“.

Dia lalu kembali ke kendaraannya mengambil pedang. Ketika akan mengambil pedang, dia teringat nasehat alim tadi, “Bertakwalah kepada Allah , sabarlah, dan jangan engkau terburu-buru“.

Dia lalu kembali ke rumah itu. Ketika dia berada di dekat kepala orang itu, dia tidak sabar, lalu dia kembali lagi ke kendaraannya. Ketika akan mengambil pedangnya, dia pun mengingat nasehat alim tadi. Dia lalu kembali pada orang itu.

Ketika dia berada di kepalanya, orang itu lantas bangun. Ketika orang itu melihatnya dia langsung dirangkulnya dan diciumnya.

Lelaki itu lalu bertanya padanya, “Apa yang kau lakukan ketika meninggalkanku?”

Anak itu menjawab, “Kudapatkan kebaikan yang sangat banyak setelah meninggalkanmu. Setelah meninggalkanmu, aku berjalan di antara pedang dan kepalamu sebanyak tiga kali, namun ilmu telah menghalangiku dari membunuhmu“.
Kisah ini diiriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod Bab 266. Hasan secara sanad. Dijelaskan dalam Syarh Shohih Adabil Mufrod (Husein Al ‘Uwaisyah, 2/230) bahwa bekas budak tadi dengan pria di sampingnya adalah masih mahrom.

Setidaknya ada empat pelajaran berharga dari kisah tersebut:

Pertama, dalam kisah ini terdapat ajakan kepada kita semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersikap sabar dan tidak tergesa-gesa.

Kedua, dengan bekal ilmu, seseorang bisa menahan dirinya dari tindakan maksiat dan kecerobohan karena tidak mau sabar.

Ketiga, sangat penting jika kita selalu berdiskusi dengan ulama atau orang berilmu dalam menghadapi suatu masalah dan kita selalu memegang teguh nasehat mereka dalam menghadapi setiap persoalan.

Keempat, seharusnya ilmu yang diperoleh bukan hanya sekadar wacana dan kebanggaan, namun hendaklah ilmu dicari untuk diamalkan.

Marilah kita selalu membekali diri dengan tiga sifat ini yaitu takwa kepada Allah Ta’ala, sabar dan tidak tegesa-gesa.

Apalagi sifat yang terakhir, mungkin kita –juga termasuk penulis- sering lalai dari memperhatikan sifat yang satu ini. Padahal sifat tidak tergesa-gesa inilah yang dicintai oleh Allah.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois,

إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة

“Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
(mhy) 
Miftah H. Yusufpati

No comments: