Pendapat Para Ulama Berbagai Mazhab Wisata ke Borobudur Haram

Wisata ke Borobudur Haram? Begini Pendapat Para Ulama Berbagai Mazhab
Wisata ke Candi Borobudur adalah masalah muamalah. (Foto: hijab converse)
Hukum wisata ke Candi Borobudur atau situs-situs tua yang tak terkait dengan peninggalan Islam belakangan menjadi perbincangan hangat. Hal ini menyusul viralnya video yang berisi pernyataan seorang pemuka agama yang mengharamkan wisata ke Candi Borobudur.

Pernyataan Ustaz Sofyan Chalid ini adalah dalam video unggahan tahun 2018. Namun belakangan diramaikan kembali. Jauh sebelum itu, yakni tahun Juni 2016, Buya Yahya juga mengeluarkan pernyataan senada ketika ditanya seorang santrinya. Pernyataan Buya Yahya ini bisa di kanal YouTuber Al-Bahjah TV.


Viralnya kembali masalah hukum wisata ke situs kuno macam Candi Borobudur ini mengundang reaksi berbagai pihak. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengingatkan bahwa Candi Borobudur adalah bagian dari sejarah Nusantara serta menjadi destinasi wisata super prioritas yang perlu dijaga kelestariannya. Juga menjadi pembuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya.

"Sebagai negara demokrasi, kita ya mengacu kepada arahan atau panutan sesuai dengan bimbingan masing-masing dan di sini tentunya Kementerian Agama dan MUI yang memiliki otoritas," kata Sandiaga.

Sandiaga pun tak ingin mengusik kepercayaan pihak lain. Ia pun percaya, bahwa Islam merupakan agama yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan.

"Saya memegang keyakinan bahwa kita menganut Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang sangat toleransi terhadap umat beragama lain," tuturnya.

Sekendang sepenarian, Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar berpendapat berwisata itu mubah atau diperbolehkan. "Tidak ada larangan dalam Al-Quran," tuturnya.

Dia mengingatkan agar masyarakat memahami Al-Quran secara komprehensif dari berbagai sudut pandang, tidak sepotong-potong.

Borobudur adalah peninggalan agama lain yang hendaknya dipahami sebagai sebuah sejarah. "Ini masalah muamalah, bukan akidah," katanya. “Muamalah ya muamalah, tidak perlu dikait-kaitkan dengan akidah,” tegasnya.

Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wachid, juga berpendapat senada. Ia lalu menyingkap sejarah Nabi Muhammad SAW. Saat itu, Nabi mengunjungi Ka’bah dengan banyak arca dari kabilah-kabilah. “Rasul tidak pernah merusak arca. Malah melarang sahabatnya (merusak),” jelas Wawan.

Tak hanya sejarah, Wawan mengatakan berwisata bagi manusia bisa mengambil hikmah di baliknya. “Jika berwisata di Candi Borobudur kemudian kita bisa bertadabur Allah SWT bisa menggerakkan manusia membuat candi seperti itu, tentu malah menjadi ibadah,” katanya.

Memasuki Tempat Ibadah Non-Muslim
Hukum berwisata ke tempat ibadah kuno bisa disandingkan dengan hukum memasuki tempat ibadah agama lain. Jika kita menelaah literatur kitab-kitab fiqih klasik maka kita akan mendapati bahwa para ulama juga berbeda pendapat tentang masalah ini.

Pertama, ulama mazhab Hanafi menyatakan, hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah makruh.

Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar menyebutkan: "Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh." (Lihat: Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, h. 380).

Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitabnya Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq menegaskan: “Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan tampaknya, hal itu adalah makruh tahrim (mendekati haram)” (Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 8, h. 374).

Kedua, yang meliputi ulama mazhab Maliki , Hanbali , dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan, seorang Muslim boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim.

Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari menuturkan: “Yaitu tempat ibadah istrinya, baik berupa gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya.” (Lihat: Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, juz 1, h. 383).

Ulama bermazhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi juga menuliskan dalam kitabnya Al-Bayan Wat Tahshil:
"Ibnu Qasim bercerita, imam Malik ditanya tentang perayaan di gereja, di mana umat Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan barang-barang lain menuju gereja untuk menjualnya di sana. Beliau berkata: Hal itu tidak apa-apa." (Lihat: Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, juz 4, h. 168-169).

Seirama dengan kedua ulama mazhab Maliki di atas, seorang ulama bermazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah juga menyatakan kebolehan memasuki tempat ibadah agama lain. Bahkan, beliau membolehkan seorang Muslim melaksanakan shalat di gereja yang bersih.

Ibn Qudamah menjelaskan al-Hasan, Umar bin Abdul Azis, Sya’bi, Awza’i dan Sa’id bin Abdul Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak mengapa shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja. Namun bagi kami (Ibn Qudamah dan ulama yang sepaham dengannya) Nabi Saw pernah shalat di dalam Ka’bah dan di dalamnya ada gambar.

Ini juga termasuk dalam sabda Nabi: “jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di mana pun bumi Allah adalah masjid. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2, h. 478).

Syekh Ibnu Muflih juga menuturkan: “Dan seorang Muslim diperbolehkan memasuki sinagog, gereja, dan sebagainya, serta diperbolehkan melaksanakan shalat di dalamnya.

Ibnu Tamim berkata: “Tidak apa-apa memasuki sinagog dan gereja yang di dalamnya tidak terdapat gambar, serta diperbolehkan shalat di dalamnya.” (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 4, h. 122).

Ketiga, sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, seorang Muslim tidak boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim kecuali jika ada izin dari mereka. Artinya, jika mereka mengizinkan maka ia boleh memasuki tempat ibadah tersebut.

Syekh Muhammad bin Khatib As Syarbini menyebutkan: "Seorang Muslim tidak diperkenankan memasuki gereja-gereja Ahli Dzimmah kecuali atas izin mereka. Artinya, hal itu diperbolehkan mana kala ada izin. Namun kebolehan melakukan hal itu, hanya jika di dalam gereja tersebut tidak terdapat gambar." (Lihat: Muhammad bin Khatib As Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 4, h. 337).

Syekh Al-Qalyubi juga menuliskan: “Kita tidak diperbolehkan memasuki gereja kecuali atas izin mereka, sedangkan jika di dalam gereja tersebut ada gambar maka hukum memasukinya haram secara mutlak. Begitu pula, haram memasuki setiap rumah yang ada gambarnya.” (Lihat: Al-Qalyubi, Hasyiyatal Qalyubi wa Umairah, juz 4, halaman 492).

Hukum wisata ke candi jika disamakan dengan hukum memasuki tempat ibadah agama lain memang menjadi perdebatan. Namun mendatangi atau memasuki tempat ibadah agama lain bukan untuk shalat oleh kebanyakan ulama dihukumi mubah atau boleh. Jadi semua memang tergantung nianya. Mau ibadah atau mau wisata?

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: