Bahasa Arab, Bahasa Kebudayaan dan Kecerdasan

 

BEBERAPA hari lalu kita dibuat jengah oleh pernyataan seorang yang disebut sebagai pengamat intelijen bahwa salah satu ciri teroris adalah memperbanyak belajar bahasa Arab. Tentu saja pernyataannya itu memantik kecaman karena dinilai sangat tendensius, ahistoris, tidak ilmiah, menggelikan dan memalukan sekaligus.

Puluhan tahun lalu, tahun-tahun menjelang kemerdekaan, seorang negarawan besar, pejuang kemerdekaan dan pendidik bangsa, Mohammad Natsir, pernah berbicara tentang keunggulan bahasa Arab saat menanggapi pernyataan Dr.G. Drewes yang menyanjung-nyanjung bahasa Belanda sebagai alat kemajuan bagi rakyat negeri jajahannya.

Inilah pandangan Buya Natsir yang terhimpun dalam buku Capita Selecta jilid 1, sebagai bagaian tanggapan M Natsir atas pernyataan Gerardus Willebrordus Joannes (GWJ) Drewes. Inilah petikanya;

Bahasa Asing sebagai Alat Kecerdasan

“Hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa yang terutama sekali sudah tentu bahasa Belanda, masyarakat Bumiputera di cabang atasnya dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan fikiran….” Demikianlah keputusan yang diambil oleh Dr.G. Drewes, waktu dia memperbincangkan pengaruh Kultur Barat atas bahasa Indonesia (The influence of Western Civilisation etc).

Marilah kita periksa sebentar sampai kemana benarnya dalil Dr. Drewes ini.

Sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa, adalah bahasa Ibunya sendiri. Bahasa bersangkut paut dan tak dapat diceraikan; dari aliran berfikir.

Bahasa dari salah satu bangsa, adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaan sendiri.

“Das angestammte Volkstum steht und failt mit der Muttersprache”, kata L. Waisgeber (Muttersprache und Geister-sbildung”, 1920). Kultur salah satu bangsa berdiri atau jatuh dengan bahasa bangsa itu sendiri.

Noto Suroto boleh mempertahankan bahwa ia tetap seorang ahli seni bangsanya, walaupun ia memakai bahasa asing, bahasa Belanda, untuk menyanyikan getaran jiwanya. Ia boleh mengambil misal kepada Willem de Zwijger, yang kabarnya konon mengucapkan seruannya yang penghabisan di waktu ia akan meninggal dunia dalam bahasa Prancis.

Akan tetapi ini bukanlah satu hal yang normal. Ini adalah salah satu tindakan atau cara yang terpaksa oleh keadaan. Sama ada keadaan itu disebabkan oleh kesalahan sendiri, ataupun tidak.

Seruan Willem de Zwijger terpaksa diterjemahkan lebih dahulu ke dalam bahasa bangsanya, kalau bangsanya hendak mengambil semangat, mengambil inspirasi dari ucapan “bapaknya” itu. Golongan terbesar dari bangsa Noto Suroto tidak dapat mengecap betapa lezatnya nyanyian Noto Suroto itu, apabila nyanyiannya itu tidak diterjemahkan lebih dahulu ke dalam bahasa bangsanya sendiri.

Sekali lagi: ini bukan semestinya begitu! Ini bukan hal yang boleh dikemukakan sebagai hudjah, akan tetapi sebagai keadaan Yang mengecewakan, yang bersifat tragis.

Sebagaimana juga belum boleh dianggap satu keadaan yang sudah sepatut dan semestinya apabila seorang Indonesia, dalam semua adat istiadat dan lagu lagak bahasanya di rumah tangganya sehari-hari menurut lagu lagak bangsa asing, walaupun tempoh-tempoh ia berseru: “aduh ibu!”, ia jatuh atau merasa sakit.

Ditilik dari jurusan ini, maka memperjuangkan bahasa Angkatan Baru Indonesia sebagai bahasa pergaulan dan perhubungan, di luar dan di dalam dewan-dewan pemerintahan dan sebagai bahasa kesusasteraan pemangku kesenian dan perpustakaan Indonesia, adalah sebahagian dari perjuangan mempertahankan dan memupuk kebudayaan Indonesia.

Ini semua tidak berarti bahwa untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa kita, yakni kecerdasan yang lebih luas, kita sudah memadakan saja dengan bahasa kita itu sendiri. Kemajuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai oleh bahasa yang dipakai.

Dan apabila satu bahasa seperti bahasa Indonesia, masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum pula cukup kekayaannya untuk mengutarakan bermacam macam pengertian yang maknawi, maka bahasa itu sendiri akan menjadi kurungan yang membatasi ruang gerak kita dalam menuju kecerdasan umum yang lebih luas. Sekiranya kita berpuaskan diri dengan sekedar mengetahui bahasa kita sendiri itu saja.

Bentuk dan bangun fikiran sesuatu bangsa berjalin rapat, dan boleh dikatakan terpaksa menurut bentuk dan bangun yang diizinkan oleh kekayaan bahasa bangsa itu. Daerah kita untuk berfikir dibatasi oleh luas atau sempitnya daerah bahasa itu pula.

Oleh karena itu soal bahasa adalah salah satu soal kecerdasan bangsa yang terpenting. Bahasa Ibu, bahasa kita sendiri, adalah menjadi syarat bagi berdiri tegaknya kebudayaan kita.

Akan tetapi satu kebudayaan yang hidup tidak cukup hanya dengan tinggal berdiri tegak saja. la perlu tumbuh, bertambah berubah, bergerak, “dinamis”, kata orang sekarang.

Dan untuk ini perlu kepada pertukaran “udara”, perlu kepada tambahan “pupuk”, perlu kepada tambahan “air” yang menjadi syarat penawar hidupnya. Tidak ada satu kebudayaan jadi hidup baik, apabila ia dikurung dan diikat menurut tradisi berbilang abad.

Kebudayaan itu akan hidup, akan bertambah kekuatannya, akan bangun bibit kemungkinannya yang masih tersembunyi, apabila dapat kesempatan berhubungan dengan sumber-sumber kebudayaan di luar lingkungan daerahnya. Satu kebudayaan, hidup dengan perhubungan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, ringkasnya dengan “akulturasi”.

Bagi kita, untuk perhubungan kebudayaan ini, amat perlulah bahasa yang amat lengkap dan lebih luas daerahnya dari daerah bahasa kita sendiri. Oleh karena itu “di samping bahasa Ibu kita” sendiri, adalah bahasa “asing” yang lebih luas dan lebih kaya, yang dapat memperhubungkan kita dengan negeri luar, menjadi satu rukun yang tak boleh tidak bagi kemajuan dan kecerdasan kita.

Jasa Bahasa Arab

Kalau kita di sini mengatakan “bahasa asing”, galibnya kita ingat kepada bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman atau lain-lain. Dan memang bahasa Belanda, bahasa Inggris dan sebagainya itu banyak jasanya bagi kecerdasan kita bangsa Indonesia. Ini tidak kita mungkiri!

Akan tetapi jangan kita lupakan bahwa sebelum bahasa Belanda menjadi penghubung dengan dunia luar, sebelumnya bahasa Inggris mulai dipelajari di kalangan bangsa kita, kita di Indonesia sudah berpuluh tahun terlebih dahulu mempunyai satu bahasa perhubungan, jembatan yang memperhubungkan kita dengan sumber kebudayaan dunia luar, yaitu: bahasa Arab!

Coba tuan-tuan pembaca fikirkan: bahasa Belanda masuk dalam dunia kita bukan dari semulanya bangsa Belanda duduk di sini, bukan sejak 300 tahun yang lalu, akan tetapi bahasa Belanda itu baru diberikan dalam kira-kira 30 tahun ini, semenjak bangsa Belanda menganggap perlu mempertinggi kecerdasan kita.

Dan setelahnya ‘ethische politiek” berjalan kira-kira 40 tahun, baru kira-kira 4% dari penduduk Indonesia yang pandai tulis baca dengan huruf Latin, nanti dulu disebut yang pandai bahasa Belanda. Akan tetapi sebelum bahasa Belanda menjadi bahasa pembawa kecerdasan itu, sudah terlebih dulu bahasa Arab menjadi satu-satunya pembuluh kebudayaan bagi kita anak Indonesia.

Melihatlah di sekeliling tuan, perhatikanlah kecerdasan bangsa kita sekarang ini! Selidikilah, jangan di kota yang besar-besar saja akan tetapi masuklah ke kampung dan ke desa-desa, di situ tuan akan mendapat gambaran, bagaimana besar jasanya bahasa Arab ini bagi kecerdasan bangsa kita. Belum ditilik lagi dari jurusan keagamaan, akan tetapi baru dari jurusan kecerdasan umum.

Sebelumnya ada H.I.S (Hollandsch-Inlandsche School), untuk anak kaum priyayi, sebelumnya ada sekolah-sekolah kelas dua dan sekolah-sekolah desa, tempat mengajarkan huruf Latin, jauh sebelum itu sudah bertebaran di tanah air kita ini. Beratus kalau tidak akan beribu langgar-langgar dan pesantren-pesantren, yang mengajarkan bahasa Arab dan ilmu agama.

Satu bangsa yang terdiri dari 60 juta, bukan sedikit harus memakan ongkos apabila hendak meninggikan kecerdasannya, apabila hendak “menghidupkan” kebudayaan dengan arti kata sebagai yang kita katakan tadi. Dan selalu Pemerintah berkeluh kesah, dari manakah didapat uang untuk keperluan itu. Akan tetapi dengan tidak memberatkan sepeserpun kepada kas negeri, dengan tidak disuruh dan diperintah dari atas, sesungguhnya Pemerintah sudah mendapat satu kawan yang setia, yang telah merintis jalan untuk mencerdaskan umat yang berpuluh juta ini.

Bahasa Arab itu, bukanlah bahasa agama semata-mata, bukan dialek, bukan bahasa salah satu propinsi. Akan tetapi, satu bahasa dunia, satu bahasa kebudayaan, satu bahasa pemangku kecerdasan, kunci dari bermacam pengetahuan dan kaya-raya untuk mengutarakan sesuatu paham atau pengertian, dari yang mudah sampai kepada yang sesulit-sulitnya, dari yang bersifat maddah (konkrit) sampai kepada yang bersifat maknawi (abstrak). Ya, malah lebih kaya dari bahasa Eropa yang mana jua.

Bahasa Arab selain dari pada satu-satunya bahasa pengikat, bahasa persatuan bagi kaum Muslimin, adalah juga satu bahasa kebudayaan yang utama, yang barangkali hanya sama kalau hendak dibandingkan, dengan bahasa Yunani dan Sangsekerta. Malah tulisan Yunani sudah kenyataan gagal dan kekurangan dalam menuliskan angka-angka sehingga ilmu hisab, ilmu hitung baharulah mendapat kemajuan setelah mengambil sistem angka-angka Arab sebagaimana yang kita pakai sekarang ini.

Bahasa Arab telah menjadi bahasa falsafah bagi filosof-filosof pengutarakan bermacam teori dan dalil-dalil hipotesa yang sulit rumit. Telah menjadi bahasa kesusasteraan untuk pelagukan kemasgulan dan kegirangan penyair dan ahli prosa yang ternama, telah menjadi bahasa peratapkan kerinduan hati ahli tasawuf kepada Khaliknya, telah menjadi bahasa kaum ilmu alam dan ilmu-ilmu yang eksak untuk penyusun bermacam macam dalil dan rumus-rumus yang sukar dan susah.

Bahasa inilah yang telah masuk ke dalam lingkungan bangsa dan dunia anak Indonesia yang telah menimbulkan sumber kecerdasan yang bertebaran di kepulauan kita ini. Disamping penghargaan yang sewajarnya terhadap bahasa Eropa umumnya, kita tidak boleh melupakan pembuluh kebudayaan yang amat berharga dan berjasa ini!

Dalam sambutan kita beberapa waktu yang lalu terhadap cita-cita hendak mendirikan satu Pesantren Luhur, sudah pernah kita menyerukan supaya orang kita janganlah salah penghargaan terhadap sebahagian besar pemuda-pemuda intelek kita yang memakai bahasa Arab ini sebagai bahasa kedua, disamping bahasa Ibunya sendiri. Kita anjurkan supaya kalau hendak mendirikan satu Perguruan Tinggi Islam, maka golongan pemuda yang begini tidak boleh dikesampingkan untuk menjadi bibit bagi Perguruan Tinggi Islam tersebut.

Tetapi kelihatannya tidak begitu mendapat perhatian dari Penganjur-penganjur kita. Hal itu kita sayangkan, lebih-lebih setelah terbukti kegagalan usaha penganjur-penganjur kita yang hendak meneruskan usahanya, semata-mata dengan mengambil Mulo abiturienten dan H.B.S.’ers sebagai kandidat-kandidat muridnya.

‘Ala-kulli hal terhadap rumus Dr. Drewes yang kita cantumkan di atas tadi, kita berhak berkata : “Dalam mencapai kecerdasan dan kemerdekaan berfikir, bahasa Arab bagi anak Indonesia adalah satu alat pencerdasan yang terlebih dulu, lebih “murah” dan tidak kalah paedahnya dari bahasa asing yang lain itu!”

Dan ………………. bagi kita kaum Muslimin, adalah bahasa Arab itu bahasa Al-Qur’an, satu bahasa persatuan yang takkan mungkin dicarikan gantinya, bahasa kunci dari perbendaharaan ilmu dan pengertian Agama kita. Besar kerugian dan kerusakan yang menimpa kita apabila bahasa ini kita abaikan dan kita kesampingkan!.*/Artikel ini merupakan jawaban M Natsir atas kritik Gerardus Willebrordus Joannes (GWJ) Drewes, yang telah dimuat Pandji Islam, Nopember 1940, dioleh ulang oleh NatsirCorner

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: