“Bau Amis” Teror Komunis (2): Pembunuh Bayaran PKI

 

pembunuh bayaran PKI 
  muhammad abdus syakur/hidayatullah
Diorama kekejaman PKI: Para pengunjung melihat suasana di Rumah Penyiksaan.
Pembunuh bayaran PKI itu pura-pura mengantar Kiai, ternyata bermaksud menghabisi

DI WILAYAH Jawa Tengah, umat Islam khususnya kalangan Nahdlatul Ulama (NU), banyak menjadi korban PKI. Dihimpun Suara Hidayatullah pada Juli 2020, misalnya di daerah Musuk, Boyolali, sebanyak 15 tokoh NU dan Ansor dibunuh PKI pada tahun 1965.

Mereka –yang diyakini sebagai syuhada itu– dimakamkan pada satu kompleks pemakaman di Jagir, Dragan, Musuk.

Kisah tragis korban PKI juga dialami para ulama di wilayah Jawa Timur. Misalnya Kiai Jufri Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren as-Syahidul Kabir Sumber Batu, Blumbungan, Kabupaten Pamekasan, Madura.

Suatu saat, setelah berceramah di Kecamatan Konang, Sampang, tahun 1965, Kiai Jufri hendak pulang. Ada seseorang mengaku bernama Sarfin, yang dengan santun dan ramahnya menawarkan diri menemani Kiai Jufri pulang.

Mengantar kiai merupakan kehormatan bagi masyarakat kecil di Madura. Sarfin pun diperkenankan untuk menemani Kiai Jufri pulang dengan menunggang kuda.

Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah sungai. Kiai Jufri berkata kepada Sarfin bahwa ia hendak turun sejenak ke kali untuk buang air kecil. Kiai Jufri menyuruh Sarfin supaya diam di situ, menunggu kudanya.

Baru saja usai berhajat, tahu-tahu sebuah golok berukuran sedang telah menancap di punggung Kiai Jufri. Ternyata, si Sarfin telah menyerangnya, lantas kabur meninggalkan korban yang tubuhnya bersimbah darah.

Dalam kondisi begitu, Kiai Jufri masih kuat menahan sakit. Kala itu melintas dua orang yang juga baru pulang dari mengikuti pengajian tadi.

“Itu ada orang lari ke arah sana (sambil menunjuk sebuah arah jalan), ia telah menusukkan golok pada saya dari belakang,” ujar Kiai Jufri kepada dua orang tadi, dikutip NU Online (05/01/2016).

Seketika dua orang tadi berteriak “Maling! Maling!” demi menarik perhatian warga, sambil berlari ke arah jalan yang ditunjukkan Kiai Jufri. Warga setempat berdatangan, sebagian mengurus jasad Kiai Jufri, sebagian lagi memburu sang pelaku.

Sang Kiai masih sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Ia dimakamkan di pesantrennya. Kiai Idham Chalid mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun memberi nama “asy-Syahid al-Kabir” untuk pesantren itu.

Siapa sebenarnya Sarfin? Warga lantas tahu dan mendapat kabar jika ia pembunuh bayaran yang ditugaskan PKI untuk membunuh Kiai Jufri. Terdengar pula kabar bahwa Sarfin tewas gantung diri sebelum mendapat bayaran itu.

Dalam buku Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Partai Komunis Indonesia dengan Umat Islam mengambil sumber dari sejarawan NU H Abdul Mun’im DZ, disebutkan bahwa KH Dzufri Marzuki –demikian tertulis– ditikam oleh anggota PKI pada 27 Juli 1965 saat menuju tempat pengajian.

Kisah-kisah itu hanyalah secuplik dari begitu banyaknya kesaksian kekejaman kaum Komunis yang hendak melakukan kudeta di Republik Indonesia. Termasuk di luar Jawa.

Misalnya, sebagaimana ditulis dalam buku terbitan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dan Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) itu, kejadian di Sumatera Barat yang dialami seseorang bernama Datuk Aceh.

Kepalanya ditembak dengan keadaan tangan terikat, setelah disiksa sampai mulutnya berlumuran darah.

Kekejaman PKI di Sumbar juga memakan korban putra ulama Syaikh Djamil Djambek, Kol Dahlan Djambek, yang dibunuh saat menyerahkan diri kepada penguasa militer.

Saat itu, salah satu tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ini dijebak dengan disergap oleh dua pasukan Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) di lokasi penyerahan diri.

Dahlan ditembak bersama pembantu dan keponakannya tanpa peringatan apapun. Rumah tempat mereka tewas itu pun dibakar oleh OPR.

OPR disebutkan sebagai pasukan cadangan yang dipakai pemerintah untuk menutupi kekurangan pasukan dalam operasi menumpas PRRI di Sumbar. Anggota OPR adalah orang-orang yang bersimpati pada PKI, termasuk Pemuda Rakyat.

Sedangkan PRRI adalah gerakan anti komunis. Kedatangan OPR menjadi bencana bagi para anggota PRRI dan simpatisannya. OPR melakukan teror dan pembunuhan bahkan kepada warga setempat.

Di daerah Ombilin, 3 orang dibunuh secara sadis oleh OPR Ombilin. Kepalanya dipenggal lalu digantung di pos OPR dengan mulut ditancapi rokok.

“Saya daripada ditangkap OPR, lebih baik bunuh diri. Mereka itu kejam sekali. Coba kalau ditangkap, dihancurkannya badan kita. Diseret dengan mobil. Mereka memang kejam terutama dengan keluarga Muhammadiyah dan Masyumi karena anti PKI,” tutur seorang saksi bernama Rusli Marzuki Saria.* (bersambung)

Sumber: Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2020.

Rep: Rofi' Munawwar
Editor: -

No comments: