Syekh Subakir Meruqyah Jawa Setelah 6000 Keluarga Muslim Tewas

Syekh Subakir Meruqyah Jawa Setelah 6000 Keluarga Muslim Tewas
Syekh Subakir masuk ke tanah Jawa untuk meruqyah tanah di wilayah Indonesia ini, menyusul tewasnya 6000 keluarga muslim yang dikirim sebelumnya. (Ilustrasi:Ist)
Pada abad ke-14 M, Syaikh Baqir atau masyhur dengan nama Syekh Subakir masuk ke tanah Jawa untuk meruqyah tanah di wilayah Indonesia ini, menyusul tewasnya 2000 keluarga muslim yang dikirim sebelumnya.

Alkisah, Sultan Al-Ghabbah (nama daerah dekat Samarkand) dari negeri Rum berniat mengislamkan daerah Jawa. Pertama yang dilakukan adalah mengirim 4000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa. Namun semua keluarga muslim tersebut tewas dibunuh siluman yang menghuni pulau Jawa.

Selanjunya, Sultan Al-Ghabbah kembali mengirim 2000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa, namun semuanya kembali tewas.

Muhammad Dhiyauddin Quswandhi dalam bukunya berjudul "Waliyah Zainab Putri Pewaris Syeikh Sitti Jenar-Sejarah Agama dan Peradaban di Pulau Bawean" menulis peristiwa ini terjadi pada abad ke-14 M.

Setelah gagal dengan cara pertama, Sultan Al-Ghabbah mengutus Syekh Subakir untuk meruqyah tanah Jawa. Langkah ini dilakukan sebagai awal pembuka jalan dakwah, dan menghilangkan anasir-anasir jahat akibat dominasi jin dan siluman yang terkait dengan ritual agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat setempat sebelum-nya (Kapitayan-Hindu-Buddha).

Selain itu juga untuk membuka hati masyarakat Jawa agar terbuka hatinya terhadap Islam yang akan segera datang di bawah panji Walisongo.

Muhammad Dhiyauddin Quswandhi menyebut, hal ini dilakukan setelah sebelumnya Syekh Subakir juga singgah dan meruqyah pulau Bawean.

Sementara itu, Mat Sukri, dalam "Kitab Musarar Syeikh Subakir (Asal-Muasal Tanah Jawa)" menambahkan perjalanan Syekh Subakir di tanah Jawa tertulis dalam manuskrip kuno berjudul Kitab Musarar berbentuk tembang/puisi Jawa.

Berdasarkan fakta sejarah di atas, Islam mulai dikenal oleh penduduk pribumi di Indonesia sejak abad ke-7 M mengalami hambatan dan belum diterima sampai pada abad ke-15 M.

Hal tersebut berarti sekitar kurun waktu delapan abad lamanya sampai Islam mulai dianut secara menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia yaitu pada pertengahan abad ke-15 M.

Muhammad Dhiyauddin mengatakan setelah Pulau Jawa dan Pulau Bawean yang diruqyah oleh Syekh Subakir, maka Pulau Jawa disebutkan telah siap menerima dakwah Islam para mubaligh berikutnya yaitu dakwah Walisongo.

Di antara anggota Walisongo yang berdakwah di Jawa pada periode awal yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim.

Sebelum Islam Masuk ke Indonesia
Islam memang tidak langsung diterima di Jawa juga di Indonesia. Tercatat Islam mulai masuk di Indonesia sejak abad ke-7 M dan baru dapat diterima secara luas pada sekitar pertengahan abad ke-15 M di era kepemimpinan Wali Songo .

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia lebih dahulu menganut beberapa kepercayaan dan agama. Di antara kepercayaan itu adalah agama Kapitayan.

Sunyoto dalam "Atlas Wali Songo (Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah)" menyebut agama Kapitayan telah tumbuh dan berkembang sejak zaman paleolithik sampai dengan zaman perunggu dan besi. Agama Kapitayan biasa disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yaitu mempercayai adanya benda-benda yang memiliki daya sakti dan kepercayaan terhadap arwah leluhur.

Seiring dengan berjalannya waktu, menurut Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya "The History of Java" masyarakat Indonesia mulai mengenal agama Hindu-Buddha yang ditandai dengan munculnya Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda pada abad ke-4 dan ke-7 M.

Islam Masuk ke Indonesia
Pada saat agama Hindu-Buddha bertahta di Indonesia tersebut yaitu pada abad ke-7 M, Islam sebenarnya juga telah masuk di Indonesia. Wheatley dalam The Golden Kersonense: Studies in Historical Geography of The Malay Peninsula Before (1961) mencatat, bahwa:
“Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dibawa oleh saudagar Arab saat membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara. Kehadiran saudagar Arab di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7 M tersebut bertepatan dengan kepemimpinan Ratu Simha. Beliau adalah sosok ratu yang dikenal cukup keras dalam menerapkan hukum Islam termasuk pada anggota keluarganya yaitu putra mahkotanya.”

Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Kepulauan Nusantara Awal (2009), juga menyebutkan bahwa Islam sudah masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-7 M yang dicatat oleh pengelana China I-Tsing yang menyebutkan bahwa pada saat itu lalu lintas laut antara Arab-Persia-India-Sriwijaya sudah sangat ramai.

Dinasti Tang juga menyebutkan bahwa pada abad ke-9 dan 10 M pedagang muslim Arab (Tashih) sudah banyak yang sampai di wilayah Kanton dan Sumatra. Para pedagang Arab tersebut kemudian melakukan Islamisasi salah satunya melalui jalur pernikahan yaitu dengan cara melangsungkan pernikahan dengan putri para petinggi dan bangsawan pribumi setempat.

Hal tersebut juga diperkuat dengan tulisan pengelana bernama Marcopolo pada tahun 1292 dalam perjalanannya pulang ke Eropa, ia singgah di sebuah kota Islam bernama Perlak yang bertempat di sebelah utara Sumatra.

Selain itu juga disebutkan oleh seorang pengelana asal Maroko bernama Ibnu Batutta yang bercerita mengenai kunjungannya ke kesultanan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudra Pasai pada tahun 1345.

Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke-7 M tersebut bukan berarti Islam telah diterima secara luas dan menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia.

Sebaliknya Islam pada kurun waktu tersebut masih mendapat penolakan oleh masyarakat pada umumnya. Sunyoto mengatakan fakta sejarah tersebut dapat terlihat dari catatan Marcopolo saat singgah di kota Perlak sebelum kembali ke Eropa yang menyebutkan bahwa penduduk Perlak di sebelah utara Sumatra terbagi pada tiga golongan, yaitu (1) golongan masyarakat kaum muslim China, (2) golongan kaum muslim Arab-Persia, dan (3) golongan penduduk pribumi yang masih memuja roh-roh leluhur dan hidup kanibal atau memakan sesama manusia.

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: